Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang saat ini sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus mampu menjadi penyeimbang bagi kepentingan masyarakat dan industri penyiaran. Apalagi, belakangan ini dampak negatif siaran televisi dianggap sudah meningkatkan kejahatan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan secara sadis dan tidak berprikemanusiaan.
"RUU ini harus bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Program yang disiarkan pun bukan berarti tanpa batas yang justru merugikan negara. Sehingga penyiaran publik yang dianggap sebagai rumah bangsa harus dikawal dan dievaluasi bersama untuk kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar," kata Ketua Komisi VIII DPR, Ida Fauziyah kepada politikindonesia.com usai acara diskusi bertema, "Industri Penyiaran Antara Kepentingan Bisnis, Tanggung Jawab Sosial dan Kepentingan Publik", di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (08/06) pekan lalu.
Dikatakannya, perlu adanya kajian mendalam dalam menyelesaikan RUU Penyiaran. Sehingga perlu sinkronisasi agar Undang-Undang (UU) tersebut benar-benar bermanfaat untuk kebutuhan publik.
"Jadi RUU Penyiaran jangan hanya sekedar untuk kepentingan bisnis, namun perlu juga tanggung jawab sosial bersama soal penyiaran di Indonesia," ungkap Sarjana lulusan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya ini.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan kelahiran Mojokerto, Jawa Tengah, 17 Juli 1969 membeberkan isi dari RUU tersebut. Ketua Umum Pengurus Pusat Fatayat NU tersebut juga mengungkapkan sejumlaah harapannya. Berikut petikan wawancaranya.
Seberapa penting RUU Penyiaran bagi Indonesia?
Menurut saya sangat penting untuk diperhatikan materi-materinya seiring berbagai penyiaran yang banyak disalahgunakan. RUU Penyiaran ini merupakan tanggung jawab kita bersama untuk dicermati agar penyiaran dalam negeri menjadi lebih baik dalam penyajiannya untuk masyarakat. Oleh sebab itu, Fraksi PKB akan mengawal RUU Penyiaran tersebut agar nanti hasilnya tepat guna. Sehingga mampu menjadi penyeimbang kepentingan masyarakat dengan industri penyiaran publik.
Sebenarnya apa isi dari RUU tersebut?
RUU tentang Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ini terdiri dari 14 bab dan 99 pasal. RUU itu sudah melalui berbagai tahap dan prosedur baku. Misalnya, menyerahkan draf RUU tersebut kepada Badan Legislasi DPR untuk diharmonisasi.
Secara filosofis RUU Penyiaran memberikan penekanan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi melalui penyiaran merupakan perwujudan hak asasi manusia (HAM). Sedangkan, secara garis besar, RUU tersebut akan mengatur soal sistem penyiaran nasional dan jasa penyiaran berupa jasa penyiaran radio, jasa penyiaran televisi dan jasa penyiaran multipleksing. Selain itu, juga akan mengatur soal penyebarluasan program dan isi siaran disesuaikan dengan perkembangan teknologi penyiaran dengan menggunakan teknologi digital serta pelaksanaan penyiaran dengan teknologi digital.
Tanggapan Anda mengenai partai politik punya program siaran?
Bagi saya, boleh-boleh saja. Karena akan menjadi hebat di tengah kesadaran publik masih rendah, sehingga siaran publik yang tidak bagus selalu menjadi isu dan yang tidak berkualitas ratingnya selalu tinggi. Jadi, tantagan ke depan adalah terkait kualitas konten, profesionalitas SDM dan sensor. Karena itu KPI harus diperkuat secara kelembagaan, kewenangan dan jenis sanksi berat.
Lalu, apa harapan Anda terhadap penyiaran di Indonesia?
Kami berharap dalam hal ini Komisi Penyiaran Indonesia diberi kewenangan yang jelas, karena selama ini 70 persen untuk pengawasan isi siaran dan 30 persennya untuk perizinan. Jadi, kewenangan itu sangat menggantung. Sementara itu, sanksi untuk isi siaran pun hanya rekomendasi penghentian sementara.Sebab, kalau penghentian tetap akan dianggap melawan kebebasan pers.
Jadi sanksi yang berlaku selama ini tak akan membuat jera lembaga penyiaran karena sanksinya hanya teguran. Karena itu, dalam RUU ini mutlak diperlukan sanksi disertai dengan denda, meski nantinya denda itu menjadi pendapatan negara. Selain itu, untuk peizinan siaran, sebaiknya ditangani langsung oleh pemerintah sehingga KPI tidak perlu terlibat. Apalagi dalam hal siaran dan perizinan itu selalu ada kepentingan bisnis, politik dan pemerintah yang sangat kuat.
© Copyright 2024, All Rights Reserved