Laut Cina selatan adalah perairan atraktif, dimana terkandung banyak kekayaan sumberdaya dan merupakan jalur lintas kapal internasional. Tak heran jika banyak negara yang mengklaim wilayah perairan itu.
Walaupun Indonesia tidak terlibat langsung atau menjadi bagian dari konflik Laut Cna Selatan tersebut, tetapi dengan posisinya yang berdekatan membuat Indonesia bisa terkena imbas dari konflik yang terjadi.
“Oleh sebab itu, konflik tersebut harus disikapi dengan bijaksana oleh Indonesia. Maka, kita pun menawarkan jalur diplomasi untuk menyelesaikan konflik tersebut,” kata Hasjim Djalal, Pakar Hukum Laut Internasional, di sela Diskusi Panel Serial ke-15 bertema Mengenali Ancaman dari Luar Negeri (Perkembangan Internasional) yang digelar Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti (YNSB), di Jakarta, Selasa (04/09).
Diakuinya, Indonesia memang tidak terlibat secara langsung terhadap kepentingan dari konflik tersebut. Bahkan, Indonesia tidak memiliki klaim wilayah terhadap fitur-fitur Laut Cina Selatan.
Namun jika 9 garis putus-putus Cina adalah wilayah kewenangan yang diklaim Cina, maka hal itu dapat bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen Indonesia. Itu sebabnya, Indonesia perlu mengambil peran dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan.
“Sikap yang diambil Indonesia harus arif dan bijaksanan, yaitu melalui kemampuan diplomasi. Indonesia bisa mengajak pihak berkonflik untuk duduk bersama guna mencari jalan keluar terbaik. Seperti saat Indonesia mengambil peran dalam penyelesaikan konflik Kamboja, ini bisa diterapkan pada konflik Laut Cina Selatan. Apalagi keputusan Cina tetap tidak berubah untuk menggunakan peta kuno dengan mengkalim atas dasar sejarah dan penguasaan efektif terhadap pulau-pulau tertentu dengan patroli militer,” tegasnya.
Dijelaskan, memang sejak rezim Koumintang tahun 1947, Cina mempunyai 9 teritori garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh wilayah laut cina selatan. Dimana, hal itu dijadikan dasar patokan Cina untuk mengeksploitasi perairan Laut Cina selatan. Meskipun garis Kuomintang ini bersinggungan dengan basis ZEE banyak negara, termasuk Indonesia. Keputusan itu pun bertentangan dengan konvensi PBB atas hukum perairan laut (UNCLOS). Karena catatan maupun rekam jejak sejarah tidak dapat digunakan sebagai basis penetapan wilayah.
“Sehingga banyak negara yang mendesak agar Cina mematuhi konvensi UNCLOS tersebut. Salah satunya adalah gugatan dari Filipina. Filipina, sebagai negara yang wilayah negaranya terkena klaim pun maju untuk melakukan pengadilan abritase kepada konferensi internasional.
Dituturkan, di Indonesia sendiri, wilayah yang ikut terklaim 9 Teritori garis putus-putus Laut Cina selatan ini adalah wilayah perairan laut Natuna. Meskipun demikian, dari awal secara tidak resmi, Cina telah mengakui Natuna adalah wilayah Indonesia. Sehingga Cina tidak memiliki masalah dengan Indonesia. Namun, konflik Laur Cina selatan malah berimbas pada hubungan kedekatan Indonesia dengan ASEAN.
“Kedekatan inilah yang mampu memberi imbas negatif paling potensial dari perkembangan internasional bagi Indonesia, jika terjadi konflik di Laut Cina Selatan. Karena itu, Indonesia harus tetap ikut aktif dalam mengupayakan perdamaian dan stabilitas di wilayah Laut Cina Selatan, agar semua pihak mematuhi aturan hukum dan menghindari kegiatan militer. Sehingga dampak buruk konflik tersebut tidak berimbas ke Indonesia,” ulasnya.
Sementara itu, Pembina YNSB, Pontjo Sutowo, menambahkan, perkembangan internasional memiliki dampak positif dan negatif bagi setiap negara di dunia. Pada sisi positif, perkembangan internasional mampu membawa kemajuan bagi teknologi dan telekomunikasi di sebuah negara. Pada sisi negatif, dapat membawa dampak paling buruk yaitu keruntuhan sebuah negara. Untuk menghindari dampak paling buruk yang terjadi akibat konflik Laut Cina Selatan, konsep keamanan Indonesia harus segera diperbaharui.
“Hal ini karena konsep keamanan nasional yang ada di Indonesia masih sangat tradisional. Dimana, konsep keamanan nasional Indonesia saat ini ternyata kembali ke konsep tradisional. Sehingga makna keamanan dan pertahanan secara tegas dipisah menjadi hitam dan putih. Tidak komprehensif, sebagaimana yang dilakukan masyarakat internasional dewasa ini. Keamanan tidak hanya sebatas pada urusan menjaga batas-batas territorial dan kedaulatan bangsa, tetapi juga harus menjamin, memenuhi dan melindungi masyarakat dan warga negaranya,” ujar Pontjo.
Dia menyatakan, saat ini spektrum ancaman terhadap wilayah dan kedaulatan bangsa berkembang sangat dinamis. Jika pada perang dunia kedua ancaman lebih dilihat sebagai perang fisik dan adu kekuatan militer, maka tidak demikian untuk era globalisasi ini. Bentuk ancaman negara menjadi sedemikian unik dengan sumber ancaman yang semakin luas.
“Makanya, perang kini melibatkan berbagai sendi kehidupan secara multidimensi atau sering disebut sebagai perang generasi ke-4 (Fourth Generation of War-4GW). Perang ini cenderung menghancurkan musuhnya dengan sasaran non fisik seperti ideologi, ekonomi, social, budaya, mental dan sebagainya,” imbuhnya.
Menurut Pontjo ada beberapa isu global yang berpotensi menjadi ancaman bagi bangsa dan negara Indonesia saat ini. Diantaranya, isu The Belt and The Road Inisiative, isu Silent Invasion dan desakan agar Indonesia segera menetapkan ALKI-IV (Timur-Barat). Indonesia perlu mengkaji desakan tersebut, terkait potensi ancaman bagi Indonesia. Apalagi, saat ini Indonesia telah berpartisipasi dalam The Belt and The Road Inisiative yang merupakan perluasan pembangunan infrastrktur yang diprakarsai Cina.
“Pembangunan tersebut menggunakan skema Turn Key Project Management, yaitu proyek yang dana, manajemen, materiil, marketing dan tenaganya berasal dari Cina. Sehingga keamanan nasional kita sudah memberi tanda lampu merah dan harus segera diperbaharui. Apabila tidak segera diselesaikan dan ditempatkan pada tataran regulasi yang lebih tinggi tingkatannya, dikawatirkan dapat menyebabkan terjadinya mispresepsi tentang pengelolaan keamanan nasional yang berujung tidak memberi kontribusi positif bagi penataan ulang sektor keamanan nasional Indonesia dimasa mendatang," tutup Pontjo.
© Copyright 2024, All Rights Reserved