MUDIK menjadi fenomena tradisi setiap menjelang Hari Raya Idulfitri. Tradisi mudik telah lama berakar dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Segala pernak-pernik mudik, hingga pengaturan kemacetan, antrean arus mudik, merupakan fenomena tahunan yang terus berulang dan selalu penuh makna.
Fenomena mudik bukan sekadar perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain, dari kota tempat merantau ke tempat asal. Mudik menciptakan aliran perpindahan manusia yang massif dari kota besar ke daerah asal. Mudik merepresentasi dinamika sosial dan budaya yang telah terpatri dalam ritme kehidupan masyarakat.
Budaya mudik, khususnya menjelang lebaran, menggambarkan bagaimana setiap orang dan keluarganya kembali ke kampung halaman mereka, kembali menemui tempat tinggal asal di mana orang tua berada.
Mudik menjadi sebuah ritual budaya yang merefleksikan kebiasaan, nilai-nilai luhur yang dijunjung dalam keseharian, dan identitas sebuah masyarakat seperti nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan, kerendahan hati, dan rasa syukur, ditegaskan kembali dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mudik Menjadi Lambang Ikatan Silaturahmi
Lebaran, atau Idulfitri, menjadi sentral dalam tradisi mudik. Lebaran bukan hanya menandai berakhirnya bulan Ramadan, tetapi juga menjadi momen penting untuk memperkuat jalinan silaturahmi.
Lebaran mengajarkan umat untuk selalu mengingat Allah, membersihkan hati, memaafkan kesalahan, dan memulihkan segala perilaku dan tindakan.
Pertemuan keluarga dan kerabat selama lebaran menjadi dari nilai silaturahmi, menghidupkan kembali hubungan yang mungkin renggang akibat jarak dan kesibukan yang selama ini memenuhi kehidupan sehari-hari.
Silaturahmi di sini juga bukan sekadar pertemuan fisik, tetapi juga pada kondisi di mana setiap orang berusaha untuk membersihkan hati, terus ditempa untuk berbagi kebaikan, dan meneguhkan komitmen untuk selalu menjaga keharmonisan sosial.
Mudik penuh dengan nuansa nostalgia kembali ke “rumah”, kembali menemui orang tua dan sanak saudara, suatu bentuk kerinduan kembali ke pangkuan keluarga, kembali pada lingkungan yang akrab, hangat dan penuh kasih sayang yang tidak dapat tergantikan.
Rumah orang tua, mengingatkan kembali ke masa kecil, dan merenungkan jalan hidup yang telah dilalui. Rumah orang tua menjadi pusat yang menyatukan keluarga, tempat berbagi cerita, canda tawa, dan bahkan perih air mata, yang mengingatkan pada nilai dan prinsip yang membentuk identitas dan karakter seseorang.
Bagi mereka yang orang tuanya telah tiada, mudik dimaknai dengan kembali pulang dengan beramai-ramai mengunjungi makam orang tuanya.
Mudik dan Semangat Rejuvenasi
Mudik, dalam segala dimensinya, bukan sekadar fenomena ritual umat muslim, tetapi juga merupakan fenomena budaya yang kaya dengan makna.
Di balik ritual mudik, terdapat proses refleksi diri yang mendalam, lebih dari sekadar berlelah-lelah perjalanan fisik yang menuntut kehati-hatian. Perjalanan ini sering kali diartikan sebagai kesempatan untuk merenungkan kembali makna kehidupan.
Momen ini semakin menjadi-jadi saat di mana setiap orang kembali meninjau ulang pencapaian diri, implementasi nilai-nilai kehidupan, keberhasilan, sekaligus juga mendorong setiap orang untuk berani mengintrospeksi dan mengakui kesalahan.
Perenungan ini merupakan bagian dari akumulasi ibadah di bulan Ramadan, di mana menjadi bentuk penguatan dan pengakuan untuk menjunjung nilai kehidupan yang akan membawa kita semua “kembali pulang”. Di mana setiap diri akan mendapatkan dirinya kembali “bersih”, menjadi khalifah sejati yang berkualitas sebagaimana diamanatkan oleh Allah SWT.
Selamat Hari Raya Idulfitri 1445 Hijriyah.
*Penulis adalah Kaprodi Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina dan Ketua Aspikom Korwil Jabodetabek
© Copyright 2024, All Rights Reserved