SALAH satu cara melihat keseriusan sebuah partai politik dalam memperjuangkan kepentingan rakyat adalah konsistensinya dalam menjaga sikap atas pikiran dan perbuatannya.
Keseriusan itu membutuhkan konsistensi dan konsistensi bertautan erat dengan moral politik. Pun dalam moral politik tidak boleh ada persimpangan jalan antara perkataan dan perbuatan.
Situasi ini tentu sangat relevan untuk melihat sikap yang tidak konsisten dari PDIP yang hadir bak pahlawan dalam orkestrasi kritik kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Padahal jika kita kembali membaca utuh risalah sidang, Fraksi PDIP di DPR RI merupakan inisator utama lahirnya UU HPP dengan keterlibatan Dolfie Othniel dalam memimpin panitia kerja (Panja) RUU HPP.
Ada pun Dolfie Othniel adalah anggota Fraksi PDIP sekaligus Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dengan lingkup tugas di bidang keuangan, perencanaan pembangunan nasional, moneter dan sektor jasa keuangan.
Artinya sejak awal fraksi PDIP di DPR RI sangat serius untuk menggolkan RUU HPP menjadi undang-undang. Selain alasan PDIP merupakan partai pemenang dengan raihan kursi terbanyak di DPR dengan 128 kursi dari total 577 anggota. Juga Ketua DPR masa bakti 2019-2024 yaitu Puan Maharani dan Presiden RI masa bakti 2019-2024 yaitu Joko Widodo merupakan kader PDIP.
Sehingga secara logika dengan penguasaan dominan PDIP di eksekutif dan legislatif tidak ada kesulitan bagi partai berlambang banteng tersebut menggolkan RUU menjadi UU. Alasannya pada setiap prosesnya RUU tersebut bisa dihadirkan melalui usulan DPR (PDIP) yang didukung oleh fraksi-fraksi partai koalisi pemerintah atau bisa pula dimunculkan lewat usulan pemerintah.
Risalah Sidang RUU HPP
Jika kita membaca kembali risalah lahirnya UU HPP didasarkan pada Surat Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor PW/08529/DPR RI/VI/2021 tanggal 22 Juni 2021 yang memutuskan pembahasan RUU dilakukan bersama Komisi XI bersama pemerintah.
Kala itu sidang pertama diputuskan dimulai tanggal 28 Juni 2021 dengan rapat kerja bersama Menteri keuangan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang juga kader PDIP dengan agenda pembentukan Panja RUU dengan terpilihnya Dolfie Othniel menjadi ketua Panja RUU HPP. Pada kesempatan yang sama PDIP memberikan pandangannya dengan argumentasi bahwa pembahasan RUU HPP didasari oleh kesadaran akan pentingnya penguatan sistem perpajakan agar adil, sehat, efektif dan akuntabel agar APBN semakin mandiri dan bertahan di tengah kondisi yang tidak pasti.
Pada konteks ketidakpastian ini tentu berkaitan dengan kondisi ekonomi Indonesia yang kurang baik dan pertumbuhan ekonomi yang negatif sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang banyak “memukul” ekonomi banyak negara di dunia termasuk Indonesia.
Adapun pandangan mini Fraksi Partai Gerindra di DPR RI waktu itu menegaskan bahwa RUU HPP yang akan dibahas harus memperhatikan kepentingan masyarakat bawah dan pelaku UMKM sebagai basis penguatan ekonomi kerakyatan.
Alasannya tentu berkaitan dengan upaya peningkatan penerimaan pajak tidak boleh mengorbankan ekonomi rakyat kecil namun mengedepankan pengungkapan sukarela wajib pajak mampu memfasilitasi para wajib pajak yang memiliki itikad baik untuk patuh dan terintegrasi dalam sistem perpajakan berbasis mutual trust sehingga berdampak signifikan terhadap penerimaan perpajakan yang berkelanjutan.
Pada perjalanan pengesahan RUU HPP yang diinisiasi oleh PDIP tersebut didukung oleh hampir semua fraksi di DPR RI (di luar PKS) serta menyatakan persetujuan terhadap pengesahan menjadi undang-undang. Bahkan disaat pengesahan pada rapat paripurna pengambilan keputusan Ketua Panja Dolfie Othniel memberikan pidato penegasan bahwa bahwa undang-undang ini terdiri dari 9 (Sembilan) Bab dan 19 Pasal yang mengatur secara komprehensif terkait Pajak Penghasilan (PPh) dan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11% ditahun 2022 dan 12% di tahun 2025. Lebih lanjut, pengesahan RUU HPP menjadi UU HPP yang disahkan pada 29 Oktober 2021.
Politik Kemunafikan PDIP
Merujuk pada seluruh rangkaian atas pra-kondisi kebijakan kenaikan PPN 12% yang didasarkan pada UU HPP penting dipahami bahwa saat ini PDIP sedang memainkan wacana politik kemunafikan. PDIP seolah cuci tangan atas pikiran dan inisiatif yang dibuatnya sendiri dengan menyalahkan posisi pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo. Apalagi dalam wacana publik yang digaungkan oleh PDIP tidak sampaikan secara menyeluruh membuat masyarakat salah paham terhadap posisi pemerintah.
Padahal dalam mengimplementasikan kebijakan yang didasarkan pada UU HPP ini, Presiden Prabowo telah melakukan penyaringan (filter) dengan sangat hati-hati dan analisa mendalam bahwa kenaikan PPN 12% hanya berlaku untuk barang-barang mewah dan masuk dalam kategori premium. Selain itu, masyarakat penting pula memahami bahwa Prabowo sebagai kepala pemerintahan mewajibkan dirinya sebagai pelaksana undang-undang.
Selain itu atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkait PPN 12%, PDIP sejatinya mengapresiasi kinerja Presiden Prabowo bahwa pemerintahan nasional yang mereka kuasai selama 10 tahun dari tahun 2014-2024 mendorong keberlanjutan ekonomi dan fiskal yang bertujuan mensejahterakan rakyat. Hal ini penting dipahami karena kerja-kerja pemerintah dan DPR sebelumnya tidak didekonstruksi oleh Presiden Prabowo.
Apalagi pada konteks yang lebih luas, Prabowo pasca ditetapkan sebagai presiden terpilih, dilantik dan menjalankan pemerintahan selalu berusaha menjaga keharmonisan dengan Megawati Soekarnoputri dan PDIP. Misalnya; Prabowo melalui Partai Gerindra adalah garda terdepan dalam menghalangi agar revisi UU MD3 tidak terjadi agar partai dengan raihan kursi terbanyak di DPR sehingga Puan Maharani tetap menjadi Ketua DPR RI.
Kemudian, Partai Gerindra melalui Ketua Harian DPP Sufmi Dasco Ahmad adalah sosok penting dibatalkannya revisi UU Pilkada melalui konsolidasi di DPR dengan tetap menjalankan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 60 tahun 2024 terkait syarat threshold pencalonan kepala daerah.
Tentu posisi politik Partai Gerindra ini membuat PDIP bisa tetap eksis di Pilkada Serentak 2024 karena bisa mengajukan calon kepala daerah khususnya di wilayah-wilayah sentral seperti DK Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat.
Pun jika Prabowo dan Partai Gerindra melakukan arogansi politik dengan melakukan revisi UU MD3 dan Putusan MK 60/2024 tentu akan berdampak pada gagalnya kader PDIP menduduki posisi Ketua DPR 2024-2029 dan gagalnya PDIP dalam syarat mencalonkan kepala daerah di banyak wilayah karena kuatnya posisi Koalisi Merah Putih di seluruh wilayah Indonesia.
Artinya pada upaya menjaga kondusifitas, utamanya di tahun 2024 yang merupakan tahun politik yang sangat melelahkan untuk bangsa ini. Penting mengingatkan PDIP untuk menghentikan drama serta gimik politik yang penuh kemunafikan karena berpotensi merusak relasi antara Prabowo dan Megawati.
*Penulis adalah Anggota DPR Fraksi Partai Gerindra dan Wakil Ketua Komisi XIII DPR
© Copyright 2024, All Rights Reserved