MAHKAMAH Konstitusi (MK) telah menolak gugatan nomor 146/PUU-XXII/2024 tentang penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) serta penghapusan agama dan kepercayaan sebagai syarat sah perkawinan.
Keputusan MK ini wujud perlindungan konstitusional negara terhadap hidup-matinya agama dan umat beragama di Indonesia. Ini berarti, negara tak memberi tempat bagi tumbuh-kembangnya ateisme di berbagai pelosok Tanah Air.
Berdasarkan survei dari Pew Research Center, Indonesia adalah negara yang penduduknya paling banyak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jumlahnya tembus 96%.
Orang Indonesia percaya moralitas bangsa sangat ditentukan oleh kepercayaan kepada Tuhan. Sementara moralitas itu sangat menentukan peran Indonesia sebagai epicentrum of growth (pusat pertumbuhan) dan epicentrum of harmony (pusat keserasian).
Di negara muslim yang lain, justru ateisme terus berkembang lantaran penerapan syariat Islam yang diskriminatif dan antikemanusiaan. Hasil survei berikut merupakan bukti tren ateisasi:
Pertama, pada 2020, terdapat 242.000 di Arab Saudi yang mengidentifikasi diri sebagai ateis. Mereka kecewa terhadap pemerintah yang menerapkan hukum yang kejam dan represif.
Kedua, pada tahun yang sama, di Iran terdapat 9% penduduk yang mengidentifikasi dirinya sebagai ateis. Mereka tak puas terhadap mulahisme yang mengkuduslan imam syiah 12 dalam beragama.
Ketiga, kesalehan muslim Lebanon menurun sampai 43 persen. Para ulama dan umara mempertontonkan hidup yang cinta dunia dan jabatan. Sementara rakyat umum, mengalami kesulitan hidup. Ateisme merupakan jalan protes sosial terhadap borjuisme para tokoh agama.
Keempat, pada 2019, jumlah muslim Turkiye turun dari 55% menjadi 51%. Mereka kecewa terhadap pergeseran sekularisme pada Islamisme politik sayap kanan dari Presiden Recep Tayyib Erdogan.
Kelima, pada 2014, penduduk Mesir mengakui diri sebagai ateis. Jumlah mereka sampai 12,3%. Mereka penduduk yang tak puas terhadap pelayanan agama-agama besar. Mereka adalah kelompok Egyp yang tertindas dan marginal.
Jadi, perkembangan ateisme di negara muslim di atas merupakan ideologi perlawanan terhadap dominasi spiritual yang menjadi alat kekuasaan politik dan agama yang menyimpang dari maqashidus-syariah berikut ini:
Pertama, tujuan hifdhud-din (memelihara agama), kedua, hifdun-nafs (memelihara jiwa), ketiga, hifdhul-'aqal (memelihara akal), keempat, hifdhun-nasl (memelihara keturunan), dan kelima, tujuan hifdhul-mal (memelihara harta).
Lepas dari itu semua, Ateis di Indonesia merupakan aliansi gerakan di media sosial untuk menyatukan orang yang sevisi. Melalui Facebook, Twitter, Instagram, YouTube, TikTok, dan media sosial lain, mereka berhimpun dan bergerak mengkampanyekan God is Dead (Tuhan telah mati), dan agama itu hanya sekadar delusi sejarah tuhan dalam kehidupan manusia.
Seperti yang ditulis oleh Kerren Amstrong, "The History of God", eksistensi Tuhan ada dalam persepsi manusia yang mengalami evolusi. Yahudi, Nasrani, dan Islam mengajarkan persepsi monoteisme Tuhan dalam pelafalan yang sama: Elloh, Alah, atau Alloh.
Perkembangan pemikiran, sains dan teknologi di dunia Islam memadukan sumber ilmu pengetahuan yang berasal dari akal dan wahyu. Sehingga perkembangan kebudayaan dan peradaban ditandai dengan keunggulan akal budi dan hati nurani.
Sedangkan, perkembangan pemikiran, sains dan teknologi di dunia Barat, justru mengadu domba dan bahkan menceraikan sumber ilmu pengetahuan antara akal dan wahyu. Sehingga perkembangan kebudayaan dan peradaban ditandai dengan kepongahan akal budi dan mematikan hati nurani.
Sampai-sampai Filusuf Jerman Freidrich Nietzche pada 1882 menyatakan bahwa Tuhan itu fiksi yang diciptakan manusia. Sebab, ada atau tidak adanya Tuhan ialah bergantung pada manusia itu sendiri. Bila manusia merasa Tuhan diperlukan hadir dalam alam fikir, maka Tuhan ada. Sebaliknya, bila manusia merasa Tuhan tak diperlukan hadir dalam alam fikir manusia, maka Tuhan tiada.
Tuhan, kata Nietzsche, Gott ist tot, dalam bahasa Jerman yang artinya Tuhan telah mati. Manusia yang membunuh ide Tuhan dalam petualangan intelektual. Mereka mengorbankan ide Tuhan untuk mengikuti petualangan sains dan teknologi yang menyenangkan.
Pada dekade 60-an di Amerika, ada gerakan teotanatologi yang berpandangan bahwa Tuhan telah mati. Sebab, kehidupan manusia modern yang sekuler telah menghilangkan yang suci dan transendensi. Manusia dikendalikan oleh materi hasil ciptaan sendiri. Tokoh dari gerakan ini antara lain: Gabriel Vahanian, Paul Van Buren, William Hamilton, dan Thomas JJ Altizer.
Dalam konteks Indonesia, para murid tokoh-tokoh di atas adalah mereka yang belajar pada pemikiran agnostik yang tak memberi tempat pada ide Tuhan sama sekali.
Berdasarkan survei Atheist Aliance Internasional, menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 1,5% atau 3,5 juta penduduk yang tak berketuhanan dan beragama. Mereka yang menginginkan kolom agama di KTP dan syarat agama atau kepercayaan dalam perkawinan dihapus. Sebab, agama telah menjadi sumber penghalang bagi perkawinan antara jamaat ateistik dengan jamaat teistik.
Bahkan, bila mau menengok ke belakang pada 1955, hasil pemilu pertama Indonesia pascamerdeka justru menyebut jumlah yang jauh lebih besar dari penelitian Pew Research Center atau Atheist Alliance Internasional, mengkonfirmasi jumlah ateis antara 1,5%-4,0% dari populasi penduduk.
PKI sebagai wadah perjuangan kaum ateis komunis memperoleh suara 16,2% atau 6,1 juta dari 37,7 juta pemilih yang menggunakan hak pilih. Bila persentase hasil pemilu 1955 ini dijadikan preferensi untuk mentaksasi jumlah ateis di Indonesia, maka jumlah mereka hari ini sudah bisa tembus 50 juta orang.
Suatu jumlah yang sangat menentukan bagi menang atau tidaknya Pileg, Pilpres, atau Pilkada. Mereka adalah kelompok strategis yang punya kendali terhadap perjalanan bangsa dan negara. Sayang, ateisme tanpa bentuk ini telah masuk ke berbagai sel lembaga tinggi negara, parpol, maupun ormas.
Maka dari itu, keputusan MK menolak permohonan mereka, tak kalah hebat dari penumpasan bersenjata terhadap pemberontak PKI Madiun atau G-30 S/PKI. Bersyukur, para hakim konstitusi tak terkecoh oleh bluffing atau gertakan atas Konvensi Hak Asasi Manusia Jenewa pada 12 Agustus 1949.
Indonesia adalah negara religius yang merasakan manfaat bertuhan dan beragama dalam membimbing hidup manusia, sumber ketenangan dan ketentraman hidup, mendorong pengabdian terhadap Tuhan, manusia dan alam, dan membangun harmoni sosial.
MK telah menjadi the guardian of religion yang merupakan hak dasar untuk memenuhi kebutuhan bertuhan dan beragama serta mewujudkann kesejahteraan agama dan umat beragama di Indonesia.
*Penulis adalah Pendiri Eksan Institute
© Copyright 2025, All Rights Reserved