SUDAH 5 (lima) bulan beruntun, fenomena deflasi berjalan. Terhitung sejak Mei-September 2024. Padahal rentang lima bulan itu, mestinya inflasi terkerek naik akibat perayaan Idul Adha dan prosesi tahun ajaran baru.
Bahkan, rentang itu kita masih dalam suasana hiruk pikuk demokrasi, yang sejatinya pengeluaran signifikan. Tapi, mengapa roda ekonomi malas beringsut? Disitulah letaknya patologi deflasi.
Mengapa deflasi?
Anomali deflasi, tidak semata karena tergerusnya daya beli masyarakat. Tapi juga melemahnya permintaan agregat dan ciutnya jumlah uang beredar. Banyak orang kaya raya, cenderung menyimpan duitnya di brankas bank.
Bahkan, mereka mungkin mengalihkan duitnya ke luar negeri alias capital outflow. Mereka berasumsi, adanya simptom ketidakpastian ekonomi dan politik nasional. Nilai kurs rupiah pun makin terhuyung-huyung jatuh.
Akibat pengeringan jumlah uang beredar, maka terjadilah pengerutan jumlah permintaan barang. Sementara, produksi barang terlanjur terdongkrak, tidak bisa ditekan.
Mungkin masyarakat pun bisa tidak lagi belanja barang tersebut, karena jenuh atau membatasi pembelian. Konsekuensinya, terjadilah perlambatan aktivitas ekonomi.
Itulah yang mengonfirmasi mengapa dalam Satu Semester 2024 ini, terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bersakala massif, khususnya pada industri manufaktur yang padat karya.
Bukan semata itu, deflasi juga memantulkan akar penyebab, yakni distribusi tabungan yang tidak merata.
Meminjam data Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), jika pertumbuhan tabungan orang kaya makin kencang. Bayangkan, pada Maret 2024, pertumbuhan simpanan nasabah yang di atas Rp2 miliar terdongkrak 8,9%, sedangkan April 2024, terus meroket 10,11%.
Sementara itu, simpanan di bawah Rp500 juta melambat, dan yang paling parah di bawah Rp100 juta kian melorot. Apalagi yang tidak punya tabungan, pasti makin kalang-kabut, nasib tidak menentu.
Sekadar catatan, tabungan orang kaya di bank per Agustus 2024 telah meroket hingga Rp4,245 triliun. Sementara yang tidak punya tabungan makin mengisi ruang-ruang kemiskinan dan kemelaratan di jalan-jalan.
Sektor informal membumbung tinggi. Itulah mengapa deflasi justru mengirim pesan, bahwa ketimpangan pendapatan makin akut.
Jadi, jangan percaya komentar Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa deflasi justru mengirim pesan yang positif. “Itu bullshit”.
*Penulis adalah Direktur Program Pascasarjana ITB Ahmad Dahlan Jakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved