Kebiasaan anak mengkonsumsi makanan tak sehat, termasuk yang mengandung gula tinggi sangatlah berbahaya bagi kesehatannya. Anak-anak harus dilindungi dari pangan tak sehat demi menciptakan generasi sehat di masa depan.
Untuk melindungi anak Indonesia dari panganan tidak sehat, pemerintah bersama sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menandatangani petisi di Jakarta, Minggu (19/11).
Ketua Pengurus Harian Yayasan Abiphraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Arif Hidayat mengatakan, penandatanganan petisi ini dilatarbelakangi keprihatinan terhadap semakin maraknya pangan tidak layak yang dikonsumsi anak. Tanpa disadari pangan tidak sehat ini menjadi konsumsi anak sehari-hari. Karena kebiasaan memberi pangan yang tidak layak di konsumsi anak, sama saja dengan menabung penyakit untuk anak dalam usia produktif, khususnya penyakit tidak menular.
"Karena kerugian akibat penyakit tidak menular tidak hanya ditanggung oleh orang per orang, namun juga berdampak pada kerugian bangsa secara umum. Kerugian materi akibat biaya berobat serta kerugian yang diakibatkan berkurangnya produktivitas sehingga berdampak terhambatnya pembangunan. Oleh sebab itu, kita Untuk melindungi anak-anak dari resiko terkena penyakit tidak menular. Karena anak-anak hari ini yang akan menjadi generasi penggerak Indonesia di masa mendatang," katanya kepada politikindonesia.com, di Jakarta.
Menurutnya, paparan anak-anak terhadap pangan tidak sehat juga dipicu karena maraknya iklan-iklan yang menyesatkan. Bahkan banyak perusahaan memanfaatkan anak-anak dalam iklan produk mereka, padahal produk tersebut tidak diperuntukan untuk anak-anak. Misalnya, iklan dan label susu kental manis (SKM). Padahal iklan tersebut sudah jelas menyesatkan masyarakat. Karena SKM itu hanya diperuntukan sebagai topping makanan dan minuman yang menyehatka.
"Namun, saat ini penggunaan SKM sudah beralih menjadi minuman yang menyehatkan. Padahal itu menyesatkan. Karena kandungan gula pada SKM jumlahnya melebihi 50 persen. Artinyan, SKM itu adalah gula semua sehingga tidak baik dan sehat jika dikonsumsi sebagai minuman," ungkapnya.
Kekuatiran serupa juga diungkap oleh Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo yang menyoroti gaya hidup anak-anak sekarang yang sangat kental dengan merek-merek makanan dan minuman siap saji. Jika mereka lapar, langsung yang dicari nama restoran fast food (siap saji). Bahkan, dengan kecanggihan teknologi sekarang, mudah bagi orangtua dan anak-anak mendapatkan makanan siap saji secara online atau telepon.
"Seharusnya, ada kesadaran dari produsen makanan dan minuman untuk mencantumkan kandungan atau komposisi produk yang dijual. Dalam prakteknya, masih ada produsen yang menutupi kandungan gula di dalam produknya. Salah satunya produk SKM yang masih menutupi kandungan gula yang terkandung. Produsen harus membuka kandungan gula yang sebenarnya dari SKM, karena saat ini para orangtua juga anak menjadi korban dari iklan yang ada," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erni Gustina menambahkan, sasaran utama iklan produk makanan dan minuman saat ini adalah anak-anak. Maraknya iklan pangan yang menyesatkan ini turut mempengaruhi keputusan dan kebiasaan konsumsi keluarga.
Padahal, konsumsi gula, garam dan lemak dalam jumlah tinggi menempatkan anak pada risiko berbagai penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi dan obesitas hingga jantung, stroke, dan lain-lain.
"Batas konsumsi gula maksimal adalah empat sendok makan dalam satu hari. Kalau di atas empat sendok, pada seorang anak meningkatkan diabetes dan hipertensi,” kata
Diungkapkan, resiko penyakit tidak menular pada masyarakat Indonesia tergambarkan dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Riset yang dilakukan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ini menyebutkan prevalensi diabetes di Indonesia cenderung meningkat, yaitu dari 5,7 persen pada 2007 menjadi 6,9 persen di 2013. Diabetes juga tercatat sebagai pembunuh nomor 3 di Indonesia.
"Berdasarkan, Evidence and Analitycs, sebuah lembaga riset kesehatan yang berbasis di Manchester, Inggris, menyebutkan Indonesia pada periode 2015-2035 diprediksi mengalami potensi kerugian hingga Rp71.000 triliun akibat penyakit tidak menular. Kerugian itu merupakan akumulasi dari biaya pengobatan dan berbagai pengeluaran sebagai dampak penyakit, termasuk hilangnya produktivitas penderita di usia kerja," tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved