SECARA umum, saya setuju bahwa Polri sebagai instrumen negara dalam ranah keamanan dan ketertiban masyarakat yang sifatnya adalah ancaman dari dalam negeri/domestik.
Ancaman-ancaman dari dalam negeri tersebut dikategorikan sebagai ancaman non-tradisional yang sebagian besar merupakan kewenangan Polri untuk menghadapinya.
Namun, apabila ancaman keamanan tersebut berasal dari luar negeri dan berupa ancaman yang mengancam eksistensi negara, baik berupa ancaman tradisional maupun non-tradisional, maka TNI lah yang menjadi komponen utamanya.
Apabila ada ancaman perang hibrida atau perang asimetris di Indonesia, maka Polri menjadi komponen pendukung yang mendukung komponen utama (TNI) dalam menghadapi ancaman perang hibrida tersebut.
Terkait dengan RUU tersebut, saya cenderung ingin memfokuskan kedudukan/struktur Polri apakah tetap di bawah Presiden ataukah perlu ada kajian-kajian bahwa Polri berada di bawah kementerian tertentu (misalnya Kemendagri). Hal ini untuk memperkuat fungsi pengawasan di tubuh Polri dan untuk mencegah Polri menjadi alat kekuasaan (eksekutif) yang dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya juga ingin menggarisbawahi perlunya agenda untuk melanjutkan reformasi sektor keamanan, termasuk reformasi Polri dan lembaga intelijen di Indonesia.
Quo Vadis RUU TNI dan Polri
Sudah sewajarnya revisi undang-undang di Negara Kesatuan Republik Indonesia, merujuk pada landasan negara, yaitu Pancasila, termasuk dalam konteks rencana revisi UU TNI dan Polri dengan Surpres Presiden. Oleh karena itu muncul pertanyaan mendasar, yang penting jadi pertimbangan sebagai review sebagai berikut:
Pertama, apakah RUU yang baru menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Kedua, apakah prosesnya sudah berdasarkan prinsip demokrasi, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan?
Ketiga, apakah revisi yang dilakukan akan memastikan eratnya persatuan Indonesia?
Keempat, bagaimana revisi ini mengakomodir perlindungan HAM sesuai sila kemanusiaan yang adil dan beradab?
Kelima, harapannya revisi UU TNI POLRI 2024 tidak menjadikan dominasi kekuasaan/abuse of power karena secara hakiki pemilik kekuasaan merujuk pada Pancasila adalah, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Saran dan Rekomendasi
Sejatinya pula revisi UU merefleksikan antisipasi terhadap tantangan, ancaman masa kini dan masa depan merujuk pada JS Prabowo (2019), menyatakan bahwa perang semesta pada saat ini dan juga di masa depan, tidak bisa disamakan dengan sifat perang rakyat semesta yang berkembang pada masa perang perjuangan merebut kemerdekaan. Dia menempatkan perang semesta sebagai jenis perang generasi keempat (4GW), dimana perang lebih asimetris dan nonlinier. Perang juga lebih bersifat tidak konvensional, tetapi lebih cenderung memanfaatkan elemen nonmiliter untuk mencapai kemenangan.
Wacana tentang isi pasal tentang tambahan usia pensiun dan peluang ditempatkan nya personil/ TNI polri dalam jabatan sipil tetap tidak menafikan aspek penting profesionalisme dan integritas serta bukan pembenaran adanya stereotip bahwa kembalinya Dwi fungsi bahkan multifungsi ABRI melalui RUU TNI-POLRI.
RUU TNI
RUU TNI sebaiknya ditunda karena secara politik elektoral masa peralihan anggota parlemen/maka DPR-RI periode 2024 sd 2029, akan lebih memiliki waktu yang cukup untuk mengakomodir aspirasi stakeholder.
UU TNI yang baru lebih diarahkan pada daya dukung SDM dan Alutsista serta kesejahteraan prajuritnya.
Benchmarking dengan negara di kawasan dan dunia perlu terus dilakukan sehingga keunggulan komparatif yang sudah dimiliki TNI saat ini bisa menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage).
RUU Polri
Pertama, focusing on good character menjadi prioritas untuk meningkatkan trust publik pada tupoksi Polri di bidang Kamtibmas.
Kedua, focusing on competence karena tantangan global dan dalam negeri membutuhkan profil kepolisian yang profesional dan mengayomi masyarakat Indonesia.
Ketiga, Revisi UU Polri juga harus mengakomodasi peningkatan kualitas penanganan kriminologi yang mencakup Kejahatan, pelaku, korban/fiktimologi, reaksi sosial yang antisipatif dan adil.
Keempat, restorasi justice harus selektif dan cermat implementasinya.
Kelima, Revisi UU polri jangan menambah disparitas kewenangan dengan kelembagaan/instrumen negara lainnya sebaiknya mengedepankan kolaboratif, dan sinergitas.
Keenam, sebaiknya RUU Polri ditinjau ulang/Dibatalkan karena sudah cukup besar kewenangannya di bawah Presiden.
*Penulis adalah Dekan FISIP Universitas Al-Azhar Indonesia
© Copyright 2024, All Rights Reserved