Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga pertengahan tahun 2016 ini ekspor produk baja turun 9 persen menjadi US$835,6 juta. Khusus Juni saja, ekspor baja anjlok 52 persen ketimbang Mei jadi US$92,1 juta.
Salah satu perusahaan yang mencatat penurunan ekspor adalah PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST).
Semula, GDST mematok ekspor 20 persen atas penjualan, namun realisasinya jauh panggang dari api.
"Porsi ekspor kami semester satu 6-7 persen ," ungkap Direktur dan Sekretaris Perusahaan GDST Hadi Sutjipto,, Minggu (17/07).
Merujuk laporan GDST di Bursa Efek Indonesia, ekspor GDST sampai April 2016 hanya Rp7,29 miliar dengan kontribusi 2,6 persen dari total penjualan Rp275,46 miliar. Ekspor tersebut turun 91,3% ketimbang realisasi ekspor periode yang sama tahun 2015.
Hadi bilang, penurunan ekspor karena GDST hanya ekspor ke Malaysia dan Singapura. GDST tak lagi ekspor ke Taiwan, Meksiko dan Eropa karena terbebani bea masuk. Saat ini, ekspor GDST ke Eropa mencapai Rp49,2 miliar dengan kontribusi 44 persen dari total ekspor tahun 2015.
Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) Hidayat Triseputro, mengatakan, penurunan ekspor karena harga baja belum pulih. Meski membaik, harga baja itu masih di bawah ekspektasi pebisnis.
Pada Februari 2016, harga baja canai panas atau hot rolled coils (HRC) tercatat US$325-US$330 per ton usai menyentuh titik terendah US$300-310 per ton pada Desember 2015. Sementara pada Maret 2016, harga HRC naik jadi US$409 per ton.
“Dalam kondisi ini, ada dua kemungkinan, pertama eksportir wait and seemenunggu harga naik. Kedua, pasar tak menyerap karena harga tinggi,” pungkas Hidayat.
© Copyright 2024, All Rights Reserved