Tahun 1999 sudah berlalu. Bagi sebagian politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang kini ada di parlemen, era ini belum mereka geluti, bahkan bisa jadi belum bergabung dengan PDIP.
Pemilu 1999 mengantarkan partai banteng bercorak moncong putih menjadi pemenang pesta demokrasi. Namun, Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri tak berhasil meraih singgasana Presiden Republik Indonesia. Bahkan, bila saja Akbar Tanjung dan Wiranto, tidak mundur dari kandidat Wakil Presiden, kursi itupun bisa luput untuk diduduki Megawati.
Pada kompetisi untuk meraih singgasana presiden ketika itu, ditengah keriangan menikmati kemenangan dalam Pemilu, bisa jadi membuat politisi PDIP tak begitu siap menghadapi manuver-manuver politik di parlemen. Memang, partai-partai politik yang ada di parlemen, perolehan suara yang diberikan rakyat Indonesia,jauh dibawah PDIP.
Lantas, logika politik sederhana dimainkan, mengatakan bahwa PDIP meraih kepercayaan rakyat sekitar 35%. Sementara gabungan parpol (koalisi) lainnya memperoleh kepercayaan rakyat sekitar 65% (disebut Poros Tengah). Jadi Abdurrahman Wahid, lebih banyak dipercaya rakyat dan patut menjadi Presiden Republik Indonesia. Disinilah hadir, arti pentingnya sekelompok pelobi handal yang berujung pada bertemunya sebuah kepentingan bersama. Koalisi politik, begitu banyak pihak menyebutnya.
Aneh tapi nyata. Itulah bangunan dan akrobat politik yang terjadi pada Sidang Umum MPR. Perlukah kita melakukan koreksi terhadap akrobat politik semacam ini? Permainan politik itu memang tidak melanggar prosedur atau Undang-undang yang mengaturnya.
Dalam politik, kemampun membangun lobi sungguh diperlukan. Setiap parpol wajib memiliki pelobi ulung. Apalagi tidak semua politisi mampu jadi pelobi handal. Kecerdasan dalam menangkap dan mengantisipasi sinyal-sinyal politik, menjadi sebuah keniscayaan. Kapan waktunya mengalah, harus keluar muka, serta kapan saatnya bertahan, harus dimainkan cantik secara situasional. Lantas adakah yang salah?
Biasanya, kegagalan lobi terjadi manakala para politisi hanya sibuk saling “mengintip” untuk kepentingan diri sendiri. Bisa saja karena disibukkan mengintip “peluang” politik diluar parlemen yang berujung pada hilangnya kekompakan tim. Terlalu pragmatis dan sekaligus menghilangkan peluang. Bila tim lobi tak solid, jangan pernah berharap akan menghasilkan sesuatu yang berarti. Sebuah pengalaman yang tak perlu diulang, tentunya.
Usai Pilpres 2014, PDIP dan koalisinya mencoba membangun tawaran-tawaran politik. Berbagai tema dikedapankan, diantaranya mengajak partai politik di KMP untuk bersama-sama memperkokoh kabinet di pemerintahan 2014-2019. Tema ini, tentu saja berkesan sangat traksaksional atas sebuah kekuasaan.
Dipenghujung masa bhaktinya (2009-2014), para anggota DPR, justru menghasilkan dua keputusan penting. Pertama, UU MD3 yang membuat heboh jagat politik. DPR RI berhasil mengubah ketentuan bahwa partai politik pemenang pemilu, tidak lagi secara otomatis menduduki kursi ketua parlemen. Pimpinan DPR RI diusulkan dan dipilih oleh anggota.
Undang-Undang MD3 berlenggang. Terlihat jelas, koalisi yang dimotori PDIP,PKB,(Nasdem—belum dilantik),Hanura, tak berhasil melakukan negoisasi politik disini. Keputusan politik terjadi, sesuai dengan yang digagas Koalisi Merah Putih (KMP).
Bukan hanya itu, lagi-lagi dihasilkan keputusan strategis, yakni: Kedua, diubahnya UU tentang pemilihan kepala daerah. Dimana pemilihan Kepala Daerah dilakukan melalui demokrasi perwakilan, yakni melalui DPRD. Tidak lagi dengan pemilihan langsung, seperti sebelumnya.
Belakangan, gara-gara point yang kedua ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Perppu, yang intinya mengembalikan pemilihan kepala daerah secara langsung, seperti sebelum diubah.Sebelumnya gugatan PDIP tentang ini kandas di Mahkamah Konstitusi.
Dari dua moment strategis tadi, kembali ditunjukkan bahwa lobi-lobi yang dilakukan para tokoh di koalisi PDIP, tak menuai hasil seperti yang diharapkan. KMP terus melaju. Padahal sudah banyak “bujuk rayu” yang disodorkan, misalnya semacam tawaran untuk menduduki kursi kabinet di pemerintahan Joko Widido-Jusuf Kalla mendatang. Memang, hasil kesepakatan lobi itu harus konkrit, bukan abu-abu. Adakah yang salah?
Suasana meriah dijagat politik parlemen, tak berhenti sampai disitu. Usai pelantikan anggota DPR RI Periode 2014-2019, pemilihan pimpinan parlemen menjadi agenda penting. Sebelum masuk pada moment penting ini, kembali ruang lobi terbuka lebar, baik di dalam parlemen, maupun yang dimainkan diluar parlemen.
Empat Fraksi PDIP,PKB,Nasdem,Hanura yang menjadi pengusung presiden terpilih/wakil presiden terpilih, Joko Widodo - Jusuf Kalla, kembali mengulang peristiwa sebelumnya. Kandas. Padahal, para petinggi PDIP, PKB, bahkan Surya Paloh, Ketum Nasdem, Jusuf Kalla, wakil presiden terpilih, termasuk presiden terpilih Joko Widodo pun turut turung gunung (setidaknya itu yang terpublikasi di media massa).Lagi-lagi timbul pertanyaan, adakah yang salah? Sebelumnya, Joko Widodo pun sudah menghembuskan informasi bahwa ada beberapa partai politik di KMP yang akan bergabung dalam koalisi yang mengusungnya.
Sebenarnya ada peluang besar yang terbuka untuk kemenangan koalisi PDIP. Partai Demokrat (PD) yang menasbihkan dirinya tidak berada di KMP maupun Koalisi Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah membuka diri. Bila saja koalisi PDIP berhasil me-lobi PD, diyakini salah satu parpol yang ada di KMP akan turut serta. Dengan demikian, komposisi koalisi PDIP akan lebih unggul ketimbang KMP, bila terjadi voting. Dimanakah sosok Megawati Soekarnoputri berposisi? (media massa tidak berhasil membuat catatan langsung tentang apa yang dilakukannya).
Dalam konteks pemilihan pimpinan parlemen, seperti yang publik ketahui, bukan KMP yang kehilangan anggotanya, malah justru bertambah, PD turut bergabung. Sehingga, mulai dari Ketua, hingga Wakil Ketua DPR RI diduduki seluruhnya oleh fraksi-fraksi KMP, ditambah Fraksi PD yang duduk menjadi salah satu Wakil Ketua.
Nah, masih ada agenda diinternal parlemen penting lainnya, yakni pemilihan pimpinan MPR. Bisakah situasi politik berubah dan menjadi lebih cair. Tentu saja bisa. Politik tidak boleh statis, perlu fleksibelitas. Lobi-lobi yang dikembangkan, tidak boleh dengan kejumawaan. Setiap fraksi, baik yang memperoleh kursi banyak atau sedikit, selalu setara dalam politik.
Tak ada yang terpeleset karena menabrak gunung, kulit pisang dan krikil ditengah jalanlah yang membuat terjatuh. Bukan hanya dalam politik, soal cara dan gaya mengembangkan lobi, cukup memegang peranan penting. Adakah yang salah?
Bila mencermati PDIP, maka muncul arti pentingnya seorang Megawati. Ketua Umum PDIP ini mampu mem-veto, kepentingan-kepentingan individu maupun klik-klik politik yang akan berkembang biak ditubuh partai. Megawati sangat digdaya dalam mengendalikan PDIP. Tak ada kader partai yang berani menentang. Namun, demi mengembangkan roda partai, akan sampai dimana PDIP bersandar pada sosok kharisma Megawati?
Tentu publik ingat, pada pidato politik Megawati, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Presiden, akhir Juli 1999, sebenarnya Mbak Ega sudah mengirim isyarat untuk lengser dari kursi Ketua Umum. Kenapa? Dengan memangku jabatan Wakil Presiden, Mega tidak hanya miik PDIP lagi, sudah jadi milik bangsa.
Isyarat dalam pidato itu, cukup membuat heboh jagat politik, utamanya di internal PDIP, ketika itu. Maka pada akhir Januari 2000, ketika apel besar PDIP di Senayan, Mega pun kembali memberi sinyal, bahwa dia masih bersedia memimpin PDIP, setidaknya untuk satu periode kedepan.
Eksistensi Megawati di PDIP, tampaknya memang tak tergoyahkan. Ini terbukti ketika PDIP melaksanakan Rakernas IV tahun 2014. Dalam Rakernas itu, para pentolan PDIP, secara bulat mengusulkan Megawati Soekarnoputri untuk kembali memimpin PDIP pada periode 2015-2020. Nanti akan diputuskan dan ditetapkan pada Kongres IV pada 2015.
Alasannya, karena dibutuhkan seorang pemimpin partai yang berkarakter ideologis, konsisten, dan memiliki komitmen yang kuat untuk memimpin, mengawal, dan mengarahkan ideologi partai dalam pemerintahan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa para peserta Rakernas IV tahun 2014 (Munas masih tahun 2015), sejak awal mendaulat Megawati untuk tetap berada pada posisinya, menjadi Ketua Umum PDIP? Apakah ini sebagai sebuah upaya politik untuk menutup calon lain? (bisa jadi sudah ada upaya untuk merebut kursi Ketua Umum PDIP).
Publik jadi teringat, menjelang kongres PDIP, Maret 2000, muncul ketidaksetujuan atas pencalonan Megawati sebagai Ketua Umum dari Prof.Dr.M.Dimyati Hartono. Ketua Fraksi PDIP di DPR RI ini mengedepankan paradigma baru, yakni pengembangan profesionalisme partai demi masa depan partai agar sukses pada Pemilu 2004.
Padahal, tradisi memilih pemimpin dalam demokrasi, tentu mewajibkan adanya pilihan-pilihan. Artinya tidak hanya ada satu calon, bisa dua atau tiga,bahkan empat calon. Bila hanya ada satu calon, dalam demokrasi kurang tepat kalau dikatakan sebagai bentuk pemilihan. Lebih pas disebut sebagai kewajiban untuk mengukuhkan.
Pertanyaannya kemudian, setelah catatan panjang tadi, setidaknya di era reformasi, mungkinkah ditubuh PDIP sudah saatnya dibangun iklim regenerasi kepemimpinan partai? Pemimpin boleh saja berganti, hanya proses pergantian kepemimpinan perlu diset-up agar tidak sampai menggoyahkan stabilitas partai, apalagi eksistensi partai.
Kharisma pemimpin, memang dibutuhkan untuk mempersatukan berbagai elemen partai. Disisi lain, membangun tradisi memilih, seperti yang diisyaratkan dalam demokrasi, juga penting bagi partai. Sehingga, kesetian yang bersifat pribadi dan rentan, secara perlahan diubah menjadi kesetian terhadap partai. Melalui dinamika dan tempaan pergesekan politik seperti ini, akan lahir pelobi-pelobi handal yang paham betul tentang ideologi partai.
Seperti tahun 1999, ketika Megawati menjadi Wakil Presiden RI, dimana tahun 2004 akan dilangsungkan Pemilu, saat ini, juga tak kalah penting untuk dicermati. Kesuksesan atau kegagalan pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla, akan berimbas, khususnya bagi PDIP dan umumnya bagi anggota koalisi, pada Pemilu 2019 mendatang. Dan itu bukan sebuah kerja politik yang mudah. Lagi-lagi soal kepiawaian setiap saat untuk membangun lobi, sangat diperlukan.
Jadi teringat sebuah ungkapan, bila sudah paripurna, tak perlu menjadi pemilik saham, atau pemegang saham, cukup menjadi penguasa saham. Dan perlu dihindari berada dalam posisi, pemilik,pemegang,dan sekaligus penguasa saham. Soal legal standing, dibicarakan secara arif dan damai.
© Copyright 2024, All Rights Reserved