MARI bayangkan sejenak: seorang mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) yang seharusnya menjadi simbol keadilan dan penjaga hukum, menyimpan kekayaan fantastis uang tunai hampir Rp1 triliun dan 51 kilogram emas batangan. Tanpa khawatir digarong, ia menyimpan hartanya di rumah.
Jika ini bukan kekayaan seorang kepala negara, maka jelas pemiliknya "pejuang hukum" ala Indonesia yang berhasil mengumpulkan kekayaan dari, tentu saja, jalur yang basah. Inilah jalur makelar, yang melibatkan jual-beli hukum dengan transaksi mencapai milyaran.
Seakan sudah menjadi suatu budaya, profesi bernama "makelar hukum" hadir di antara kita. Sebuah pekerjaan yang tampaknya lebih menguntungkan ketimbang berbisnis properti, dengan pendapatan hampir Rp92 miliar setahun atau Rp7,6 miliar per bulan. Atau Rp253 juta per hari.
Ketika aparat Kejaksaan Agung (Kejagung) menggeledah rumah Zarof Ricar, si mantan pejabat MA, mereka mengaku tak menduga bakal menemukan harta sebesar itu.
Uang tersebut, kata mereka, diperoleh Zarof dari menjadi "makelar" perkara di kantornya sejak 2012. Berarti, koruptor ini sudah beroperasi sejak 12 tahun lalu, tanpa ada yang tahu?
Apakah ini sekadar fenomena tunggal? Tentu tidak. Kita telah sering mendengar nama-nama lain yang terlibat dalam skandal serupa, seperti Hakim Agung Sudrajad Dimyati pada 2022, atau pejabat tinggi MA lainnya yang terkena OTT alias Operasi Tangkap Tangan.
Bahkan, dengan Rp5 miliar, seorang pengacara bisa menawarkan "pelicin" demi membebaskan klien dari dakwaan pembunuhan melalui perantara si makelar, yang orang dalam MA.
Zarof ini pun kebagian Rp1 miliar, hanya untuk satu kasus. Hukum tampaknya "bersih," tapi sepertinya ia "harus diperjual-belikan" untuk tetap efektif.
Di tengah ironi ini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru mentas dihadapkan pada tantangan besar. Mengembalikan integritas hukum adalah janji yang mungkin terasa berat, ibarat bermain "Whack-a-Mole" --tiap koruptor yang "dipukul" segera digantikan oleh yang lain.
Tertangkapnya Zarof memang bagaikan menangkap "tikus besar" dalam sistem ini. Tetapi, apakah ini akan benar-benar mengakhiri aksi-aksi korupsi dalam sistem peradilan kita? Yah, kita semua tahu jawabannya, yang selalu bernada pesimis, karena kita tak pernah melihat niat baik pemerintah.
Profesi makelar tentu beragam. Tapi menjadi makelar hukum, sebuah istilah yang merujuk pada pengaturan hasil perkara dengan imbalan tertentu, sejatinya adalah korupsi dalam bentuk yang "brutal."
Para makelar ini memanfaatkan akses dan pengaruh dalam sistem hukum untuk "mengurus" perkara, yang sering kali dilakukan dengan cara yang tidak sah.
Di profesi ini kita berbicara tentang penyalahgunaan kekuasaan, praktik suap, gratifikasi, dan berbagai bentuk ketidakadilan hukum.
Tak heran, pejabat hukum yang terlibat dalam praktik ini hanya menjadi bagian dari "puzzle korupsi" yang lebih besar, sebuah sistem yang seakan sudah di-"setting" untuk dimanfaatkan.
Begini alur logikanya: makelar hukum menawarkan solusi cepat bagi mereka yang punya uang dan ingin hasil sesuai kemauan. Layanan ini menjadi "win-win solution" bagi mereka yang ingin memperlancar urusan, dengan imbalan finansial untuk pejabat yang haus uang.
Di sinilah kita melihat hubungan simbiotik antara hukum dan kapital; di mana amplop, dan sekarang transfer digital, menjadi "upeti" untuk memastikan hasil yang diinginkan. Nilainya tak tanggung-tanggung, bisa milyaran sesuai berat-ringannya perkara.
Ah, anda hanya pandai mengkritik tanpa solusi, yang tentu hanya menambah garam di luka. Maka, mari kita pertimbangkan solusi untuk menekan korupsi dalam sistem peradilan kita. Ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan, diambil dari keberhasilan berbagai negara di dunia.
Tengoklah China, di mana hukuman berat, termasuk hukuman mati untuk koruptor kelas tinggi, berhasil menekan korupsi di level tertentu. Jika Indonesia mengadopsi pendekatan serupa, mungkin ada harapan untuk membersihkan korupsi dari lingkup elit. Tetapi, tentu, ini harus diterapkan dengan adil tanpa ada “main mata” di sana-sini.
Atau kita bisa menggabungkannya dengan cara Singapura. Negara kota ini sukses meminimalisir korupsi melalui digitalisasi.
Dengan memaksimalkan e-governance, proses administrasi menjadi transparan sehingga ruang gerak untuk praktik suap semakin terbatas.
Bayangkan, jika semua proses hukum kita berbasis digital dan transparan--para makelar mungkin tidak akan lagi punya ruang bermain.
Di Arab Saudi, aturan tegas berdasarkan syariat Islam turut menekan korupsi. Hukuman potong tangan bagi pencurian besar memberi efek jera yang kuat. Meski sulit diterapkan di Indonesia, intinya adalah menerapkan hukuman proporsional sesuai dengan kerugian yang ditimbulkan.
Di negara-negara Skandinavia, pejabat publik diwajibkan melaporkan kekayaan mereka secara berkala. Di sini, kehidupan mewah di kalangan pejabat menjadi petunjuk awal dari kecurangan. Indonesia bisa menerapkan audit kekayaan dengan lebih ketat dan larangan gaya hidup mewah.
Kita juga dapat meniru Finlandia, yang sukses menanamkan nilai-nilai integritas sejak pendidikan dasar. Bayangkan jika anak-anak di Indonesia diajarkan bahwa korupsi adalah tindakan tidak bermoral —generasi berikutnya mungkin akan tumbuh lebih sadar untuk menjunjung keadilan.
Tak kalah penting, perkuat pengawasan publik dan media. Di beberapa negara maju, media dan masyarakat punya peran besar dalam mengawasi tindak-tanduk pejabat. Perlindungan terhadap whistleblower dan dukungan untuk media yang kritis dapat membantu menekan korupsi di Indonesia.
Lain halnya Hong Kong. Ia sukses memerangi korupsi dengan Independent Commission Against Corruption (ICAC) yang bebas dari intervensi politik. KPK di Indonesia seharusnya bisa menjalankan peran serupa, asalkan tetap independen dan didukung penuh.
Pertanyaannya, akankah semua ini berhasil? Memang, memberantas korupsi adalah tantangan besar. Sistem hukum kita sudah kronis sakitnya, yang membuatnya sekarat.
Namun, dengan langkah yang tegas, konsisten, dan kesadaran untuk menolak sesederhana budaya amplop, masih ada harapan untuk menciptakan peradilan yang seadil-adilnya.
Semoga, dengan menerapkan berbagai pendekatan ini, kita bisa menciptakan Indonesia yang bebas dari korupsi. Setidaknya, tim Prabowo dapat mengurangi siklus "pejabat pengganti" yang hanya melanjutkan korupsi yang sudah ada.
Karena, jika terus dibiarkan, hukum kita akan tetap seperti karet, ditarik dan dibengkokkan sesuai kebutuhan mereka yang punya akses dan modal. Negara hukum dipertaruhkan oleh pelaksanaan hukum itu sendiri.
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Alquran
© Copyright 2024, All Rights Reserved