PUTUSAN penjara 6,5 tahun untuk Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah memicu polemik hangat di Indonesia. Banyak yang menganggap hukuman ini terlalu ringan, apalagi dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun. Hal ini mengundang pertanyaan tentang seberapa efektif sebenarnya sistem peradilan kita dalam menangani kasus korupsi besar.
Mantan Menko Polhukam, Mahfud MD, mengkritik putusan ini sebagai "tak logis" dan "menyentak rasa keadilan". Kritiknya mengisyaratkan kebimbangan publik mengenai ketidakadilan antara kerugian negara yang besar dan hukuman yang terlalu ringan.
Vonis yang ringan ini bisa berdampak negatif pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kebimbangan muncul bahwa hukuman semacam ini akan mengurangi efek jera bagi koruptor dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada sistem peradilan.
Kasus Harvey Moeis menyoroti kelemahan dalam penerapan Hukum Administrasi Negara dalam pemberantasan korupsi. Sekalipun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dirancang untuk meningkatkan kualitas pemerintahan dan mencegah korupsi, dari kasus ini membuktikan masih ada celah dalam implementasinya.
Hukum Administrasi Negara punya peran dalam mencegah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik. Kendati, kasus Harvey Moeis meyakinkan bahwa masih ada masalah besar dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip hukum ini ke dalam penegakan hukum anti-korupsi.
Vonis ringan dalam kasus ini memancing pertanyaan tentang efektivitas strategi pemberantasan korupsi yang ada. Diperlukan kebijakan yang lebih masif, tidak hanya fokus pada aspek pidana, tapi juga memperkuat sistem pencegahan melalui perwujudan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi.
Peran dan Tanggung Jawab
Kasus korupsi Harvey Moeis dalam pengelolaan tata niaga timah mengungkap blundernya peran pejabat administrasi negara, terutama yang berada di posisi non-struktural walau punya pengaruh besar dalam pengambilan keputusan. Hal ini memastikan bahwa tanggung jawab dan konsekuensi dari tindakan mereka bisa sangat berarti, meskipun tak selalu terlihat secara langsung dalam struktur formal pemerintahan.
Harvey Moeis, sekalipun tidak berada dalam struktur resmi PT Refined Bangka Tin (RBT), memainkan peran dalam skema korupsi yang merugikan negara hingga Rp300 triliun. Sebagai perwakilan PT RBT, ia aktif membangun jaringan kerja sama ilegal dengan PT Timah Tbk dan pemilik smelter. Posisi "abu-abu" ini menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab hukum pejabat non-struktural dalam administrasi negara.
Menariknya, walaupun bukan pengurus resmi PT RBT, Harvey berperan sebagai penghubung utama dalam mengoordinasikan transaksi keuangan dan pembagian keuntungan dari tambang ilegal. Hal ini mengungkapkan adanya celah dalam sistem pengawasan dan pertanggungjawaban administrasi negara, yang memungkinkan individu tanpa jabatan resmi punya pengaruh besar dalam pengambilan keputusan strategis.
Kasus Harvey Moeis menimbulkan dilema hukum tentang pertanggungjawaban pejabat non-struktural dalam tindak pidana korupsi. Dalam hukum administrasi negara, korupsi sering dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang. Pertanyaannya, bagaimana dengan individu seperti Harvey yang secara teknis tidak punya wewenang resmi?
Undang-Undang No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur bahwa pejabat pemerintahan bisa dituntut ganti kerugian negara jika terjadi maladministratif yang merugikan keuangan negara. Jika terbukti ada penyalahgunaan wewenang, pengembalian kerugian menjadi tanggung jawab pribadi.
Kasus Harvey Moeis menandakan bahwa definisi "pejabat pemerintahan" perlu diperluas. Biarpun ia bukan pejabat resmi, perannya dalam skema korupsi semestinya tetap membuatnya bertanggung jawab secara hukum. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa setiap tindakan yang merugikan keuangan negara harus dipertanggungjawabkan, tanpa memandang status formal pelakunya.
Lebih lanjut, kasus ini juga menyoroti pentingnya penerapan prinsip tanggung jawab vicarious liability dalam hukum administrasi negara. Prinsip ini menyatakan bahwa atasan atau organisasi dapat bertanggung jawab atas tindakan bawahannya. Dalam hal Harvey Moeis, meskipun ia bukan pejabat resmi PT RBT, perusahaan semestinya tetap bisa dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya yang merugikan negara.
Evaluasi Sistem Pengawasan
Sistem pengawasan tata niaga timah di Indonesia memiliki banyak persoalan yang perlu dievaluasi. Kasus korupsi Harvey Moeis, yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, mengindikasikan adanya celah hukum yang bisa dieksploitasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu celah hukum yang mencolok yakni ketidakjelasan aturan tambang yang sering berubah-ubah dan bersifat sektoral. Perubahan regulasi yang cepat, seperti peralihan kewenangan perizinan dari daerah ke pusat melalui UU Minerba baru, justru membuat proses tata kelola sumber daya alam menjadi lebih blunder bagi pelaku usaha dan pemerintah, (AF Hadin & AN Oemar, 2020).
Lemahnya koordinasi antar instansi juga menjadi celah yang sering dimanfaatkan. Kementerian ESDM, misalnya, merasa tidak punya otoritas untuk menindak perizinan ilegal di daerah akibat sistem politik desentralisasi (AK Umam et al 2020). Hal ini membuat praktik koruptif terus berlangsung tanpa ada tindakan tegas dari pihak berwenang.
Ketidakharmonisan regulasi dan otoritas yang bertanggung jawab ini pada akhirnya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi dan eksploitasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab.
Reformasi sistem pengawasan dan perizinan pertambangan sangat “genting” mengingat potensi kerugian negara dan dampak lingkungan. Pertama, perlu ada harmonisasi regulasi untuk menghindari tumpang tindih kewenangan dan menciptakan kepastian hukum. Selanjutnya, penguatan sistem pengawasan mesti dipercepat melalui implementasi “Peta Satu Data" untuk menyelesaikan masalah perizinan dan penguasaan lahan.
Dari pada itu, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proses perizinan dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan untuk menghindari korupsi sangat mendasar. Penegakan hukum yang tegas pada pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat. Terakhir, evaluasi mesti dilakukan secara teratur untuk memastikan bahwa sistem pengawasan dan perizinan bekerja dengan baik dan mencegah tindakan ilegal.
Reformasi sistem pengawasan dan perizinan pertambangan penting bukan sekadar untuk mencegah kerugian negara, tapi juga untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan adil. Tanpa reformasi menyeluruh, kasus seperti Harvey Moeis akan terus terulang, merugikan negara dan masyarakat Indonesia.
Dampak Vonis
Vonis 6,5 tahun penjara untuk Harvey Moeis dalam kasus korupsi timah senilai Rp300 triliun mengundang kritik dan kekecewaan besar di masyarakat. Kasus ini mencerminkan disparitas antara harapan publik akan penegakan hukum yang tegas dan kenyataan bahwa putusan pengadilan dianggap terlalu ringan.
Vonis untuk Harvey Moeis telah menimbulkan persepsi negatif pada sistem peradilan Indonesia. Banyak yang merasa hukuman tersebut tak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan. Hukuman harus maksimal untuk efek jera agar pelaku korupsi takut. Sebaliknya, hukuman ringan bisa menciptakan preseden buruk.
Persepsi negatif ini semakin kuat dengan perbandingan penanganan kasus korupsi di negara lain. Misalnya, di Cina, mantan pejabat Li Jianping dihukum mati atas korupsi senilai Rp 6,8 triliun. Perbedaan mencolok ini menegaskan bahwa penegakan hukum di Indonesia masih lemah dan tidak efektif dalam memberi efek jera pada para koruptor.
Pandangan ini merefleksikan keprihatinan publik pada ketidakadilan antara besarnya kerugian negara dan ringannya hukuman yang dijatuhkan. Banyak yang merasa bahwa hukuman yang ada tak logis dan tidak sesuai dengan rasa keadilan.
Kasus Harvey Moeis mengekspos persoalan besar dalam integritas sistem peradilan Indonesia. Pertama, konsistensi penegakan hukum perlu ditingkatkan agar hukuman sesuai dengan kejahatan, sehingga publik percaya pada keadilan hukum. Transparansi proses peradilan juga urgen, di mana masyarakat ingin tahu alasan di balik setiap vonis.
Selain itu, penguatan pengawasan pada hakim dan aparatur peradilan diperlukan, apalagi mengingat banyaknya laporan pelanggaran kode etik. Reformasi sistem administrasi peradilan juga mesti dilakukan untuk menutup celah praktik korupsi dan pungutan liar. Akhirnya, pendidikan dan pelatihan etika untuk para hakim dan aparatur wajib ditingkatkan guna memperkuat integritas dan profesionalisme.
Singkat kata, mengatasi persoalan dalam sistem peradilan perlu komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan. Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus berkolaborasi untuk memantau integritas dan kinerja hakim.
Tentunya, partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi proses peradilan juga sangat vital. Transparansi dan akuntabilitas mesti menjadi prinsip utama di setiap tahap hukum, dari penyelidikan hingga putusan. Hal ini akan berkontribusi pada peningkatan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan di Indonesia.
*Penulis adalah Dosen Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang
© Copyright 2025, All Rights Reserved