Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggunakan Fire Danger Rating System (FDRS) dalam pemantauan kebakaran hutan dan lahan (Kahutla). Sistem FDRS yang terupdate diharapkan dapat menjadi referensi bagi kebijakan penanggulangan karhutla oleh pemerintah.
Kepala BMKG, Andi Eka Sakya mengatakan, informasi FDRS ini berdasarkan pada parameter cuaca, seperti suhu (T), kelemban udara (RH), angin (W), curah hujan dan tekanan udara (P). Ia menyebut, FDRS sudah digunakan BMKG sejak tahun 1998 pada peristiwa El Nino.
"Dengan informasi FDRS yang terupdate diharapkan bisa dijadikan referensi dalam kebijakan penanggulangan karhutla oleh pemerintah, pemda dan masyarakat," ujar Andi kepada politikindonesia.com, usai membuka kegiatan "Workshop on Indonesian Fire Management Decision-Making: Using Fire Risk Systems and Fire Danger Rating System Tools", di Gedung BMKG, Jakarta, Senin (20/02).
Menurutnya, dalam memberikan informasi FDRS dengan menggunakan Fire Weather Index untuk menggambarkan kemudahan karhutla untuk 7 hari ke depan yang dilihat dari parameter cuaca suatu wilayah. Pada sistem peringatan dini juga bisa menggunakan citra satelit untuk memberikan informasi terkait pendekteksian kabut asap akibat karhutla.
"Karena wilayah kita sangat luas sehingga menjadi tantangan untuk kita dalam menyediakan informasi hot spot dengan tingkat akurasi yang tinggi dalam waktu real time. Maka dengan workshop ini diharapkan dapat menentukan langkah-langkah apa saja untuk memitigasi terkait karhutla tidak hanya mendapat informasi terkait kebakaran hutan dan lahan," ujarnya.
Diakui, pencemaran udara akibat asap karhutla memang menjadi persoalan dan perhatian dalam beberapa dasawarsa terakhir. Sejak tahun 2009, karhutla mendapat perhatian luas khususnya di negara Asia Tenggara dan sekitarnya karena peristiwa ini merupakan peristiwa yang mengancam lingkungan dan ekonomi. Sehingga banyak dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan.
"Sebut saja adanya peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK) dan penyebaran asap/aerosol ke negara-negara tetangga. Kasus karhutla juga berdampak terhadap perubahan iklim (dalam jangka panjang) dan dapat menurunkan jarak pandang sehingga mengganggu aktivitas transportasi serta ekonomi masyarakat, dan menimbulkan kerugian jiwa akibat gangguan kesehatan," imbuhnya.
Dijelaskan, pada tahun 2015-2016 terjadi karhutla masif yang melanda beberapa wilayah di Indonesia. Kondisi kekerigan panjang akibat El Nino pada tahun 2015-2016 menambah luasan lahan yang terbakar. Sehingga meningkatkan intensitas karhutla di Indonesia. Kerugian yang terhitung pada tahun 2015 mencapai 2 persen PDB.
"Bahkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan wilayah yang paling banyak terdapat kejadian karhutla pada tahun 2015-2016 adalah Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimatan Timur, Kalimantan Utara dan Jawa Timur dengan akumulasi lebih dari 10 kejadian selama 2 tahun terakhir," paparnya.
Sementara Duta Besar Kanada Untuk Indonesia Mac Fathur mengutarakan Kanada memiliki kemiripan dengan Indonesia yang memiliki hutan tropis.
"Oleh sebab itu, kami berharap melalui pelatihan dan workshop ini Kanada dapat memberikan konstribusi bagi Indonesia dalam sistem manajemen kebakaran dengan ikut membantu dalam mengupgrade FDRS Indonesia. Sehingga dapat dijadikan langkah untuk melindungi lingkungan dan pencegahan serta mitigasi terhadap perubahan iklim," ujar Mac Fathur.
© Copyright 2024, All Rights Reserved