Nyamuk aedes aegypti selama ini dikenal sebagai penyebar virus demam berdarah dengue (DBD). Fooging (pengasapan) menjadi cara untuk membasminya. Itu pun kadang kurang efektif membasmi nyamuk tersebut. Ke depan, cara itu mungkin akan ditinggalkan. Dengan kemajuan teknologi, kini ada cara baru mengendalikan nyamuk aedes aegypti. Membuat mandul nyamuk jantannya.
Mungkin terdengar aneh. Tapi temuan teknologi ini yang kini dikembangkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Mereka menyebutnya, teknik serangga mandul.
Kepala Batan, Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan teknik serangga mandul bisa menjadi solusi mengatasi penyebaran nyamuk DBD.
"Kami memiliki teknologi yang bisa membuat nyamuk mandul yang akhirnya akan menekan timbulnya penyakit karena nyamuk seperti DBD. Tujuan Teknik Serangga Mandul (TSM) adalah menurunkan jumlah populasi nyamuk dengan cara menyebarkan nyamuk jantan pada habitatnya. Meskipun terjadi perkawinan antara nyamuk jantan dengan nyamuk betina, namun dari perkawinan tersebut tidak akan terjadi pembuahan,” ujarnya kepada politikindonesia.com di Jakarta, Selasa (08/11).
Djarot menjelaskan, TSM adalah upaya memandulkan nyamuk jantan dengan menggunakan radiasi sinar gamma. Radiasi gamma ini dipancarkan dari sumber radiasi gamma yang ditempatkan dalam suatu instalasi nuklir yang disebut Irradiator.
Target penyinaran radiasi adalah nyamuk dewasa jantan yang sudah dibiakkan terlebih dahulu di laboratorium.
"Dengan penyinaran pada dosis tertentu, maka nyamuk jantan akan menjadi mandul dan tidak bisa membuahi nyamuk betina. Nyamuk jantan mandul kemudian dilepaskan kembali ke habitatnya. Nyamuk jantan mandul masih bisa kawin, namun telor yang sudah dibuahi tidak akan menetas,’’ ujarnya.
Dituturkan Djarot, TSM adalah teknologi nuklir yang sudah lebih dari 50 tahun dipakai di seluruh dunia. Awalnya teknik ini digunakna untuk melawan lalat buah, ngengat dan serangga pengganggu lainnya.
Teknologi ini kemudian dikembangkan oleh Badan Tenaga Atom lntemasional untuk melawan penyakit berbasis virus yang dibawa nyamuk. Indonesia bersama Italia, China dan Mauritius dijadikan pionir untuk program ini.
"Teknik serangga mandul memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik Iainnya, karena Iebih murah, ramah Iingkungan dan lebih mudah digunakan."
Ia menambahkan, efektivitas penurunan populasi bisa mencapai 96,35 persen pada penyebaran nyamuk jantan minggu ke empat. Selain itu, dapat menahan munculnya kasus baru di atas 7 bulan dan dapat menghilangkan keberadaan virus yang dianalisis pada tubuh nyamuk setelah pelepasan kedua.
Dipaparkan, data Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa dari sekitar 500 Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia, 90 persen di antaranya merupakan daerah endemik nyamuk Aedes, termasuk Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Wilayah tersebut menjadi daerah endemik karena kondisi lingkungannya yang kurang kondusif. Salah satu faktor penyebab berkembangnya nyamuk DBD adalah drainase yang buruk.
"Banyaknya saluran air yang mampet dan tidak dapat mengalir dengan baik akan menyebabkan air tergenang dan menyebabkan jentik-jentik nyamuk Aedes aegypty bisa berkembang biak dengan baik. Perubahan lingkungan akibat urbanisasi dan pembangunan pemukiman juga menjadi faktor resiko. Selain itu, banyaknya galian bekas proyek pembangunan atau galian yang tidak tertutup dengan sempurna bisa menjadi faktor penyebab nyamuk mudah berkembang," jelasnya.
Kata Djarot, selama ini berbagai metode untuk mengurangi kasus DBD telah dilakukan, diantaranya dengan memasang kawat nyamuk di ventilasi rumah, menyebarkan vaksin dan melakukan fogging (penyemprotan). Sementara itu, pengendalian penyakit DBD hanya dilakukan melalui pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti," ungkapnya.
"Namun, ada cara yang paling populer adalah Gerakan 3 M (menguras, menutup dan mengubur) serta terakhir berubah menjadi 3M-Plus (gunakan larvasida, kelambu, kawat kasa, dan obat anti nyamuk). Akan tetapi, semua cara ini sudah dianggap tidak efektif dan yang pasti menyebabkan pencemaran lingkungan," ucapnya.
Di beberapa negara, lanjutnya, sudah dikenal teknik pengendalian DBD yang dikembangkan oleh Oxitec dari Oxford, Inggris dan Australia, yaitu penggunaan nyamuk Aedes aegypti yang tubuhnya diinfeksi oleh bakteri Wilbachia.
"Kedua cara terakhir ini pada akhirnya banyak yang menentang karena merupakan hasil rekayasa genetika yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak negatif di kemudian hari," imbuhnya.
Sementara itu, Peneliti dari PAIR Batan, Ali Rahayu menambahkan, melalui Pusat Aplikasi lsotop dan Radiasi (PAIR) sudah melakukan penelitian TSM sejak tahun 2005. Pada tahun 2011 sampai dengan tahun 2015, pihaknya telah mengaplikasikan teknik tersebut di wilayah Jakarta, Salatiga, Tangerang dan Bangka Barat. Hasilnya, teknik tersebut mampu menurunkan populasi nyamuk secara signifikan.
"Secara teknologi kami siap. Karena TSM ini untuk menekan populasi nyamuk dan penyakit DBD sampai Zika. Bahkan, teknik tersebut akan kami sodorkan kepada Kementerian Kesehatan untuk memberantas DBD, di luar yang dilakukan Kementerian Kesehatan secara konvensional seperti fogging," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved