PERMINTAAN Ketua Tim Hukum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Gayus Lumbuun kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda pengumuman penetapan pemenang Pilpres 2024 Prabowo-Gibran per 24 April 2024, namun permintaan tersebut tidak diperhatikan oleh KPU.
Gayus Lumbuun sedang menggugat KPU pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) per 23 April 2024 berdasarkan nomor register 133/G/2024/PTUN.JKT. Gugatan didaftarkan ke PTUN setelah pengumuman putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memenangkan paslon Prabowo-Gibran per 22 April 2024.
UU Pemilu 7/2017 pada Pasal 470 ayat (1) menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa proses pemilu melalui PTUN dalam bidang tata usaha negara dimungkinkan antara parpol calon peserta pemilu atau bakal pasangan calon dengan KPU sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU.
Akan tetapi persoalannya pertama adalah sengketa proses pemilu di PTUN ditata hanya untuk calon peserta pemilu yang tidak lolos verifikasi (ayat 2 a), pasangan calon yang tidak lolos verifikasi (ayat 2 b).
Dalam hal ini, yang dipersoalkan PDIP Gayus Lumbuun pada Gibran adalah KPU secara administrasi meloloskan verifikasi, namun bukan persoalan KPU tidak meloloskan verifikasi. Ini persoalan yang sangat berbeda secara nyata antara KPU meloloskan verifikasi Gibran, dibandingkan dengan KPU tidak meloloskan verifikasi Gibran.
Jadi, dalam hal ini gugatan PDIP Gayus Lumbuun sama sekali tidak cocok, jika dibandingkan terhadap ketentuan Pasal 470 pada UU Pemilu 7/2017. Pasal tersebut memandang tidak ada masalah, jika KPU meloloskan Gibran. Masalah persengketaan proses penyelenggaraan pemilu justru terjadi, hanya jika terdapat klausul Gibran tidak diloloskan verifikasi oleh KPU.
Persoalan urutan kedua adalah pengajuan gugatan tersebut ke PTUN hanya dapat dilakukan setelah Upaya administratif di Bawaslu telah digunakan (Pasal 471 ayat (1)). Di samping itu pengajuan gugatan hanya dapat dilakukan paling lama lima hari kerja setelah putusan Bawaslu (Pasal 471 ayat (2)).
Masalahnya adalah gugatan PDIP Gayus Lumbuun diajukan setelah putusan MK, namun bukan setelah putusan Bawaslu. Selama ini tidak terdengar PDIP menggugat pencalonan Gibran ke Bawaslu selama proses administrasi pemilu sedang berlangsung.
Informasi yang diketahui banyak orang adalah PDIP mempersoalkan pencalonan Gibran sebagai cawapres setelah paslon Ganjar-Mahfud kalah dalam pengumuman berdasarkan hasil sementara quick count Pilpres per 14 Februari 2024.
Sekalipun terdengar pengkonstruksian politik dinasti untuk mengkritisi pencalonan Gibran, namun PDIP tidak pernah terdengar menggugat pencalonan Gibran ke Bawaslu, melainkan sebatas sebagai wacana pelanggaran etika dan moralitas, yang didengung-dengungkan oleh para akademisi dan Sekjen PDIP.
Kehebohan politik dinasti justru mengemuka setelah pengumuman quick count, yang memenangkan paslon Prabowo-Gibran. Jadi, ketentuan Pasal 471 di atas tidak dipraktekkan oleh PDIP Gayus Lumbuun untuk mempersoalkan pencalonan Gibran di KPU kepada Bawaslu, selain persoalan gugatan yang telah kedaluwarsa kepada Bawaslu, maupun kepada PTUN.
Gugatan yang serba terlambat kepada PTUN merupakan catatan tersendiri, yang berpotensi PTUN menolak gugatan PDIP Gayus Lumbuun atas dasar pertimbangan tidak mengikuti ketentuan UU Pemilu 7/2017.
Akan tetapi, ternyata bukan hanya putusan MK yang bersifat final dan mengikat, namun putusan PTUN dalam penyelesaian sengketa proses pemilu juga bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain sebagaimana bunyi Pasal 471 ayat (7).
Kemudian berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka upaya hukum PDIP di atas menjelaskan tentang keberadaan gimmick, yang mengesankan PDIP sebagai parpol yang gigih berjuang melalui mekanisme jalur hukum, sekalipun harapan untuk menang gugatan sangatlah tipis.
Bagaikan pepatah tidak ada rotan, akar pun jadi. Terkesan tidak siap kalah dalam putusan MK, kemudian tidak ada satu pun perwakilan dari PDIP yang hadir dalam acara pengumuman penetapan Prabowo-Gibran sebagai pemenang Pilpres oleh KPU.
Paslon Ganjar-Mahfud pun tidak hadir dengan informasi tidak mengetahui kalau diundang oleh KPU, atau undangan diketahui menjelang menit-menit pelaksanaan pengumuman secara terlambat.
Rupanya fenomena kesepakatan untuk siap menang dan siap kalah Pilpres masih memerlukan waktu yang cukup untuk kembali segera move on.
*Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved