Dengan dalih pembayaran klaim asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan belum cair, sejumlah rumah sakit (RS) menunggak pembayaran pengadaan obat. Industri farmasi pun kembang-kempis, karena tunggakan sudah berbulan-bulan.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia, Darodjatun Sanusi mengatakan, hingga saat ini banyak RS yang menunggak pembayaran pengadaan obat dengan rata-rata keterlambatan 4 hingga 6 bulan.
Belum dibayarnya pembelian obat-obatan hingga berbulan-bulan tersebut, cukup mengganggu cash flow industri obat dalam negeri di tengah bunga modal kerja yang tinggi. Kini, sebagian dari industri farmasi bahkan terancam tutup.
“Kita tidak tahu pasti kesalahan dari kasus tunggakan pembayaran obat oleh RS ke industri farmasi. Kami tak punya data yang bisa dijadikan pegangan, seperti berapa nilai premi yang sudah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke RS dan RS mana yang belum menerima klaim asuransi JKN. Apalagi, klaim JKN yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada provider baik RS, klinik, maupun puskesmas sifatnya adalah paket,” kata Darodjatun kepada politikindonesia.com, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Darodjatun mengatakan,GP Farmasi Indonesia mencatat, utang JKN kepada pedagang besar farmasi dan penyalur alat kesehatan (PBF/PAK) yang telah jatuh tempo makin membengkak dan makin panjang masa pembayarannya.
Utang obat dan alkes JKN jatuh tempo yang belum dibayar mencapai Rp3,5 triliun per Juli 2018. Angka ini akan terus membesar dari waktu ke waktu sesuai aktivitas suplai sampai akhir tahun. Akibatnya, suplai obat-obatan dan alkes untuk JKN terancam mengalami kendala jelang akhir 2018.
“Kami sudah mengirim surat kepada Menteri Kesehatan tertanggal 13 Agustus 2018. Dalam surat tersebut, selain masalah pembayaran utang JKN yang sudah masuk titik kritis. PBF dan PAK juga memikul beban biaya tinggi dengan adanya aturan Wapu. Setiap obat dan alkes yang dijual kepada fasilitas kesehatan (faskes) pemerintah dipungut PPN 10 persen dan PPh 22 sebesar 1,5 persen. Ini menambah beban cash flow dan bunga modal kerja yang sangat tinggi. Sekitar Rp1,5 triliun sampai Rp 2 triliun dana PPN PBF dan PAK berstatus lebih bayar ke pemerintah, yang seharusnya selalu direstitusi setiap tahunnya,” paparnya.
Darodjatun menambahkan, sebenarnya banyak industri farmasi Indonesia yang terancam tutup, bukan hanya karena menunggaknya pembayaran klaim asuransi JKN oleh BPJS ke RS. Tapi juga, karena diberlakukannya fornas obat-obatan pada era JKN, sekitar 60 persen sehingga harga obat turun dari harga sebelumnya.
Selain itu, kenaikan nilai dolar Amerika Serikat terhadap rupiah juga membuat harga bahan baku obat juga meroket. Sebab, sekitar 95 persen bahan baku obat masih bergantung pada impor dari beberapa negara, seperti India dan Tiongkok. Bahkan, sekitar 50 persen material kemasan obat pun masih impor.
“Dengan kondisi prosentase bahan baku obat yang masih import tersebut, maka 7 persen harga obat di Indonesia tergantung fluktuasi nilai dolar Amerika Serikat. Kalau dulu misalnya harga bahan baku obat per kilo USD5, dan sekarang katakanlah naik USD6, kalau dikalikan dengan nilai tukar rupiah di angka Rp15.000, maka akan beda. Ada kenaikan harga di Indonesia. Tapi, saat ini perusahaan farmasi sepakat untuk tidak semena-mena menaikkan harga obat, melainkan melakukan langkah efisiensi pada proses produksi, bahan tambahan, dan bahan kemas,” ungkapnya.
Sementara itu, menanggapi banyaknya keluhan dari sejumlah fasilitas kesehatan, terkait tunggakan klaim dan berakibat munculnya defisit dana BPJS Kesehatan, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan, pemerintah harus segera mengatasi depisit anggaran dari JKN. Karena sejak awal lahirnya program JKN, pemerintah dan pembuat undang-undang sadar akan ancaman defisit anggaran BPJS Kesehatan. Karena itulah, pasal 48 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tahun 2013 sudah disiapkan.
“Dalam pasal itu, disebutkan, jika dalam perjalanan JKN mengalami defisit anggaran, maka pemerintah wajib untuk mengatasinya. Jika defisit tersebut tidak segera diatasi, maka akan timbul dampak negatif terhadap semua pihak, peserta JKN KIS, fasilitas kesehatan hingga kepercayaan terhadap BPJS Kesehatan. Solusi dengan cara menyuntikkan dana tidak akan menyelesaikan masalah. Sebab dengan kondisi yang sudah kronis seperti sekarang ini, program JKN hanya bisa diselamatkan dengan cara mengguyurkan energi baru berupa anggaran,” tegasnya.
Zainal memaparkan, dari total hutang BPJS Kesehatan ke RS senilai Rp7 triliun, sekitar 50 persen adalah untuk pengadaan obat (farmasi). Kondisi ini akan terus terjadi selama akar persoalannya tidak diselesaikan dengan baik. Ada 3 skenario yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah defisit BPJS Kesehatan ini. Pertama adalah menormalkan defisit dengan subsidi anggaran penuh, sehingga keuangan BPJS Kesehatan bisa sehat. Ini merupakan ranah kebijakan Kementerian Keuangan.
“Langkah kedua adalah restrukturisasi total program JKN, baik nilai premi asuransinya maupun manfaatnya. Restrukturisasi JKN ini hanya bisa dilakukan dengan mengubah undang-undang terkait JKN yang sudah ada. Langkah selanjutnya adalah pemberi kerja atau pemerintah menaikkan subsidinya. Dengan cara seperti ini, maka dana yang terkumpul dari premi asuransi bisa menutup kebutuhan dana untuk pelayanan peserta program JKN,” ujarnya.
Dia juga menegaskan, kenaikan harga obat di era JKN ini rasional dan perlu mendapat perhatian serius pemerintah. Karena persoalan obat dan alkes ini akan berdampak pada layanan kepada pasien. Misalnya terjadi keterlambatan produksi dan distribusi menyebabkan kelangkaan obat di sejumlah faskes. Akibatnya, layanan yang diperoleh pasien di bawah standar yang semestinya. Misalnya, obat yang seharusnya diberikan sehari tiga kali dalam seminggu atau 63 tablet, hanya diberikan separuh.
“Maka berdampak pada proses dan pada beberapa obat terjadi resistensi. Penyakit yang tadinya bisa sembuh cukup dengan dosis 250 mg menjadi tidak mempan, sehingga harus naik ke 500 mg. Kami menemukan banyak kasus seperti ini di lapangan, ketika kami melakukan monitoring evaluasi ke berbagai daerah maupun adanya laporan ke kami,” imbuhnya.
Menurutnya, dalam konteks pengendalian harga obat, sistem katalog elektronik (e-katalog) dari Kementerian Kesehatan cukup efektif. Harga obat tertentu yang bila di pasaran bisa mencapai Rp2,2 juta, tapi di e-katalog hanya sekitar Rp1,9 juta. Kelemahannya, lanjut dia, biaya distribusi ke daerah mahal, sehingga keuntungan bagi industri kecil. Akibatnya, distribusi obat hanya sampai di provinsi.
“Jadi perlu biaya lagi untuk sampai ke daerah-daerah. Lambatnya distribusi menyebabkan kelangkaan obat di faskes. Kelangkaan obat di faskes bukan hanya dipengaruhi tunggakan BPJS Kesehatan ke faskes, tapi juga karena mekanisme pengadaan yang masih buruk,” tutup Zainal.
© Copyright 2024, All Rights Reserved