Kasus kematian AM, seorang remaja berusia 13 tahun di Padang kini jadi perhatian publik nasional. AM diduga meninggal dunia karena disiksa oleh polisi yang berpatroli mengamankan tawuran.
Awalnya jasad AM ditemukan seorang warga di bawah Jembatan Kuranji, Kota Padang, pada 9 Juni 2024. Kepada keluarga, polisi menyatakan, AM tewas karena melompat untuk menghindari kejaran anggota polisi yang berupaya mencegah terjadinya tawuran pada Ahad dini hari itu.
Afrinaldi, ayah AM membantah keterangan polisi. Dia sangat yakin anaknya tidak melompat karena tidak ada tanda-tanda di badan anaknya bahwa AM jatuh dari ketinggian. Keluarga semakin tak percaya setelah melihat kondisi jasad AM. Mereka lantas melaporkan masalah ini ke Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang.
Hasil investigasi LBH Padang menyatakan AM tewas karena penyiksaan, bukan melompat. Menurut LBH Padang, di tubuh AM terlihat bekas jejakan sepatu orang dewasa, dan di tubuh korban tak terdapat bekas luka sebagaimana orang terjatuh.
LBH Padang juga menyatakan mendapatkan kesaksian bahwa AM sempat tertangkap oleh sejumlah anggota polisi. Selain AM, masih ada 18 korban anak lainnya yang mengaku ditangkap polisi dan mendapatkan penyiksaan di kantor polisi. Untuk menuntaskan kasus tersebut, LBH Padang memutuskan meminta bantuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id mewawancarai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Padang, Indira Suryani, di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Berikut wawancaranya:
Sebenarnya bagaimana kronologi awal kasus sampai LBH Padang begitu yakin terjadi kekerasan yang dilakukan oleh polisi pada anak AM?
Jadi begini, keluarga korban datang ke LBH pada 12 Juni, pukul 13.00 WIB. Saat itu keluarga mengatakan mereka memiliki saksi untuk kasus itu. Lalu kami meminta keluarga untuk menjemput saksi saat itu juga. Sekitar pukul 15.00 WIB keluarga AM datang kembali bersama saksi dan keluarganya yang lain. Saat itu kami melihat kondisi saksi, yaitu anak A, trauma.
Tentu tidak mudah bagi dia karena ada temannya yang meninggal dunia. Dia ini sendiri kondisinya yatim piatu dan tidak bersekolah. Ketika saksi memberikan keterangan kami mencatatnya dan meminta dia menandatangani keterangan yang dia berikan itu.
Bagaimana penjelasan saksi?
Saat itu saksi mengatakan, bahwa dia membonceng AM menggunakan motor kakeknya AM. Di dekat awal jembatan, motor yang mereka naiki ditendang oleh Samapta dan mereka jatuh ke kiri. Ini adalah motor beat lama, jadi tidak bisa kencang. Setelah ditendang mereka jatuh ke kiri, saksi anak A ada di depan dan AM ada di belakang.
Menurut saksi, di depan mereka juga ada beberapa anak lain yang dijatuhkan. Anak A mengatakan, AM sempat mengajak lompat, tapi A menolak. Lalu setelah itu A juga mengatakan, tak lama setelah itu dia melihat AM dikerubungi banyak polisi. Keterangan A berhenti di situ dan memang tidak kami teruskan lagi karena kami melihat dia sangat terganggu emosionalnya dan terlihat sangat traumatik. Jadi kami berinisiatif membawa dia dulu ke psikolog. Tapi ternyata dia keburu diamankan polisi, diminta keterangan dan kami tak bisa lagi mengontak anak A.
Setelah itu tak bertemu lagi dengan anak A?
Kami baru bertemu lagi dengan A ketika ekspose kasus. Lalu saya sempat tanyakan beberapa hal. Pertama ketika mereka ditendang apakah ada polisi, dia jawab ada. Berapa banyak, dia jawab beberapa orang. Posisi kami saat itu juga dikerubungi polisi, dan tiba-tiba anak A meralat jawabannya dan mengatakan tidak ada polisi saat itu. Karena saya tidak ingin mengintimidasi anak, lalu saya bilang oke, tidak apa-apa.
Tapi kami tanyakan, kapan dia terakhir melihat AM. Kami berikan deskripsi tentang posisi setelah jatuh, anak A bilang dia masih melihat AM di sisi kiri sebelum jembatan. Jadi logikanya, kalua AM jatuh atau terpeleset, tidak mungkin ada arus sungai yang menarik AM ke tengah. Karena posisi dia di kiri. Ketika kami meminta dia untuk mengingat-ingat lagi apakah dia melihat AM melompat, dia menjawab tidak. Jadi sampai sekarang memang tidak ada saksi yang melihat AM melompat dari atas jembatan.
Tapi sejauh ini polisi juga terus bertahan dengan mengatakan AM melompat dan mereka sedang melakukan patroli karena akan ada yang tawuran?
Ada framing yang dibangun seolah kami membela anak tawuran. Tidak. Ingat, itu anak-anak kita. Ketika anak-anak kita salah harus ada metode perlindungannya. Sekarang seolah-olah kami ini diframing sebagai pembela tawuran. Bahkan sampai ada akun-akun yang meneror akun LBH Padang dengan tulisan, “Nih, ada yang tawuran. LBH Padang bisa apa?” Ini kan seperti membunuh karakter keluarga, dan membunuh karakter kami juga.
Framing terhadap keluarga juga keras sekali. Mereka diframing membiarkan anak di bawah umur keluar dini hari, tidak mengawasi anak, dan seterusnya. Bahkan sampai memframing anak-anak ini gangster. Paman korban dikuntit, banyak orang tak dikenal datang ke rumahnya, beberapa insiden keamanan juga terjadi di LBH Padang.
Kejadian memang dini hari, dan kabar yang kami terima polisi yang bertugas saat itu juga masih baru semua. Tapi yang kami rasakan hari ini ada situasi normalisasi kekerasan. Di Sumatera Barat sendiri angka penyiksaan juga tinggi dan banyak kasus yang tidak terbongkar. Mungkin terjadi impunitas jika pelakunya adalah polisi yang membuat oknum kepolisian menjadi jumawa juga.
Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa defense polisi sangat kuat? Itu pertanyaan kami juga. Tapi kami tak akan berhenti. Kami enggak akan menyerah. Kami akan terus menyelesaikan kasus ini sampai akhir.
Apakah sebelumnya korban pernah terlibat tawuran?
Saksi anak A pernah terlibat tawuran. Tapi AM setahu saya tidak. Kalau menurut pengakuan keluarga, AM ini anaknya sangat polos. Dari video-video yang diberikan ke kami, terlihat lugu dan polosnya. Dia juga baru berusia 13 tahun, lugu, polos dan sangat suka bola. Malam itu kan dia izinnya juga mau nonton bola di dekat rumah neneknya.
Keluarga juga mengatakan AM ini anaknya pengecut, bahkan kalau sakit masih suka nangis. jadi rasanya enggak mungkin kalau dia mengajak A lompat dari jembatan. Dia enggak punya sejarah tawuran, di sekolah nilai rapornya baik, dan kelakuannya juga baik-baik saja.
Tapi situasinya karena AM ini anaknya polos, diajak apa saja mau. Jadi tidak seseram gangster yang digambarkan, dia bawa pedang tajam, dan seterusnya. Enggak begitu. Dan ini yang kami counter juga. Jadi jangan hakimi anak ini.
Anda dan keluarga korban sudah mengadukan ini ke Komnas HAM, bagaimana respon Komnas HAM? Ada rencana melakukan ekshumasi?
Kami sudah ke Komnas HAM untuk memberikan pengaduan. Ada dua hal yang kami minta ke Komnas HAM. Pertama, kami minta Komnas HAM membentuk tim untuk kasus ini. Karena untuk kasus ini pelakunya tidak tunggal dan korbannya juga tidak tunggal dan banyak orang yang terlibat. Jadi ini memang harus dibongkar untuk mendapatkan keadilan bagi AM, keluarga dan teman-temannya.
Hal kedua, Komnas HAM menanyakan apakah keluarga siap jika dilakukan ekshumasi dan saat itu juga keluarga menyatakan siap. Kalau untuk hasil otopsi kami belum lihat karena belum diberikan Salinan.
Tapi dalam ekspose kasus yang dilakukan di depan Kompolnas dan KPAI, dokter forensic Rosmawaty menyampaikan bahwa kalau dia melompat akan ditemukan banyak luka di kepala dan kaki, tapi di jasad AM tidak ditemukan hal itu. Ketika saya bertanya, apa yang sebenarnya terjadi dengan AM? Dokter forensik dengan percaya diri mengatakan, diduga dia terpeleset. Lalu saya minta diulangi lagi jawabannya, dia tetap menjawab diduga terpeleset. Meski jawaban dokter forensik dan polisi berbeda, tapi harusnya efeknya akan sama saja.
Mengapa LBH Padang bersikukuh menolak penjelasan polisi?
Sejak awal kami sudah menolak jawaban polisi yang mengatakan trauma di tubuhnya karena jatuh dari motor, sebab luka yang sama tidak kami temukan di tubuh teman yang satu motor dengan dia. Tapi kam dan keluarga sangat yakin dia tidak jatuh dan tidak melompat karena kami dan keluarga melihat kondisi jenazahnya seperti itu.
Kami juga sudah meminta pendapat banyak orang-orang yang ahli, mereka juga mengatakan kalau jatuh atau melompat dari ketinggian 15 meter itu maka kepala dan kakinya akan trauma parah. Dan itu tidak kami temukan di jenazah AM.
Buat keluarga, demi keadilan, meskipun itu menyakitkan buat keluarga. Keluarga siap melakukan ekshumasi itu. Karena keluarga sangat ingin tahu, siapa yang menyiksa anak mereka sampai meninggal seperti itu.
Kami minta Komnas HAM bantu ekshumasi karena keluarga juga tidak sanggup kalau biaya
sendiri. Karena kasus ini terkait HAM, tentu kami juga merasa memang sudah sewajarnya Komnas HAM membantu itu.
Ada syarat yang harus dipenuhi keluarga untuk melakukan proses ekshumasi?
Itu belum dibicarakan ke kami, tapi memang kami akan mendorong Komnas HAM untuk segera melakukan itu. Karena semakin cepat dilakukan akan semakin baik.
Jadi belum tentu dalam waktu dekat ini proses ekshumasinya?
Saya tidak bisa menjawab ini, karena ini Komnas HAM yang punya wewenang untuk menjawab. Kami ingin ini dilakukan Komnas HAM di Jakarta karena situasi di Sumatera Barat sudah tidak kondusif.
Kalau dulu ada adagium “tidak ada maling yang mengaku,” kalau sekarang kami ada adagium, “tidak ada polisi yang menyiksa mengaku.” Apalagi sekarang ada polisi, ada temannya polisi, dokter pemeriksa dari polisi dan rumah sakitnya juga rumah sakit polisi. Jadi Anda bisa bayangkan situasinya seperti apa. Jadi memang independensinya sangat diragukan.
Kami sebenarnya memang lebih ingin pemeriksaan dilakukan di RS M. Jamil, bukan di kepolisian. Karena kalau di kepolisian, polisi yang diduga melakukan penyiksaan bisa selamat dari hasil forensik. Meski katanya proses forensik dilakukan di RS Bhayangkara dan dokternya bukan dokter polisi, tapi kan tetap saja prosesnya di RS Bhayangkara. Sebenarnya waktu itu keluarga maunya di RS M Jamil, tapi dikatakan kalau di M Jamil silakan bayar sendiri. Sehingga keluarga akhirnya menerima saja otopsi di RS Bhayangkara.
Bagaimana kondisi psikis keluarga AM? Apakah sudah dibawa ke psikolog?
Iya. Ini bukan hal yang mudah bagi keluarga, apalagi sempat ada pernyataan kasus ini akan ditutup. Keluarga sangat terpukul mendengar ini. Apalagi kemarin keluarga juga sudah ada masalah psikis dengan kematian anaknya. Jadi kami merasa perlu memberikan kenyamananan buat keluarga.
Polisi bilang mereka masih mencari orang pertama yang memviralkan kasus ini. Apa masih ada intimidasi lain?
Kalau di LBH Padang kami masih mengalami, tapi masih bisa kami kelola. Sementara untuk keluarga saat ini memang mereka sedang kami bawa ke Jakarta untuk menjauh dari jangkauan di sana. Untuk saat ini kami rasa cukup aman untuk keluarga.
Sampai saat ini polisi juga masih terus mencari-cari saksi yang kami coba ungkap, dan kami juga memberikan perlindungan saksi terhadap saksi-saksi yang kami punya. Jadi ada saksi yang sudah terindikasi oleh polisi dan itu mereka cari.
Ada rencana ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)?
Sudah. Kami sudah ke LPSK, sudah melengkapi berkas yang diperlukan, dan LPSK juga sudah menerima dan siap memberikan perlindungan. Tapi soal kapannya itu akan dilakukan bisa langsung ditanyakan ke LSPK. Koordinasi terakhir sudah seperti itu.
Kami juga meminta ke LPSK untuk tidak menyamakan ini dengan kasus biasa, karena ini terkait kasus HAM dan karena kami terus berkejaran untuk melindungi fakta-fakta, sehingga kami juga tidak ingin birokrasi LPSK meletakkan kasus ini seperti kasus biasa. Hal yang kami rasakan, LPSK juga siap bergerak cepat membantu kami.
Apa yang diharapkan dengan terus memperjuangkan kasus ini?
Kami tidak akan menyerah. Menurut kami ini sudah terkait kasus HAM. Kami sangat tidak ingin kasus ini dipersempit menjadi kesalahan prosedur 17 anggota Polda Sumbar saat menangani tawuran. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved