PADA tanggal 14 Maret 2024, Bung Hatta atau Mohammad Hatta (1902-1980) kita peringati wafatnya yang ke 44 tahun. Banyak predikat yang disematkan kepada tokoh besar Republik Indonesia ini.
Sebagai pejuang dan proklamator kemerdekaan, ekonom, bapak koperasi dan banyak lagi. Namun hal yang paling penting lagi, menurut saya, sebagaimana diusulkan oleh Prof Sri Edi Swasono, Bung Hatta itu layak kita sebut sebagai Bapak Kedaulatan Rakyat Indonesia.
Penyematan penghargaan ini tentu bukan isapan jempol belaka, sebab Bung Hatta-lah yang selalu konsisten dalam pikiran maupun tindakannya untuk memaknai istilah kedaulatan rakyat Indonesia tersebut.
Gagasan tentang Kedaulatan Rakyat Indonesia atau padanannya adalah Demokrasi Indonesia itu bahkan terus diperjuangkan secara konsisten dari sebelum Indonesia merdeka, ketika di pemerintahan dan ketika beliau kembali sebagai warga negara Indonesia biasa.
Bahkan dia tidak segan membuat kritikan tajam pada scholar lainnya mengenai perihal kedaulatan rakyat atau Demokrasi Indonesia melalui berbagai media.
Istilah kedaulatan rakyat (people sovereignty) memang berasal dari gagasan para ahli ilmu sosial Barat dan terutama Jean Jacques Rousseau (1712-1778).
Namun Bung Hatta memberikan sebuah pemahaman mendalam istilah kedaulatan rakyat tersebut justru dengan mendasarinya dengan kritik tajamnya terhadap makna kedaulatan rakyat dari Rousseau yang didasarkan pada dasar individualisme ala Barat yang hanya menekankan persamaan hak dan politik namun tidak dalam perihal perekonomian dan pergaulan sosial.
Bung Hatta menganggap demokrasi politik saja tidak lantas bisa dikatakan telah melaksanakan persamaan dan persaudaraan, dan karena itu, di sebelah demokrasi politik harus berlaku pula demokrasi ekonomi. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi itu juga harus berjalan sebagai dua sisi mata uang dan tidak terpisahkan.
Demokrasi yang sesungguhnya tidak mungkin dapat berjalan dengan sistem autokrasi ekonomi dalam keseharian. Menurutnya, semangat individualisme memajukan politik liberalisme, dan liberalisme memperkuat roh kapitalisme (Hatta, dalam pamflet dengan judul "Ke Arah Indonesia Merdeka", 1932).
Sumbangsih Bung Hatta terhadap pemikiran demokrasi atau kedaulatan rakyat mengandung dua inti pemikiran, ialah cita-cita negara hukum yang demokratis dan penolakan terhadap individualisme yang dijabarkan dalam konsep koperasi.
Dalam penolakan terhadap individualisme, Bung Hatta menganggap kedaulatan rakyat ciptaan Indonesia harus berakar dalam pergaulan sehari-hari yang bercorak kolektivisme. Beliau menyatakan bahwa cita-cita perjuangan Indonesia adalah menciptakan terlaksananya dasar-dasar perikemanusiaan dan keadilan sosial.
Dalam konteks koperasi, Bung Hatta berpandangan bahwa pembangunan koperasi tidak dapat didikotomikan dalam dimensi makro-ideologi dan dalam dimensi mikro-organisasi.
Koperasi sebagai bangun perusahaan demokratis semestinya juga disusun seperti susunan batu bata utuh sistem demokrasi ekonomi, dan bahkan disebut oleh Bung Hatta sebagai lawan tanding kapitalisme secara fundamental.
Berangkat dari dasar pikir demikian, koperasi dan praktik koperasi semestinya dihubungkan dengan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan yang berkeadilan dan bukan semata-mata untuk mencapai pertumbuhan ekonomi semata. Pembangunan juga semestinya dipusatkan pada dimensi luas kemanusiaan beserta atribut budaya dan kelestarian alam semesta.
Praktik Hari ini
Secara politik, negeri ini mengaku sebagai rezim demokrasi. Setiap orang berhak atas hak politik masing-masing dan dijamin persamaannya di depan hukum. Bahkan, dalam pemaknaan demokrasi politik yang mekanistik kita telah berjalan sampai tahapan ultra-liberal.
Demokrasi kita berubah menjadi demokrasi voting. Sementara itu, demokrasi ekonominya tertinggal jauh di belakang. Cita-cita kemakmuran bagi semua tertawan rezim oligark dan plutokrat--kuasa di tangan segelintir elite penguasa dan pengusaha.
Konstitusi 1945, terutama Pasal 33, baik yang telah diamandemen ataupun aslinya, jelas menyebut bahwa sistem perekonomian Indonesia menganut asas demokrasi ekonomi dan mesti disusun berdasarkan asas kekeluargaan.
Sistem perekonomian mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi diselenggarakan dengan melibatkan seluruh anggota masyarakat. Bung Hatta ternyata sangat visioner dengan mengatakan bahwa demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi hanya akan melahirkan sistem autokrasi atau sistem oligarki nepotistik seperti yang tampak dewasa ini.
Demokrasi ekonomi atau biasa disebut sosio-demokrasi atau ekonomi solidaritas sebenarnya adalah sebuah sistem relatif baru. Sistem yang telah diperdebatkan oleh para pendiri republik ini jauh sebelum Indonesia merdeka ini, baru menjadi wacana para pakar ekonomi dunia pada tahun 1970-an.
Saat ini, terjadinya konsentrasi kepemilikan kekayaan dan makin melebarnya kesenjangan sosial ekonomi akibat dari sistem kapitalisme telah mendorong berbagai pihak untuk memikirkan kembali tata kelola ekonomi yang berkeadilan.
Kesetaraan politik harus diimbangi dengan hak yang setara dalam akses terhadap sumber daya ekonomi. Segelintir orang tidak boleh memarginalkan sebagian besar masyarakat seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi liberal-kapitalistik saat ini. Hal tersebut menemukan relevansinya tatkala dunia saat ini sangat membutuhkan equality, kesetaraan.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dua dekade tumbuh rata-rata kurang lebih 5 persen. Namun, pertumbuhan tersebut ternyata menyisakan angka kesenjangan yang tajam.
Menurut Oxfam (2022), kekayaan 4 keluarga konglomerat ternyata sama dengan 100 juta rakyat Indonesia dari yang termiskin. Sistem demokrasi politik liberalistik yang penuh hiruk-pikuk saat ini justru memperkaya segelintir mereka yang berpunya dan meninggalkan kebanyakan mereka yang tidak berpunya.
Masyarakat di dalam sistem demokrasi ekonomi seharusnya diberi peluang mengkreasi kekayaan dalam bentuk kepemilikan dan memperoleh pembagian pendapatan secara adil. Dengan demikian, dalam sistem masyarakat yang demokratis, akses terhadap kepemilikan alat produksi serta sistem penggajian perlu diatur sedemikian rupa. Masyarakat perlu dilibatkan dalam setiap urusan kepemilikan dan pengawasan perusahaan secara langsung.
Resep pemikiran Bung Hatta lainya juga sangat futuristik. Dia secara persisten berikan peringatan yang keras agar ekonomi ujung agar jangan dijadikan pangkal dan ekonomi pangkal jangan dijadikan ujung.
Kita seharusnya menjadikan soal ekonomi domestik (pangan dan energi) sebagai pangkal dan sektor komoditas ekstraktif, seperti tambang dan perkebunan monokultur, sebagai ujung. Bukan sebaliknya. Karena peringatan keras Bung Hatta itu diabaikan, maka jadilah sekarang kondisi fundamental ekonomi kita saat ini menjadi rapuh dimana kebutuhan konsumsi kita terjebak pada importasi.
Bangunan sistem demokrasi politik kita sudah lama tidak berjalan paralel dengan sistem demokrasi ekonomi. Setiap warga diberikan hak politik seluas-luasnya, namun liberalisasi politik yang sudah mencapai tahap ultra-liberal itu belum dapat merombak struktur sosial yang timpang dalam kehidupan ekonomi sehari-hari.
Kehidupan keseharian rakyat banyak masih berada dalam cengkeraman oligarki dan plutokrasi atau di tangan segelintir elite. Di sanalah sebenarnya agenda demokratisasi ekonomi memegang peranan penting seperti yang diharapkan Bung Hatta, untuk menjamin keadilan dari pertumbuhan ekonomi.
Melalui banyak tulisan Bung Hatta, tangan pertama perancang Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, kita dapat mempelajari substansi yang sesungguhnya terkandung dan dasar pemikiran yang mendasari pemikiran sistem demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi konstitusi Indonesia.
Termasuk menjadi penting untuk dijadikan sebagai bahan refleksi dari munculnya degradasi praktik demokrasi kita hari ini.
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES), CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat (INKUR), Penulis buku "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme"
© Copyright 2024, All Rights Reserved