Siapa pun Presiden yang terpilih dalam Pemilu Presiden 9 Juli mendatang, pemerintahan mendatang harus lebih serius dalam peningkatan keutamaan gender dan perlindungan terhadap hak-hak perempuan.
Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Migrant Care, Anis Hidayah kepada politikindonesia.com, di Kantor KPU, Jakarta, Jumat (06/06). Migran Care yang bergabung dalam Jaringan Gerakan Perempuan Indonesia Beragam mendeklarasikan "10 Agenda Politik Perempuan." Pihaknya menawarkan kepada Presiden terpilih nanti agar dapat menjalankan 10 agenda politik perempuan ini.
“Perempuan masih mendapat perlakuan marjinal di Indonesia, termasuk dalam ranah politik. Harus ada perubahan signifikan pada pemerintahan mendapat untuk dapat memberikan akses bagi perempuan untuk berkompetisi baik di tingkat lokal, nasional maupun internasional,” ujar perempuan kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, 7 November 1976 ini.
Anis meminta, pemerintahan mendatang memberikan porsi lebih kepada perempuan untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan. “Karena program apa pun diawali dari kebijakan, kalau perempuan absen di sana maka pada tataran itu, perempuan akan masih marjinal," ujar dia.
Menurutnya, 10 rekomendasi politik yang dideklarasikan Jaringan Gerakan Perempuan Indonesia Beragam itu adalah untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan menjamin hak-hak perempuan.
Kepada Elva Setyaningrum, lulusan Fakultas Hukum, Universitas Jember, Jawa Timur ini mengungkapkan, harapannya tentang perempuan terhadap presiden terpilih nanti. Berikut wawancaranya.
Sebagai sebuah lembaga, siapa Capres yang didukung Migrant Care?
Kami menyatakan, secara lembaga, Migrant Care tidak mendukung salah satu pasangan capres-cawapres. Pilihan itu, kita kembalikan ke individual masing-masing. Kami hanya ingin memastikan kriteria pasangan capres-cawapres harus mau berkomitmen dan mampu memperjuangkan keadilan bagi perempuan dan anak.
Lantas, harapan Anda terhadap Presiden terpilih nanti?
Siapa pun presidennya yang terpilih nanti, kami ingin pemerintah mendatang mau dan secara serius melakukan perlindungan kepada hak-hak perempuan.
Perempuan masih mendapat perlakuan marjinal di Indonesia, termasuk dalam ranah politik. Harus ada perubahan signifikan di pemerintahan mendatang.
Anda dan Jaringan Gerakan Perempuan Indonesia Beragam mendeklarasikan 10 agenda politik perempuan, apa itu?
10 agenda ini terdiri dari isu-isu penting yang berkaitan dengan pemenuhan hak perempuan. Meskipun jumlah perempuan sangat luar biasa, tapi hingga kini belum ada peningkatan signifikan dalam pengembangan peran perempuan serta perlindungan terhadap hak-hak azazi mereka. Jika 10 agenda politik ini diadopsi oleh pemerintahan mendatang, komitmen untuk wujudkan kesetaraan gender akan lebih baik.
Apa isi 10 agenda politik perempuan tersebut?
Pertama, pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan seksualitas, kedua, pemenuhan hak atas pendidikan terutama pendidikan perempuan, ketiga, penghentian kekerasan terhadap perempuan, keempat, penghentian pemiskinan perempuan dan kelompok marginal melalui perlindungan sosial.
Kelima, perlindungan perempuan dalam situasi konflik, bencana, serta pengelolaan sumber daya alam, Keenam, pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak bagi perempuan, Ketujuh, perlindungan atas kebebasan berkeyakinan dan beragama, Kedelapan, hak politik perempuan. Kesembilan, penghapusan produk hukum yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas, dan Terakhir, penghentian korupsi.
Bagaimana penilaian anda tentang kondisi perempuan di Indonesia saat ini?
Kondisi buruk yang dialami kaum perempuan saat ini semakin meningkat, baik dalam maupun luar negeri. Namun, anggaran yang dikucurkan pemerintah semakin berkurang, padahal tindak kekerasan terhadap perempuan terus meningkat.
Perlu diketahui, setiap hari ada sebanyak 4 orang buruh migran asal Indonesia yang meninggal di luar negeri. Tapi akses mereka untuk mendapat keadilan sangat kecil, seperti yang terjadi di Arab Saudi dan Malaysia.
Bukankah pemerintah selalu merespon terhadap kasus-kasus buruh migran?
Upaya-upaya pemerintah untuk merespons kasus buruh migran masih lamban. Mereka lebih banyak melakukan pendekatan kasuistis. Misalnya, sikap pemerintah menghadapi banyaknya Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terancam hukuman mati di luar negeri dengan membentuk satuan tugas (satgas). Namun, satgas tersebut hanya bertahan selama setahun.
Saya rasa, bukan bagaimana kita merespons, tapi bagaimana kita mencegah. Jadi bukannya tidak ada penindakan terhadap kasus kekerasan yang menimpa TKI, tapi respon yang mereka lakukan selalu berbeda. Dulu banyak yang pulang tanpa ada respons sama sekali. Sekarang, paling tidak sudah ada respons. Walaupun untuk akses terhadap keadilan belum ada perubahan.
Bagi para buruh migrant, pembekalan apa yang harus diberikan?
Saya kira yang penting adalah bagaimana pemahaman tentang hak-hak mereka. Buruh migrant harus paham betul hak mereka sebagai pekerja yang bekerja di luar negeri dan penanganan jika hak mereka dilanggar serta tidak dipenuhi. Ketika mereka sadar haknya, maka mereka bisa memperjuangkan dan melawan.
Selain itu, mereka harus memahami hukum negara setempat. Dalam banyak kasus, karena minimnya pengetahuan mereka terkait hukum yang berlaku, banyak yang menjadi korban.
Para TKI tak hanya cukup memiliki skill di bidangnya. Selama ini pembekalan yang diberikan PJTKI selalu mengutamakan skill. Kasus yang selama ini terjadi karena skill mumpuni tanpa didukung pemahaman mengenai hak mereka sebagai pekerja. Termasuk yang tidak kalah penting secara spesifik adalah tentang hak-hak perempuan.
Bicara Pemilu legislatif, bagaimana anda melihat peran perempuan?
Secara pribadi saya sangat kecewa dengan hasil Pileg. Amat disayangkan, Pileg mengeliminasi banyak calon legislatif (caleg) perempuan yang berkualitas.
Caleg perempuan yang tidak terpilih, mereka terlempar dengan cara yang tidak elok karena kelemahan sistem. Sebagian besar, perempuan yang lolos menjadi anggota DPR periode 2014-2019 tidak berlatar belakang aktivis perempuan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved