Kasus stunting (anak pendek) di Indonesia cukup tinggi. Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan, prevalensinya mencapai 37,2 persen. Itu bukan jumlah yang sedikit. Salah satu penyebab stunting adalah perempuan yang hamil pada usia terlalu muda atau dibawah 20 tahun.
Sekitar 20,2 persen bayi yang dilahirkan stunting, disebabkan karena usai ibu yang terlalu muda atau dibawah 20 tahun. Karenanya, cara cepat mengurangi angka stunting di Indonesia adalah dengan menunda usia pernikahan.
“Jika angka usia pernikahan dimundurkan dari 16 tahun menjadi 20 tahun, maka banyak hal baik yang berpengaruh positif pada angka stunting. Karena kalau remaja dibawah 20 tahun itu hamil, secara psikologi dan fisik belum siap," terang Pakar Nutrisi, Fasli Jalal, kepada politikindonesia.com disela FGD Junalis, "Mengupas Tuntas Global Nutrition Report dan Permasalahan Stunting di Indonesia," di Jakarta, Selasa (21/11).
Menurutnya, menunda usia perkawinan, artinya memberikan kesempatan yang lebih baik pada calon ibu untuk menyiapkan dirinya secara fisik dan psikologi. Karena remaja dibawah usia 20 tahun masih mengalami pertumbuhan. Sehingga seharusnya tidak hamil terlebih dahulu dan jika terlanjur menikah disarankan untuk menunda kehamilan.
"Untuk mengatasi masalah stunting ini, rekomendasi saya adalah untuk memperbaiki UU Perkawinan, mengubah batas usia minimal menikah menjadi 20 tahun dari yang sekarang 16 tahun. Karena usia 16 tahun Itu masih masa pertumbuhan, masih SMP atau SMA. Saya kira kalau ini dipahami, maka banyak pihak yang akan menunda usia pernikahan. Sehingga bisa menyiapkan generasi yang lebih baik, sehat dan berkualitas," ungkapnya.
Selain ibu melahirkan pada usia muda, lanjutnya, kelahiran bayi stunting juga bisa disebabkan oleh tinggi badan ibu yang juga kurang atau dibawah 150 sentimeter (cm) dan berat ibu dibawah 45 kilogram (kg). Sehingga bayi yang dilahirkan juga mengalami berat badan kurang, yaitu dibawah 2.500 gram. Hal itu terjadi karena bayi kekurangan gizi sejak masih dalam kandungan.
"Dampaknya, kecerdasan anak berkurang. Bahkan, anak stunting juga akan terancam untuk mengalami masalah kesehatan dan rentan terhadapa penyakit. Sehingga produktifitas anak stunting juga ikut menurun, dan kemudian bisa berakibat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan sosial," terangnya.
Fasli menekankan perlu adanya program pendidikan kesehatan reproduksi untuk menjangkau para orangtua dan remaja sehingga dapat mengurangi kasus bayi stunting. Sebab, penyuluhan kesehatan tersebut sangat penting diberikan dengan materi gizi seimbang dan perilaku hidup sehat.
"Harus ada perubahan cukup besar untuk kebijakan atau program dengan sasaran remaja. Sebab, soal gizi buruk akan muncul tak hanya karena aspek kesehatan. Jadi, intervensinya diarahkan pada penguatan dan pemberdayaan masyarakat. Sehingga diperlukan kontribusi gizi yang harus dilakukan dengan serius," ujarnya.
Dia menjelaskan, kontribusi gizi untuk menekan stunting dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif. Intervensi gizi spesifik adalah upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara langsung. Kegiatan ini pada umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan, seperti imunisasi, pemberian makanan tambahan ibu hamil dan balita, monitoring pertumbuhan balita di Posyandu.
"Sedangkan, intervensi gizi sensitive adalah upaya-upaya untuk mencegah dan mengurangi gangguan secara tidak langsung. Berbagai kegiatan pembangunan pada umumnya nonkesehatan yang secara tidak langsung dapat menunjung kesehatan masyarakat. Kegiatannya antara lain penyediaan air bersih, kegiatan penanggulangan kemiskinan, dan kesetaraan gender," ulasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved