Kondisi masyarakat adat Indonesia diproyeksikan semakin berat pada tahun-tahun ke depan. Eskalasi konflik sosial ataupun konflik lahan yang menyudutkan masyarakat adat diprediksi akan kian banyak pada era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Hal tersebut terjadi banyak regulasi yang diwarisi oleh pemerintahan Jokowi dianggap tidak berpihak pada masyarakat adat.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi, menilai, transisi kekuasaan tidak akan membawa perubahan bagi masyarakat adat.
Dia menunjuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek food estate yang dilakukan oleh Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan sebagai salah satu indikasi negara tak berpihak pada masyarakat adat.
Pernyataan kekhawatiran dan kecemasan tersebut disampaikan Rukka Sombolinggi saat menyampaikan Catatan Akhir Tahun (Catahu) di Jakarta.
Berikut petikan wawancaranya dengan Endah Lismartini dari politikindonesia.id dengan Rukka Sombolinggi:
Menurut Anda, sebagai Sekjen AMAN, bagaimana perjalanan perlindungan masyarakat adat oleh negara?
Tahun 2024 menjadi momen penting bagi Indonesia dengan berlangsungnya Pemilu dan Pilkada serentak. Namun transisi kekuasaan ini belum membawa perubahan signifikan bagi masyarakat adat. Situasi yang ada justru semakin memburuk dengan bertambahnya perampasan wilayah adat hingga mencapai 2,8 juta hektare, serta eskalasi kriminalisasi dan kekerasan yang terus dialami oleh masyarakat adat.
Seberapa besar angka kriminalisasi dan perampasan wilayah yang terjadi?
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat pada tahun 2024 setidaknya terjadi 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat yang terjadi di 140 komunitas, dengan total luas wilayah terdampak mencapai 2,8 juta hektare. Beberapa kasus mencolok terjadi di wilayah adat Sihaporas, Poco Leok, dan Kepulauan Togean. Kekerasan yang sistematis ini mencerminkan praktik ‘penyangkalan negara’ terhadap eksistensi masyarakat adat.
Sepanjang perjuangan Anda di AMAN, apa saja tantangan besar yang dihadapi masyarakat adat di seluruh Indonesia?
Hingga akhir tahun 2024, masyarakat adat terus menghadapi tantangan besar, betapa minimnya pengakuan hukum dan regulasi yang melindungi hak-hak mereka. Beberapa kebijakan, seperti Undang-undang Cipta Kerja, Undang-undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem (UU KSDAHE), serta proyek pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN) menggambarkan lemahnya komitmen negara dalam memenuhi mandat konstitusional untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.
Kita baru saja melalui transisi kekuasaan, menurut Anda kira-kira bagaimana komitmen pemerintahan baru terhadap pelestarian masyarakat adat?
Transisi kekuasaan di tingkat nasional seharusnya menjadi momentum perubahan, namun yang terjadi justru kelanjutan dari rezim yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Kami menuntut pemerintah baru untuk tidak menjadikan investasi dan bisnis sebagai prioritas utama, melainkan mengutamakan pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Tanpa langkah konkret, masa depan masyarakat adat akan terus terancam.
Banyak harapan tinggi untuk pemerintahan Prabowo-Gibran. Sebagai penggiat kelestarian dan perlindungan masyarakat adat, bagaimana pendapat Anda?
Dalam visi misi dari Prabowo-Gibran tidak ada satupun yang berpihak kepada masyarakat adat. Terlebih lagi, berbagai kebijakan yang ada bisa disebut mirip dengan kebijakan Presiden Jokowi sebelumnya. Saya mengingatkan teman-teman untuk bahwa kita lima tahun ke depan tidak akan baik-baik. Karena seluruh kebijakan yang buruk sudah lahir dalam 10 tahun terakhir. Jadi Prabowo dan Gibran ini tidak perlu (mengeluarkan kebijakan baru), apalagi kebijakan buruk yang harus dilahirkan karena sudah ada semua. Kita lihat sekarang ini Prabowo sudah kemana-kemana, jualannya adalah hutan, mengundang investor untuk (investasi) (karena) kita punya tambang, termasuk food estate. Dan food estate justru menghancurkan hutan dan berbagai wilayah masyarakat adat.
Apa saja indikasi yang menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah kita untuk menjaga dan melindungi masyarakat adat?
Realitas kebijakan yang tidak berpihak terhadap masyarakat adat, juga tercermin dari perjalanan panjang Rancangan Undang Undang (RUU) Masyarakat Adat, yang meski masuk kembali dalam Prolegnas 2025 setelah sekian lama diabaikan, namun lambannya proses legislasi ini menunjukkan kehendak politik negara. Di sisi lain, kebijakan-kebijakan seperti Peraturan Menteri ATR/BPN No.14 Tahun 2024 tentang tanah ulayat justru berpotensi mempercepat hilangnya wilayah adat.
Kondisi ini semakin diperburuk oleh kebijakan ekonomi yang lebih memprioritaskan investasi dan proyek strategis nasional dari pada hak asasi manusia. Proyek pemindahan IKN misalnya, menjadi ancaman langsung bagi lebih dari 20.000 warga adat di Kalimantan Timur.
Dampak buruk apa saja yang terjadi dari lemahnya komitmen negara untuk melindungi masyarakat adat?
Minimnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat telah menyebabkan eskalasi konflik di lapangan. Kebijakan seperti Peraturan Menteri ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 menunjukkan bagaimana negara terus mengabaikan hak konstitusional masyarakat adat. Kami mendesak agar pemerintah segera mencabut kebijakan diskriminatif ini dan memberikan perlindungan hukum yang nyata terhadap wilayah adat.
Apa harapan terbesar Anda untuk terus menjaga, melindungi dan melestarikan masyarakat adat di nusantara?
Transisi kekuasaan ini harus dimanfaatkan sebagai momentum untuk merombak paradigma pembangunan yang selama ini mengabaikan hak-hak masyarakat adat. AMAN mendesak agar pemerintah tidak hanya berfokus pada ekonomi dan investasi, tetapi juga memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat demi tercapainya keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. []
© Copyright 2025, All Rights Reserved