Daging sapi Australia yang tiba di Jakarta sejak Selasa (16/07) lalu, sudah mulai meramaikan ke pasar di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sayangnya, daging yang didatangkan untuk menekan harga tersebut, kurang diminati masyarakat. Mereka lebih memilih daging sapi lokal yang harganya mencapai Rp100 ribu per kg, meski harga daging impor itu lebih murah sekitar Rp85 ribu per kg. Alasannya, mutu daging sapi lokal lebih bagus.
Menanggapi hal itu Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan akan mencari tahu alasan pedagang dan pembeli menolak daging sapi impor tersebut. "Saya akan mencari tahu, mengapa di Pasar Senen tidak mau menerima daging sapi impor asal Australia dan Selandia Baru yang didistribusikan Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) pada Kamis (18/07)," katanya kepada politikindonesia.com seusai mengunjungi Pasar Murah di Tangerang, Banten, Jumat (19/07).
Menurutnya, apabila para penjual daging di pasar tersebut memang tidak mau menerima pasokan daging dari Bulog, maka akan dicari pasar lain yang mau bekerja sama soal operasi pasar ini. Namun, sebelum mencari pasar lain, pihaknya akan mempelajari dan cari tahu mengapa Pasar Senen tidak mau menerima daging impor tersebut.
"Kami tetap menghargai dan terus mendukung apa yang dilakukan Bulog. Karena tujuannya baik, yaitu untuk membantu menurunkan harga daging sapi yang masih berkisar pada angka Rp100 ribu per kg di pasaran. Semangat Bulog yang mau membantu kita semua dengan harga yang lebih murah pasar di Indonesia," tegasnya.
Pihaknya berharap masyarakat tak membeda-bedakan daging beku ataupun daging segar. Pasokan Bulog ini penting untuk diserap agar harga daging secara keseluruhan bisa turun hingga mencapai Rp76 ribu per kg. Oleh karena itu, Bulog mendapat tugas dari pemerintah untuk menjadi stabilisator harga pangan menjelang Lebaran.
"Bulog pun mendatangkan 3.000 ton daging sapi beku dari Australia dan Selandia Baru. Sejauh ini 16 ton dari 800 ton daging yang dibolehkan masuk ke Indonesia melalui jalur udara telah tiba. Sementara 2.200 ton daging beku lainnya akan datang dengan kapal laut dan dijadwalkan tiba pada 21 Juli mendatang," ujarnya.
Dijelaskan, persoalan mahalnya daging sapi hingga saat ini disebabsekarang disebabkan kurangnya pasokan. Dia berkukuh belum ada indikasi bahwa sebagian pengusaha melakukan praktik koordinasi penimbunan atau kartel.
"Kalau sapi pasok nasional memang kurang, kalau pasok kurang tentu harga akan naik tanpa harus ada kartel. Saya sangat merangkul aspirasi kawan-kawan yang mengindikasikan terjadinya kartelisasi," ujarnya.
Diakuinya, kecurigaan adanya kartel bahan pangan sudah disuarakan sejak lama oleh beberapa pihak, misalnya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) maupun kamar dagang dan industri (Kadin). Hal itu terjadi karena adanya pergerakan spekulan yang mempengaruhi harga-harga bahan pangan di pasaran.
"Kami berharap pengusaha mengedepankan etika bisnis dan tidak merugikan masyarakat. Jadi jangan sampai mengambil keuntungan terlalu tinggi. Silakan mengambil keuntungan, tapi jangan menimbulkan kartel, menimbulkan perburuan rente," ungkapnya.
Pihaknya akan turut mempelajari indikasi kartel tersebut. Meski demikian, dia memilih fokus pada kebijakan mengimpor sapi siap potong dari Australia. "Kami siap mempelajari, kalau ada indikasi kartel akan kami tindak. Tapi untuk sementara kami mau meningkatkan pasokan dulu," tuturnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved