Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 264 Kabupaten/Kota/Provinsi pada Rabu (09/12) berjalan cukup sukses. Pilkada ini juga menunjukkan peningkatan peran perempuan dalam politik. Berdasarkan, hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, dalam pilkada kali ini ada 22 calon kepala daerah perempuan berhasil memenangkannya.
Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Okky Asokawati memberikan apresiasi tinggi, atas peningkatan peran politik perempuan dalam pilkada serentak ini. Pilkada ini merupakan pintu masuk bagi calon legislatif perempuan untuk lebih leluasa maju berkiprah di kancah politik.
"Meski secara formal, kita menunggu hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tapi sedikitnya terdapat 22 calon kepala daerah yang berasal dari perempuan yang unggul dalam hitung cepat. Saya mengucapkan selamat atas terpilihnya mereka," ujar Okky kepada politikindonesia.com di Jakarta, akhir pekan lalu.
Meski tidak dominan, kehadiran kepala daerah perempuan, hasil pilkada diharapkan menampilkan wajah politik Indonesia yang lebih humanis. "Kepala daerah perempuan menjadi etalase politik perempuan," ujar perempuan kelahiran Jakarta, 6 Maret 1961 ini.
Kepada Elva Setyaningrum, Lulusan sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (UI), mengatakan, pilkada kali ini, menunjukkan sinyal positif keberpihakan parpol terhadap kesetaraan gender.
Ia berharap, keberadaan kepala daerah perempuan menjadi momentum untuk membuat kebijakan daerah yang pro dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya bagi kelompok perempuan dan anak-anak. Sebagai etalase, daerah yang dipimpin perempuan harus mampu menunjukkan perubahan, menuju pemerintahan yang anti korupsi dan pelaksanaan birokrasi dan pelayanan masyarakat yang lebih baik. Berikut petikan wawancaranya.
Banyak calon pemimpin dari kalangan peremmpuan yang ikut dalam Pilkada Serentak 2015, apa pendapat anda?
Ada banyak hal yang menarik dalam Pilkada serentak ini, terkait munculnya perempuan menjadi calon Kepala Daerah. Mereka maju sebagai calon bupati, walikota maupun Wakil Bupati/Walikota.
Ada yang yang merintis karier politik dari bawah. Ada pula yang ikut naik daun karena suaminya adalah Bupati maupun Walikota, atau tokoh politik berpengaruh di daerah itu.
Terlepas dari itu, tampilnya beberapa perempuan dalam Pilkada 2015, bukanlah sekedar kesetaraan gender. Ini termasuk bagian dari salah satu strategi politik dalam meemenangkan pilkada tersebut.
Kita tahu, jumlah pemilih terbanyak di Indonesia adalah kaum perempuan. Sedangkan pemenang pilkada bukan ditentukan oleh faktor calon yang lebih pandai, atau lebih mampu dibandingkan calon lain. Mereka yang kalah pun bukan berarti orang yang tidak mampu untuk menjadi seorang pemimpin.
Pilkada adalah tentang siapa yang mendapat suara terbanyak dari pemilih. Dengan sistim pemilihan secara langsung, dimana setiap warga masyarakat yang telah mempunyai hak pilih berhak untuk menentukan pilihannya, maka yang menjadi penentu bukanlah kualitas dari calon. Jadi, ini soal siapa yang berhasil memenangkan hati pemilih dengan beragam cara.
Masih ada stigma yang meragukan calon kepala daerah perempuan dari perempuan?
Ssaya kira, sudah bukan saatnya lagi, menganggap calon kepala daerah perempuan itu tidak berkualitas, tak berkemampuan atau lainnya. Kalau mereka tidak mampu memenangkan pemilih, mereka akan kalah dan tersingkir.
Sedangkan bagi mereka yang terpilih, ada harapan yang disandarkan ke pundak mereka.
Kepala daerah perempuan harus mampu menjadi etalase politik bagi perempuan Indonesia. Keberadaan mereka di kancah politik lokal dan nasional semestinya dapat dijadikan momentum untuk membuat kebijakan daerah yang pro dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi kelompok perempuan dan anak-anak.
Seperti persoalan kesehatan ibu dan anak serta lansia harus menjadi skala prioritas dalam pembangunan di daerah. Selain itu, daerah yang dipimpin oleh kepala daerah dari perempuan harus menerapkan zona anti korupsi di daerahnya. Sehingga mampu menjadi srikandi pemberantasan korupsi dan pelaksanaan birokrasi yang melayani di setiap daerah.
Persaingan dalam pilkada, apa kelebihan calon perempuan?
Perempuan lebih rasional, terutama dalam berkampanye. Oleh karena itu, calon kepala daerah perempuan banyak yang memilih dan mereka layak untuk dipilih.
Rakyay memilih para perempuan itu bukan tanpa alasan karena para perempuan mempunyai empati besar dan tidak jor-joran untuk melakukan sosialisasi.
Perempuan juga lebih rasional dalam arti kata tidak menghabiskan semua tabungannya untuk sosialiasi ini. Tentunya hal ini sangat berbeda dengan laki-laki yang mungkin lebih jor-joran. Selain itu, dalam menyampaikan ide atau gagasan, perempuan bisa menyampaikannya dengan cara yang lebih elegan dan tegas. Tapi bukan berarti harus bersuara keras dengan berantem dan teriakan, kita bisa mempertahankan sifat tegas kita tanpa meninggalkan cara-cara yang santun dan elegan. Sehingga, tujuan-tujuan yang akan dicapai lebih strategis dengan cara yang efektif.
Apa harapan Anda terhadap 22 calon kepala daerah yang nanti akan memimpin daerahnya?
Saya berharap politik di Indonesia kian humanis dan tidak menampilkan wajah yang antagonistis. Terpilihnya mereka dari kalangan perempuan akan memberi sinyal positif bagi politik perempuan di Indonesia. Satu sisi kualitas politisi perempuan terbukti semakin baik dan teruji dapat setara dengan kaum laki-laki.
Apakah semua perempuan yang berpolitik itu sudah paham mengenai kesetaraan gender?
Tidak juga. Sebenarnya tidak semua perempuan yang terjun ke politik, telha sadar dan paham mengenai geder. Ada yang hanya paham akan kebutuhan dasar perempuan dan berusaha memperjuangkannya. Begitu pula di DPR, ada juga wakil-wakil rakyat perempuan yang masih dinilai publik kurang kesadaran atas gender. Sebaliknya, tidak sedikit pula laki-laki yang justru lebih sadar gender. Begitu pula di masyarakat.
Keterwakilan perempuan di bidang politik di Indonesia masih bersifat deskriptif karena permasalahan perempuan di Indonesia yang begitu kompleks dan tidak semua perempuan yang terjun ke politik pernah merasakannya.
Di antaranya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penyiksaan terhdap tenaga kerja wanita (TKW) dan lain sebagainya. Kalau ada salah satu mereka ada yang pernah mengalaminya, saya yakin pasti akan menyuarakan apa yang ia rasakan.
Jadi, perspektif gender bagi perempuan Indonesia harus terus ditingkatkan dengan sosialisasi dan pelatihan. Khususnya mereka yang ingin terjun ke dunia politik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved