ISRAEL yang telah membumihanguskan jalur Gaza dengan korban-korban meninggal berdasar catatan dari Jurnal Lancet pada saat artikel ini ditulis tercantum korban jiwa sudah melampaui 186.000 jiwa atau melampaui 5% jumlah penduduk Gaza yang mencapai 2,2 juta jiwa.
Sebagian besar adalah anak-anak yang tidak berdosa hingga 75% lebih.
Kebengisan Israel melebihi serigala dimana negara-negara yang diam hingga kini bangkit untuk menyuarakan penghentian tragedi kekerasan tersebut.
Pembentukan negara Israel dengan kuasa Mandat Britania atas Palestina, negeri Ratu Elizabeth ini telah dengan sepihak mendirikan Negara Israel pada 14 Mei 1948, mandat Inggris tersebut mandat kolonial penjajah bukan sesuatu yang luhur. Kolonialisme jangan didaur ulang dan diabadikan. Apakah Inggris tidak merasa bersalah atas segala kolonialismenya di India, Malaya, Afrika Selatan dan negara-negara Sahara di Timur Tengah di masa lalu? Maka, cegah hentikan keganasan Israel dan jangan terus mendukung, karena korbannya justru Palestina yang tidak bersalah.
Pembantaian dan pemusnahan jutaan manusia itu sungguh mengerikan karena dilakukan secara terprogram dan sistematis oleh pemimpin psikopat yang otaknya penuh dengan segala ambisi kacau dan melampaui batas.
Menurut sejarawan Jerman, Eberhard Jackel belum pernah ada sebelumnya bahwa sebuah negara dengan pemimpin yang sepenuhnya bertanggung jawab untuk memutuskan dan mengumumkan pembunuhan terhadap sekelompok manusia tertentu, termasuk wanita, anak-anak dan bayi. Seharusnya di era modern ini jangan menciptakan area perang baru dan tragedi holocaust di bumi Palestina dan kawasan lain.
Kita menjadi ingat tentang sikap keras kepala kaum Bani Israel dalam lukisan Al-Quran. Apakah Israel saat ini jelmaan baru dari kepongahan itu? Manusia ketika bertindak jahat, tidak ada bedanya dengan binatang. Bal Hum adalum, bahkan lebih jahat ketimbang binatang buas, begitu Allah menggambarkan kebrutalan manusia. Bangsa yang mengaku beradab, tetapi bertindak biadab dengan sejuta pembenaran.
Nyawa manusia begitu sangat murah bagi Israel, apalagi nyawa manusia bernama Palestina yang telah terpatri sebagai musuh bebuyutan. Jangankan satu, dua bahkan ribuan pun nyaris tak ada harganya. Tak ada urat nadi kemanusian yang terpercik setetespun di benak para pemimpin negeri yahudi tersebut, seolah telah menjelma menjadi barbar di abad modern. Telah menjadi predator yang menyebar virus genoside baru.
Kematian Modernisme dan Kegilaan
Terbungkamnya congor-congor negara kuat Bahkan PBB sekalipun, yang selama ini katanya memperjuangkan pelanggaran HAM atau tindak kekerasan atau atas nama demokrasi saat ini memunculkan paradoks ketika menghadapi Israel. Bolehkah bangsa mengeksekusi bangsa lain yang berdaulat? Sejak kapan dalam perang dibolehkan membunuh orang sipil bahkan anak-anak yang tak berdosa ketika perang itu sendiri selalu melahirkan petaka.
Ini bukan soal perpolitikan, tetapi sebuah konstruksi peradaban. Sejak modernisme yang di bawah gerakan renaisans aufklarung dan lahirnya peradaban barat mengusung tatanan dunia baru yang maju dan peradaban tinggi. Setelah itu, tragedi kemanusian bermunculan ke permukaan tanpa kendali. Pembiaran kebiadaban Israel serta pembiaran pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang oleh negara yang kuat dengan dalih HAM atau apapun sejatinya menandakan lonceng kematian modernisme, bahkan pascamodernisme.
Modernisme dengan segala mitosnya yang didengung-dengunkan dan diagung-agungkan sebagaimana yang telah ditemukan dalam pemujaan HAM dan Demokrasi maupun isme-isme lain yang naif sesungguhnya telah mati di lumbungnya sendiri. Kekerasan, Terorisme dan kebiadaban sering dikonstruksikan berbeda sesuai dengan dan tergantung siapa pelakunya. Nalar modern gagap menjelaskan kekerasan yang diproduksinya sendiri. Pascamodernisme yang naif nayris tak perduli moral, keadaban dan keutamaan hidup yang penuh makna.
Orang menyebutnya kegilaan tetapi saya lebih suka kegendengan, karena teringat isu kegilaan saat kelahiran Renaisans di Eropa. Saat itu pemikir humanisme berbicara tentang kegendengan sebagai gejala unreason. Yakni ketidaksadaran dalam nalar rasional. Karena itu diperlukan hospital yakni rumah sehat (bukan rumah sakit), untuk menampungnya agar pengalaman dimasa lampau, ketika orang gila dipasung dan diasingkan dalam batu beton yang kukuh bersama para pengemis, gelandangan dan narapidana, tidak terulang lagi. Kala itu, orang gila, karena kehilangan reason (rasio) dianggap sama dengan binatang yang harus dikurung.
Ketika Phillipe Pinel melepaskan orang-orang gila dari hospital Bicotte 1790 masyarakat geger, karena Pinel dianggap telah menjadi gila karena membebaskan orang gendeng. Kegendengan sebagai gejala sosiologis bukan karena bawaan, tetapi sebagai produksi manusia dan masyarakat yang sarat antagonis.
Rasionalisme yang dibawah modernisme ternyata telah gagal menyembuhkan orang-orang yang terserang penyakit gila. Bahkan kata Foucault, orang beradab kemudian menjadi muda gendeng karena dirinya kian jauh dari alam kodrat yang serba genuine. Modernisme dan belakangan pascamodernisme telah menjadi pabrik raksasa yang memproduksi banya bentuk-bentuk kegendengan.
Kebrutalan Israel, Invasi ke Irak dengan pembenaran dalih, serbuan Rusia ke negeri-negeri sekitarnya dan lain-lain menunjukkan bahwa kegagalan rasionalisme modernism ataupun pascamodernisme dalam menghadapi bentuk-bentuk kejahatan negara dan kekuatan adidaya yang membumihanguskan kemanusiaan dan bangsa lain.
Akhirnya, sangkar besi modernisme dan pascamodernisme telah membelenggu dirinya sendiri dalam Lorong-lorong gelap baru yang tak berujung. Lorong yang buta dan tuli pun ikut memproduksi berbagai kebrutalan, kebiadaban dan kenistaan jika itu dilakukan oleh bangsa yang memiliki peradaban kaumnya sendiri.
Jika itu dibiarkan, agaknya modernisme dan pascamodernisme lewat tragedi kebengisan dan kebrutalan Israel dan kekejaman lainnya dimuka bumi ini telah memukul lonceng kematiannya sendiri. Kalaupun masih bertahan karena kekuatan militer dengan persenjataannya, ekonomi dengan kekuatan mata uanggnya, politik dan seribu satu tipu muslihat. Sesungguhnya mereka telah hidup tanpa sukma peradaban, sekedar bertahan dalam kejayaan yang pada akhir hancur lebur tak bersisa…Time will tell.
*Penulis adalah Dewan Penasehat Kesatuan Pelajar, Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia (Kandidat Doktor P3SDM Universitas Airlangga)
© Copyright 2024, All Rights Reserved