KAMPANYE Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2024 menjadi salah satu kontestasi politik yang paling dinantikan masyarakat Indonesia. Salah satu pasangan calon yang menjadi sorotan adalah Ridwan Kamil dan Suswono (RK-Suswono), yang mendapatkan dukungan langsung dari Presiden ketujuh RI Joko Widodo (Jokowi). Namun, dukungan ini tampaknya justru menjadi tantangan tersendiri bagi pasangan tersebut.
Pada awalnya, dukungan Jokowi kepada RK-Suswono terkesan malu-malu. Namun, belakangan ini, Jokowi semakin terang-terangan memberikan endorsement politik. Jokowi, yang dikenal sebagai tokoh dengan elektabilitas tinggi, diharapkan mampu menjadi "pendorong" untuk mendulang suara bagi RK-Suswono.
Namun, efek yang diharapkan dari dukungan Jokowi tampaknya tidak berjalan sesuai rencana. Bahkan, ada indikasi bahwa keterlibatan Jokowi justru menurunkan elektabilitas pasangan tersebut.
Hal ini tidak terlepas dari ingatan publik terhadap langkah kontroversial Jokowi dalam Pilpres 2024, di mana ia melakukan cawe-cawe dalam mengusahakan putranya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden.
Pemilih Jakarta: Rasional dan Otonom
Salah satu faktor yang membuat endorsement Jokowi sulit memberikan dampak signifikan adalah karakteristik pemilih di DKI Jakarta. Sebagai ibu kota negara, Jakarta dihuni oleh masyarakat dengan tingkat pendidikan yang relatif tinggi dan akses informasi yang luas. Hal ini membuat pemilih Jakarta cenderung kritis dan rasional dalam menentukan pilihan politiknya.
Menurut survei terbaru, sebanyak 75 persen pemilih di Jakarta menyatakan akan menentukan pilihan mereka berdasarkan keyakinan pribadi, bukan karena pengaruh elite politik. Fenomena ini menunjukkan bahwa strategi kampanye yang hanya mengandalkan figur populer seperti Jokowi atau influencer ternama seperti Raffi Ahmad tidak cukup efektif.
Sebagai perbandingan, pasangan calon rival, Pramono-Rano, memilih pendekatan langsung dengan sering melakukan blusukan. Gaya kampanye yang lebih personal ini terbukti lebih efektif dalam membangun kedekatan dengan masyarakat Jakarta, dibandingkan dengan pendekatan berbasis endorsement elite yang dilakukan RK-Suswono.
Krisis Kepercayaan terhadap Jokowi
Selain karakteristik pemilih, faktor lain yang menyebabkan dukungan Jokowi tidak lagi efektif adalah krisis kepercayaan publik terhadap mantan Wali Kota Solo tersebut.
Jokowi sebelumnya pernah berkomitmen untuk pensiun dari politik setelah masa jabatannya sebagai presiden berakhir. Dia bahkan menyatakan akan fokus pada kegiatan lingkungan hidup di Solo.
Namun, kenyataan berbicara lain. Jokowi kembali terjun ke panggung politik untuk mendukung pasangan calon tertentu, termasuk RK-Suswono.
Ketidakkonsistenan ini memicu keraguan di kalangan masyarakat. Banyak yang menilai bahwa Jokowi tidak lagi memiliki integritas dalam menjalankan komitmennya. Akibatnya, dukungan yang diberikan Jokowi kepada RK-Suswono justru berpotensi menjadi bumerang.
Mesin Partai yang Tidak Solid
Selain masalah strategi kampanye, RK-Suswono juga menghadapi tantangan internal dalam bentuk mesin partai yang kurang solid. Pasangan ini didukung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus), yang terdiri dari 12 partai politik besar. Namun, menjelang hari pemungutan suara, koalisi ini terlihat kurang aktif dalam menggerakkan dukungan untuk RK-Suswono.
Sebaliknya, pasangan Pramono-Rano berhasil membangun aliansi yang lebih efektif. Dukungan dari tokoh-tokoh besar seperti Anies Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dan Fauzi Bowo memberikan legitimasi tambahan bagi pasangan ini.
Ketiga mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut memiliki rekam jejak yang dikenal luas oleh masyarakat Jakarta, sehingga memberikan efek positif yang jauh lebih signifikan dibandingkan dukungan Jokowi.
Perbandingan Strategi Kampanye: RK-Suswono vs Pramono-Rano
Gaya kampanye Ridwan Kamil yang cenderung "menjual" pengaruh elite politik seperti Jokowi dan mengandalkan selebriti untuk menarik perhatian massa tampaknya kurang berhasil. Sebaliknya, Pramono-Rano memanfaatkan pendekatan berbasis komunitas dengan turun langsung ke lapangan.
Strategi blusukan yang dilakukan Pramono-Rano memungkinkan mereka untuk mendengarkan aspirasi masyarakat secara langsung. Pendekatan ini tidak hanya membangun kedekatan emosional, tetapi juga memperlihatkan keseriusan pasangan ini dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan di tingkat akar rumput.
Selain itu, pasangan Pramono-Rano juga menunjukkan keunggulan dalam memanfaatkan media sosial. Konten kampanye mereka lebih relevan dan otentik, sehingga mampu menarik perhatian pemilih muda di Jakarta. Hal ini menjadi keunggulan yang sulit ditandingi oleh RK-Suswono, yang cenderung menggunakan pendekatan formal dalam komunikasi publiknya.
*Penulis adalah Sekjen GMNI Yogyakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved