Kasus kematian terduga teroris Siyono, menjadi pelajaran berharga bagi Kepolisian. Kasus ini telah memicu keberanian publik untuk melakukan otopsi ulang korban kekerasan yang dilakukkn polisi. Otopsi ulang ini menunjukkan independensi dan profesionalisme Tim Foresik Polri diragukan publik.
“Indonesia Police Watch (IPW) menilai kasus otopsi ulang jenazah Siyono menjadi pukulan telak bagi profesionlisme Polri. Selama ini sudah banyak keluhan publik terhadap perilaku Densus 88 yg cenderung menjadi eksekutor tapi tidak pernah ada evaluasi terhadap kinerja Densus dan juga tidak ada pengawasan maksimal," terang Ketua IPW Neta Pane kepada pers, di Jakarta, Kamis (14/04).
Dikatakan Neta, kasus Siyono jadi titik awal keberanian publik menggugat kinerja Densus. IPW sepakat terorisme harus diberantas dari negeri ini. Tapi, siapa pun tidak boleh bertindak sewenang-wenang atas nama pemberantasan terorisme. Apalagi, tugas utama polisi adalah melumpuhkan tersangka dan bukan menjadi algojo.
IPW memberi apresiasi pada Komnas HAM dan PP Muhammadiyah yang sudah melakukan otopsi terhadap jenazah Siyono yang tewas setelah ditangkap Densus 88.
Dikatakan Neta, memang hasil visum jenazah Siyono di RS Polri tidak bisa dibandingkan apple to apple dengan hasil otopsi yang dilakukan Tim Forensik Muhammadiyah, sebab terdapat perbedaan waktu pelaksanaan dan jenis pemeriksaan jenazah.
RS Polri hanya melakukan pemeriksaan luar (karena adanya pihak yang keberatan dilakukannya otopsi lengkap) ditambah pemeriksaan CT Scan Jenazah (PMCT) pada saat Jenazah masih relatif segar (belum dikuburkan).
Sedangkan, Tim Muhammadiyah melakukan otopsi lengkap (pemeriksaan luar dan dalam) ketika jenazah sudah dikuburkan beberapa minggu. Sehingga menjadi lumrah apabila terdapat perbedaan hasil analisis otopsi atas jenazah Siyono.
Kendati demikian, Neta mengatakan, dari kasus Siyono ini, Polri seharusnya mendapat 2 pelajaran berharga. Pertama, setiap korban tewas akibat kekerasan, baik akibat tindak pidana maupun akibat tindakan kepolisian, wajib dilakukan otopsi lengkap, yakni pemeriksaan luar dan dalam, sesuai KUHAP, meskipun terdapat penolakan dari berbagai pihak yang dapat dianggap menghalangi proses penyidikan. Dengan demikian, diperoleh hasil yang lebih valid untuk dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan hukum.
Kedua, pemeriksaan otopsi lengkap secara konvensional (pemeriksaan luar dan dalam) masih merupakan Gold Standard dalam pembuktian sebuah tindak pidana, dibandingkan dengan PMCT yang sementara ini hanya dapat dikategorikan sebagai pemeriksaan pendukung.
Neta mengajak semua pihak harus berjiwa besar menyikapi kasus Siyono tersebut. Untuk itu, setelah otopsi ulang, Komnas HAM harus memprakarsai penyidikan independen terhadap kematian Siyono. Hasilnya dibuka secara transparan. Jika ada polisi yang bersalah dan melanggar prosedur harus diproses secara hukum di pengadilan.
Sebaliknya, jika polisi sudah bertindak sesuai prosedur, Komnas HAM harus menjelaskannya secara terbuka kepada masyarakat agar persoalannya menjadi jelas.
© Copyright 2024, All Rights Reserved