PADA mulanya, Mens Rea (niat jahat) dan Actus Reus (tindakan jahat), sejak 2021-2024, ada niat dan tindakan jahat Jokowi untuk merusak tatanan demokrasi-terstruktur-sistematis dan masif.
Pertama, keinginan untuk memperpanjang masa jabatan Presiden menjadi 3 Periode. Awalnya Mens Rea Jokowi mendapat dukungan dari elite politik dan massa pendukung (relawan), kecuali PDIP. Niat jahat berikutnya adalah menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
Konsultasi Jokowi dengan para Pakar Hukum Tata Negara bahwa Pemilu dapat ditunda melalui beberapa cara: (1) Amandemen UUD 1945, (2) Konvensi Ketatanegaraan dan (3) Dekrit Presiden. Konsekuensi dari penundaan Pemilu adalah perpanjangan masa jabatan Presiden sampai diadakannya Pemilu sela.
Beberapa skenario politik sudah dijalankan hingga saat ini, memicu persoalan-persoalan politik-hukum dan keamanan di masyarakat. Skenario terakhir yang belum dilaksanakan adalah mengeluarkan Dekrit Presiden. Peristiwa yang timbul sebagai akibat dari persoalan ini adalah kegentingan dalam masyarakat, lebih dari itu, kegentingan ini memicu terjadinya segregasi antar kelompok masyarakat, dampaknya akan menelan korban jiwa maupun harta benda sesama warga negara, puncaknya adalah memperlemah "Kekuatan Nasional" (National Power) kita sebagai bangsa.
Aparat Keamanan (khususnya TNI) wajib untuk mempelajari persoalan ini dengan seksama, mensimulasikan dan mencari formula "Cara Bertindak" (CB) cepat dan tepat dengan menghitung seminim mungkin risiko untuk menyelamatkan bangsa dan negara, mencegah terjadinya Pendadakan Strategis (Strategic Surprise) yang mengakibatkan kerusakan lebih parah.
Beragam persoalan diatas mengakibatkan situasi Politik Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri) khususnya menjelang pergantian pimpinan nasional (Presiden) pada 20 Oktober 2024 semakin memanas, diwarnai dengan demo "Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi" dari berbagai Universitas bergerak secara sporadis hampir di seluruh Provinsi di tanah air.
Tuntutan "Gerakan Mahasiswa pro Demokrasi" adalah mendesak pemerintah untuk segera melaksanakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 60/PUU-XXII/2024 tentang ambang batas pencalonan Kepala Daerah, yang semula perlu dukungan perolehan minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah dirubah menjadi lebih rendah 6,5-10 persen sesuai jumlah penduduk dalam DPT.
Demikian pula dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No: 70/PPU-XXII/ 2024 tentang ambang batas usia calon Kepala Daerah Gubernur dan Wakil-nya ditetapkan berumur 30 tahun saat penetapan Calon Kepala Daerah dan wakilnya oleh KPU.
Dua keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bersifat final and binding merubah konstelasi percaturan politik aliansi Pilkada yang terus dicoba untuk direkayasa oleh Pemerintah (Jokowi) dan DPR. Dua agenda politik nasional itulah (yang semuanya dilandasi oleh agenda untuk memperpanjang kekuasaan) lepas dari kendali demokrasi dan memicu kemarahan dan membangikitkan perlawanan sporadis "Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi" untuk melakukan demo berlarut hingga saat ini.
Namun demikian, perlawanan berlarut dan tuntutan "Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi" tidak hanya memaksa pemerintah (Jokowi) untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 60/PPU-XXII/2024, Nomor: 70/PPU-XXII/2024 - ada kegentingan yang memaksa dari "Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi" berbagai daerah Provinsi di Indonesia mendesak dan menuntut agar Jokowi segera turun (dilengserkan) dari jabatan sebagai Presiden dan diadili karena melanggar Sumpah Jabatan, melanggar Konstitusi, melakukan KKN untuk kepentingan keluarga, segera menghentikan Politik Dinasti.
Lebih dari semua itu, agenda politik yang dilakukan oleh Jokowi adalah "Perang Berlarut" melalui jalan konstitusi berupa Asymmetric Warfare, ancaman Perang Non Konvensional terhadap bangsanya sendiri. Dua kata kunci yakni (garis tebal dari saya): "Pelengseran" dan "Pengadilan" terhadap Jokowi harus dilakukan, logika dasarnya adalah Mens Rea (pikiran jahat) dan Actus Reus (tindakan jahat) Jokowi untuk dijadikan sebagai bahan pelajaran para elit politik di masa datang untuk taat pada konstitusi sebagai alat, aturan bermain dalam ber-bangsa dan ber-negara.
Sebagai bahan renungan, tahun 2023 capaian "Indeks Demokrasi Indonesia" yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) berada pada skor 6.53 dan mengelompokkan Indonesia sebagai negara "Flawed democracy" demokrasi cacat, dan berimbas pada kualitas hidup masyarakat yang semakin menurun diukur berdasarkan capaian Human Development Index (HDI) dan berpotensi menjadi "Negara Gagal" (Failed State). Beberapa penyebab terjadinya "Negara Gagal" (Failed State) adalah kemunduran ekonomi sebagai akibat dari korupsi dan segregasi aparat keamanan, elit politik dan masyarakat. Indeks "Negara Gagal" (Failed State) diukur dari skala 1-100 dirilis oleh Fund For Peace. Indonesia berada pada peringkat 99 dari 178 negara yang diteliti dengan skor nilai 67,6 (peringatan rendah). Bandingkan dengan beberapa negara-negara dengan status "Bertahan", Swiss, Finlandia, Swedia dengan skor nilai 19-21.
Jati Diri TNI Sebagai Alat Negara
Mengapa TNI adalah alat Negara, bukan alat kekuasaan? Tugas TNI adalah mencegah terjadinya "Pendadakan Strategis" (Strategic Surprise) untuk "Menegakkan Kedaulatan Negara". Di beberapa negara di dunia, flawed democracy menuju Failed State (Negara Gagal) terjadi karena salah urus mengelola negara, demikian pula dengan campur tangan militer (Political Coup D'etat) dalam sengketa politik di berbagai negara (Banana Republic) menjadi persoalan hukum, politik dan demokrasi, sangat rumit dan berkepanjangan.
Di Indonesia, transisi demokrasi dari rezim otoritarian menuju rezim demokratis terjadi sejak reformasi 1997-1998 dan mengalami banyak hambatan, banyak pihak mencoba membawa TNI kedalam ranah politik.
Peran TNI dalam masa transisi demokrasi sejak Reformasi 97-98 adalah untuk menempatkan profesionalisme TNI sebagai alat fungsi "Pertahanan Nasional" yang efektif di bawah kendali sistem politik demokratis terlepas dari politik kontestasi dan mengukuhkan TNI sebagai alat negara. Mengingatkan kembali, pesan dari Bapak Tentara Nasional Indonesia, Jenderal TNI-Panglima Besar Tentara Nasional Indonesia Sudirman:
"Bahwa prajurit kita (TNI) bukan prajurit sewaan, bukan prajurit yang mudah dibelokkan haluannya, kita masuk dalam tentara karena keinsyafan jiwa dan sedia berkorban bagi bangsa dan negara".
Kesimpulan
Dalam sengketa politik menuju pergantian Presiden pada Oktober 2024, sebaiknya TNI menjauh dari episentrum politik strategis, menjauh dari Istana Negara, Gedung Parlemen, menjauh dari episentrum "Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi" yang terjadi sampai tulisan ini dipublikasikan dan meluas secara sporadis di berbagai provinsi di Indonesia.
Sekali lagi tugas TNI bukan mengawal ide seseorang/Presiden yang menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi, menyimpang dari UUD 1945 pada akhirnya membawa bangsa dan negara Indonesia ke tubir jurang kehancuran. Tugas TNI mencegah terjadinya "Pendadakan Strategis" (Strategic Surprise) bersama rakyat "Menegakkan Kedaulatan Negara" di bawah kendali sistem politik yang demokratis. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan tetap ada selama TNI berpegang teguh pada Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan 8 Wajib TNI.
*Penulis adalah Marsekal Pertama TNI (Purn), Analis Intelijen, Politik dan Keamanan Internasional. Pernah menjabat sebagai Perwira Tinggi (PATI) Sahli Kepala Staf TNI Angkatan Udara Bidang Sumber Daya Nasional (Sumdanas) 2018. Saat ini sebagai "Kelompok Ahli" Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otsus Papua (BP3OKP)
© Copyright 2024, All Rights Reserved