Ketua KPU Hasyim Asy’ari dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI pada Kamis (18/4/2024) oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH-PPS FH UI) dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) dengan dugaan pelecehan seksual.
Sidang putusan kasus dugaan pelanggaran kode etik dengan terlapor Ketua KPU Hasyim Asy’ari akan digelar besok, Rabu (3/7/2024). Pada sidang tersebut, DKPP akan menentukan nasib Hasyim Asy’ari.
Wakil Ketua Komnas Perempuan Olivia Chadijah Salampessy berharap proses sidang etik dengan terlapor Ketua KPU Hasyim Asy’ari bisa dilanjutkan ke ranah pidana. Sebab, Ketua KPU adalah pejabat publik yang perilakunya harus menjadi contoh buat publik.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id menemui Olivia Chadijah Salampessy usai diskusi publik “Evaluasi Pemilu 2024: Distorsi Keterwakilan Perempuan dan Meningkatnya Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Penyelenggara Pemilu” di Jakarta, Senin (1/7/2024).
Berikut petikan wawancaranya:
Kasus Ketua KPU Hasyim Asy’ari akan memasuki putusan lusa nanti. Apa harapan Anda?
Ini kan ada pelanggaran yang dilakukan. Ya harus dihukum seberat-beratnya. Bagi kami, pelaku kekerasan seksual itu, apalagi dalam posisi dia sebagai tokoh, itu harus dihukum seberat-beratnya. Kalau secara administratif ya harus diberhentikan secara tetap. Karena dia tidak memberikan contoh yang baik, Dan juga dikenakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual berdasarkan kasus yang dia lakukan tersebut. Dalam sanksi UU TPKS kan juga ada pemberatan.
Posisi beliau sebagai Ketua KPU ini juga bisa jadi pemberatan ya?
Bisa. Karena beliau sebagai pejabat publik. Ada aturannya di dalam UU TPKS itu. Jadi kalau melihat benang merah keterkaitan posisi dia sebagai pejabat publik yang harusnya menjadi contoh, tapi kemudian melakukan tindak pidana kekerasan seksual, yang di dalam aturannya itu juga mengatur penambahan sepertiga pemberatan terhadap mereka. Kemudian secara administratif. Secara hukum dia boleh diproses dengan UU TPKS, tapi secara administratif dia harus diberhentikan. Tidak lagi menjadi ketua KPU. Ini kan menjadi contoh buruk. Preseden. Kemudian ada juga di KPU-KPU daerah juga melakukan hal yang sama, mereka bisa bilang, oh yang di pusat saja tidak kena. Jadi mereka bisa punya pembanding. Jadi tidak boleh ada impunitas. Itu yang penting sebenarnya.
Sekarang ini arahnya ke pelanggaran etik, padahal TPKS ini kan pidana? Komnas Perempuan mendorong untuk ke pidana saja atau bagaimana?
Karena selama ini kalau ada dugaan kasus asusila sering kali diarahkan ke etik. Kalau tidak diproses hukum, memang larinya ke etik. Tapi kalau dia diproses hukum dia bisa dikenakan UU TPKS, karena ada pidananya di situ.
Persoalannya, ini kalau yang sekarang hanya kode etik. Tapi kode etik itu dengan harapan diberhentikan. Kalau kemudian korban mau melangkah ke pidana, maka UU TPKS ini yang akan digunakan.
Artinya sebenarnya bisa dikenakan dua-duanya, etiknya diproses dan pidana juga bisa diproses?
Sebaiknya iya. Tindak pidana yang dia lakukan ada. Jadi sebaiknya memang dua-duanya, supaya ada efek jera. Karena dia kan pejabat publik, yang tentu punya dampak yang besar bagi masyarakat. Lalu bagaimana masyarakat menilai hukum negara kita terhadap seorang tokoh. Apakah akan selalu terulang tumpul ke atas tajam ke bawah. Nah kita menghindari hal-hal seperti itu.
Prinsipnya Komnas Perempuan mendukung proses pemeriksaan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan dengan hukuman, menurut saya, dia diberhentikan dari posisi Ketua KPU. Kemudian lanjutkan proses hukum karena ada tindak pidana kekerasan seksual di situ. Dan diproses merujuk pada UU TPKS. Karena dalam UU itu ada ketentuan juga soal pelaku yang pejabat publik.
Kalau putusan DKPP ada pelanggaran kode etik, ini bisa memperkuat di ranah pidananya?
Bisa. Kan otomatis itu saling berhubungan. Ini kan sedang diproses diranah kode etik untuk membuka dugaan tindakan hukumnya. Kalau dia terbukti melanggar kode etik, berarti juga ada tindakan hukum pidana di situ. Nah itu mudah untuk membawanya ke ranah hukum. Jadi biar kena kode etik dan hukum juga.
Sebenarnya kita itu ingin ada pembelajaran saja sih. Pembelajaran yang baik pada masyarakat dengan kasus ini dan pelaku sebagai pejabat publik. Tapi ya tidak tahu kalau nanti putusannya seperti apa.
Komnas Perempuan sudah memberikan pendapat hukum?
Sudah. Tadi kami juga sudah memberikan pendapat hukum. Ibu Siti Aminah yang jadi saksi ahli.
Soal korbannya bagaimana? Kalau hanya DKPP kan tidak ada jaminan perlindungan korban?
Iya. Jadi prinsip utamanya adalah melindungi korban, ada jaminan perlindungan korban. Tapi proses sekarang itu bukan ranah hukum, tapi ranah kode etik. Jadi di situ sifatnya administratif. Jadi tadi yang kami berharap kan perlindungan bagi korban. Itu sasaran akhirnya.
Jadi kita berharap korban akan berani meneruskan ini ke ranah pidana ya?
Iya. Apakah nanti mau dibawa ke ranah hukum? Karena kalau dibawa ke ranah hukum kan sudah ada UU yang melindungi. UU TPKS ini yang bisa digunakan.
Tapi sepertinya kalau terjadi kasus KS di ranah politik ini memang susah ya penyelesaiannya?
Seharusnya enggak. Karena kalau dia penyelenggara kan ada kode etiknya. Jadi harus melalui tahapan proses kode etik dulu. Baru kemudian ke proses hukum. Lain soal kalau si korban ingin langsung berproses ke ranah hukum kekerasan seksual. Kalau misalnya korban ingin langsung ke ranah hukum, ke polisi dan lain sebagainya, itu juga bisa saja.
Jadi sebenarnya kasus KS ini bisa langsung pidana tanpa melalui pemeriksaan etiknya?
Iya. Tapi untuk tetap menguatkan bukti ada tindak pidana hukum. Karena kalau hanya lewat proses etik, kita khawatirkan takutnya ada damai. Karena kalau ranah hukum, tidak ada damai, tidak ada itu. Tidak ada restorasi justice, tidak ada RJ di situ. Kami berharap proses etik selesai, akan ada proses hukum.
Karena kita sudah punya UU-nya. Kalau belum ada UU-nya mungkin kita bingung mau pakai apa. Korban bisa takut melapor dan lebih parah lagi penindakannya. Tapi sekarang kita sudah punya UU TPKS yang justru melindungi korban. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved