AKHIR-akhir ini diskursus publik diramaikan dengan wacana hak angket yang semakin santer disuarakan oleh berbagai kalangan.
Mulanya berangkat dari calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo, yang mendorong partai politik (parpol) pendukungnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menggunakan hak angket DPR untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Gayung bersambut, capres nomor urut 1, Anies Baswedan, mendukung upaya Ganjar tersebut. Menurutnya, hak angket DPR akan berpeluang membuka dugaan kecurangan Pemilihan Presiden atau Pilpres 2024, sehingga dapat diproses lebih lanjut.
Namun gagasan angket ini direspons secara negatif oleh sejumlah partai pengusung pasangan nomor urut 2, Prabowo-Gibran. Politisi partai pengusung Prabowo-Gibran menyebut hak angket tidak bisa membatalkan hasil pemilu, bisa berujung kekacauan dan tidak sesuai ketentuan terkait pemilu, yang memperkarakan melalui jalur Bawaslu atau Gakkumdu maupun DKPP.
Anehnya, senada dengan itu, Bawaslu juga ikut-ikut berkomentar menilai hak angket tidak ada dalam mekanisme pemilu. Tindakan Bawaslu ini justru bisa dikategorikan sebagai tindakan “contempt of parliament” yaitu menghalangi lembaga/badan legislatif untuk menjalankan fungsinya, menghalangi parlemen untuk menjalankan hak konstitusionalnya.
Pertanyaannya, apa yang mesti dipersoalkan dalam hak angket yang ramai diwacanakan sejumlah kalangan akhir-akhir ini?
Kebijakan Ugal-ugalan Menjelang Pemilu
Tentu, hak angket tidak bisa membatalkan hasil pemilu. Karena hak angket bukanlah mekanisme persidangan soal perselisihan capaian suara hasil pemilu.
Hak angket sendiri merupakan hak parlemen untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ada beberapa kebijakan pemerintah menjelang pemilu yang meresahkan masyarakat luas, menjadi polemik publik bahkan berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan.
Yakni kebijakan bantuan sosial. Sejak kuartal III 2023, pemerintah mengucurkan berbagai jenis bantuan, dari bantuan pangan beras 10 kilogram untuk 20 juta KPM, hingga bantuan langsung tunai (BLT) El Nino Rp. 400 ribu. Semua bantuan sosial ini di luar bantuan sosial reguler seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT). Bahkan awal tahun 2024, pemerintah mengganti BLT El Nino dengan BLT mitigasi risiko pangan yang nominalnya naik menjadi Rp600 ribu pada Januari-Maret, atau Rp200 ribu per bulan dirapel selama tiga bulan. Maka anggaran perlindungan sosial dalam APBN 2024 naik Rp20 triliun dibanding APBN 2023 menjadi Rp496 triliun.
Kenaikan anggaran bansos ini menggunakan skema “automatic adjustment” di mana kenaikan anggaran didapatkan dari pemblokiran anggaran kementerian/lembaga negara senilai Rp50,14 triliun yang bukan hanya digunakan untuk bansos semata namun juga subsidi pupuk.
Ketentuan automatic adjustment terbit pada 29 Desember 2023 melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-1082/MK.02/2023 yang menetapkan Rp50,14 triliun sebagai target penyesuaian APBN secara otomatis lewat pencadangan belanja kementerian/lembaga dengan memblokir mata anggaran tertentu.
Namun skema automatic adjustment berpotensi melanggar UU APBN dan UU Keuangan Negara, di mana berdasarkan UU APBN relokasi anggaran hanya bisa dilakukan perubahan APBN dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan dalam UU Keuangan Negara anggaran belanja negara seharusnya diatur sampai satuan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan dan jenis belanja seperti yang diatur dalam pasal 15 ayat 5 UU Keuangan Negara.
Skema automatic adjustment dapat dilakukan dalam “kondisi mendesak” seperti Covid-19 atau misalnya untuk menjaga ketahanan APBN di tengah situasi ketidakpastian global seperti kebijakan moneter ketat dari The Fed, dan lesunya harga komoditas, maka seharusnya automatic adjustment digunakan untuk menjaga likuiditas anggaran bukan justru digunakan untuk peningkatan guyuran program bansos yang waktunya berdekatan dengan pemilihan umum. Alasan keterdesakan juga semakin tidak relevan karena anggaran ibu kota Nusantara (IKN) dikecualikan dari sasaran automatic adjustment yang jelas-jelas membebani APBN.
Apalagi jika alasan bansos dan BLT untuk mengatasi inflasi. Faktanya akhir-akhir ini harga beras justru semakin meroket, mencapai angka tertinggi dalam sejarah, yakni hingga menyentuh harga Rp14.000 per kilogram untuk beras medium dan Rp18.000 per kilogram untuk beras premium.
Kurang tepat jika alasan naiknya harga beras gara-gara adanya perubahan iklim yang membuat sejumlah wilayah harus mengalami gagal panen. Karena di negara lain seperti Thailand dan Vietnam tak mengalami kekurangan beras. Sejumlah pakar menilai ada faktor lain yang turut mengerek kenaikan harga beras yakni kebijakan pemerintah yang jorjoran menggelontorkan bantuan sosial (bansos) saat masa kampanye kemarin.
Stok beras di awal 2024 mencapai 6,71 juta ton, namun akibat adanya kebijakan bansos yang ugal-ugalan stok beras CBP di Bulog sekarang menipis menjadi sekitar 1,18 juta ton. Sedangkan rata-rata kebutuhan konsumsi beras nasional sebesar 2,5 juta ton per bulan maka berpotensi terjadi panic buying yang diakibatkan karena guyuran BLT yang dirapel dalam jumlah besar membuat uang beredar semakin banyak namun barang kebutuhan pokok justru langka. Jika solusi untuk menambal kurangnya stok dengan impor maka menambah daftar malapetaka karena menjelang masa panen.
Ditambah penyaluran bantuan beras 10 kg menggunakan data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) yang dikelola Kemenko PMK yang jumlah penerimanya tumpang tindih dan tidak sinkron dengan data DTKS Kementerian Sosial. Tumpang tindih data ini membuat program bantuan pangan rawan tidak tepat sasaran.
Melihat fakta-fakta ini, kenaikan anggaran bansos melalui skema automatic adjustment bukan digunakan untuk kebutuhan ekonomi nasional, melainkan sarat dengan kepentingan politik jangka pendek menjelang pemilihan umum. Terutama kepentingan personal Presiden, di mana putra sulung Presiden Jokowi yaitu Gibran Rakabuming Raka maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.
Kebijakan bansos melalui automatic adjustment ini sangat berkontribusi mengerek elektabilitas Prabowo-Gibran karena paslon 02 ini dikenal dengan paslon yang didukung oleh petahana dan diasosiasikan sebagai keberlanjutan program Presiden Jokowi yang memiliki kepuasan publik cukup tinggi, antara 75 hingga 80 persen lebih kepuasan publik tersebut mayoritas (39 persen) ditopang oleh bansos.
Sehingga dapat dikatakan kebijakan bansos melalui automatic adjustment disalahgunakan untuk kepentingan elektoral yang berpotensi melanggar Pasal 282 UU Pemilu yang mengatur bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Kebijakan bansos ugal-ugalan pada masa kampanye jelas menguntungkan paslon yang diasosiasikan dengan petahana, apalagi jika dalam penyaluran bansos terdapat bumbu-bumbu politik personalisasi untuk memilih paslon tertentu.
Di sinilah kata “kecurangan” menemukan maknanya, bahwa kebijakan bansos yang dipaksakan melalui skema automatic adjustment sebagai bentuk kecurangan yang merujuk pasal 282 UU Pemilu, di mana terdapat keputusan/tindakan dari pejabat negara yang menguntungkan salah satu paslon dan merugikan yang lainnya. Sehingga kontestasi elektoral dijalankan di arena yang tak adil.
Maka wajib hukumnya parlemen yang diisi oleh wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat yang membayar pajak untuk menjalankan fungsinya dalam mengawasi pelaksanaan APBN, kebijakan pemerintah hingga penyalahgunaan wewenang.
*Penulis adalah Ketua Umum DPP GMNI
© Copyright 2024, All Rights Reserved