Tidak ada yang memungkiri kampanye Trisakti yang dikumandangkan oleh Jokowi-JK saat Pilpres 2014 ternyata menuai banyak dukungan luas dari rakyat Indonesia. Setelah sekian lama bangsa ini asing dengan kata-kata Trisakti, Jokowi hadir dengan semboyan yang lain dari slogan kampanye presiden-presiden sebelumnya.
Hasil yang didapatkan ternyata positif. Jokowi-JK memenangkan pertarungan dan berhasil terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Harapan besar dari rakyat Indonesia pun mengemuka seiring kemenangan pasangan ini. Semangat yang tak ubahnya sebagai sejarah baru bagi bangsa ini menjadi penyemangat dari segenap relawan pendukung Jokowi-JK. Trisakti yang selama begitu asing ditelinga rakyat Indonesia menjadi sarapan pagi yang senantiasa didengar saban hari lewat banyak macam media.
Satu keyakinan pasti dari Jokowi manakala kampanye Trisakti menjadi semboyan utama pada saat Pilpres adalah keyakinannya terhadap situasi kebangsaan yang sangat jauh melenceng dari cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945. Kolonialisme model baru (baca : Neoliberal) adalah satu aspek yang menjadikan Jokowi-JK mengusung Trisakti sebagai anti tesa dari persoalan bangsa sekarang ini.
Problemnya selama tahun 2015 Trisakti yang dikenal hebat sejak zaman Bung Karno dan menjadikan bangsa ini disegani oleh negara lain ternyata hanya menjadi jargon semata oleh Presiden Jokowi. Berbagai macam kebijakan yang bertentangan dengan Trisakti justru banyak dilakukan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Sebutlah misalnya soal politik utang luar negri kita. Per April 2015 seperti yang dirilis oleh Bank Indonesia, jumlah utang luar negri Indonesia tercatat sebesar USD 299,84 atau setara dengan Rp. 4.133 Triliun. Padahal dalam beberapa kesempatan berkampanye saat Pilpres 2014 Jokowi-JK berjanji akan menolak utang luar negri.
Kemudian soal kabinet pemerintahan Jokowi-JK. Cerminan kampanye Trisakti ternyata tidak kelihatan dalam struktur kabinet Jokowi-JK yang dinamakan kabinet Gotong Royong. Tidak sedikit menteri-menteri yang ada dalam kabinet masih mengedepankan sikap yang anti dengan Trisakti. Belum lagi seringnya silang pendapat antar menteri yang satu dengan menteri yang lain atau bahkan silang pendapat menteri justru dengan Presiden atau Wapres.
Puncak menguji Trisakti Jokowi ditahun 2015 lalu adalah saat bangsa ini ribut soal PT Freeport Indonesia. Komitmen untuk melaksanakan Trisakti mendapatkan momentumnya ketika kasus "Papa Minta Saham" begitu banyak menyita perhatian rakyat Indonesia. Dan lagi-lagi Trisakti yang digembar-gemborkan oleh Jokowi-JK tidak hadir sebagai garda terdepan untuk menegaskan bahwa bangsa ini masih punya kedaulatan.
Ditahun 2016 ini, Trisakti Jokowi akan semakin di uji dengan hadirnya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Banyak yang beranggapan dengan berlakunya MEA ditahun 2016 akan menjadikan rakyat di Asia Tenggara bisa hidup makmur bersama. Hal yang pernah diimpikan oleh rakyat Yunani ketika memutuskan untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Satu yang pasti bahwa agenda utama dari MEA adalah liberalisasi. Dan saat inilah Trisakti Jokowi kembali mendapatkan momentumnya untuk di uji. Mampukah Trisakti bertahan? Kita tunggu jawabannya 11 bulan kedepan..
*Alif Kamal, Wakil Ketua Umum KPP PRD
© Copyright 2024, All Rights Reserved