SEJAK tragedi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat, meledak dan longsor pada 2005, maka semakin tampak bahwa pengelolaan sampah semakin kedodoran dan mayoritas TPA dikelola secara open dumping.
Tragedi Leuwigajah itu menelan ratusan korban nyawa, menguruk pemukiman warga dan lahan pertanian. Jelas, yang dirugikan warga dan lingkungan.
Sekarang semakin banyak daerah yang tidak mampu mengelola sampahnya, bahkan menjadi ornamen kota, karena TPA penuh dan diberlakukan buka tutup.
Boleh dibilang darurat sampah, seperti kasus Yogyakarta, Bandung Raya, Depok, Pemalang, dan lain-lain. Carut marut pengelolaan sampah di sejumlah kabupaten/kota di Indonesia disebabkan berbagai faktor, seperti kebijakan tidak pro sampah, tidak pro lingkungan dan tidak pro orang miskin.
Apa masalahnya? Pemerintah kabupaten/kota belum memprioritaskan pengelolaan sampah, karena lebih fokus pada pembangunan fisik infrastruktur, seperti jalan, jembatan, gedung, pengadaan mobil dinas, pabrik, dan lain-lain.
Sedangkan porsi alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah relatif kecil sekali, ada 1%, 2%, 2,5%, 3%, tidak ada yang mencapai 5%, apalagi 10% dari total APBD.
Hal ini bisa dilihat porsi alokasi anggaran untuk pengelolaan sampah dari APBD kabupaten/kota setiap tahun, seperti Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Karawang, Kota Pekalongan, Kabupaten Pemalang, dan lain-lain.
Sebagai contoh pengelolaan sampah yang semakin amburadul di TPA Burangkeng Kabupten Bekasi. Mungkin alokasi anggaran kecil, ada suap dan korupsinya, sumber daya manusia (SDM) tidak profesional, mengabaikan partisipasi masyarakat, dan lain-lain. Merupakan bukti faktual sulit terbantahkan. TPA Burangkeng merupakan model pengelolaan sangat buruk. Lokasinya sekitar 50-55 Km dari Ibukota Jakarta.
Boleh dibilang, buruknya pengelolaan sampah di kabupaten/kota karena anggaran kecil atau miskin anggaran. Apalagi penggunaannya tidak tepat sasaran, tidak efesien, atau sarat suap dan korupsi.
Variabel pengelolaan sampah, anggaran kecil dan korupsi pasti ada korelasinya. Dalam konteks ini bisa diuji secara ilmiah. Bisa juga merupakan hipotesis (kerja, alternatif) yang menunjukkan ada hubungan antara dua variabel atau lebih.
Sejalan dengan itu porsi alokasi anggaran untuk kepentingan orang-orang miskin di sekitar TPA sampah juga kecil sekali.
Misalnya dukungan anggaran untuk program/kegiatan 3R (reduce, reuse, recycle). Jika ada, dukungan itu berupa teknologi, seperti bantuan mesin pencacah sampah organik, mesin pencacahan plastik, mesin pencucian plastik, dan lain-lain. Beberapa kasus, mesin bantuan itu tidak bisa difungsikan karena terlalu kecil, kualitasnya jelek, kontraproduktif.
Mereka tidak dilibatkan dalam perencanaan untuk bantuan tersebut. Mestinya ada serangkaian pertemuan membuat perencanaan, survei lapangan, implementasi, dan lain-lain. Jadi jenis/tipe mesin, seperti apa yang dibutuhkan, kapasitas produksi, dan lain-lain. Secara sederhana mesin itu bisa dioperasikan secara produktif atau mendapat hasil besar, sehingga ada nilai keekonomiannya. Contoh ada kelompok yang minta bantuan mesin pencacah plastik kapasitas 2-2,5 ton/hari, ternyata yang diberikan kapasitas 3-4 kw/hari.
Orang-orang miskin di sekitar pembuangan sampah, termasuk pemulung biasanya tinggal di rumah kecil semi permanen, atau gubuk-gubuk petak berderet dari material bekas, kumuh dan sanitasi buruk.
Ukuran gubuk pemulung per pintu: 3x4 meter, 4x6 meter, dan ada yang lebih besar. Sehari-hari mereka menggunakan air sumur pantek atau bor kedalaman 11-12 meteran. Airnya tercemar lindi dan tinja (virus ecoli). Toilet atau tempat MCK ala kadarnya.
Kebijakan anggaran yang memihak pada orang miskin (pro-poor budget) harus dipandang sebagai bagian tak terpisahkan dari sekian banyak kebijakan lain yang diperlukan untuk menanggulangi kemiskinan.
Mengingat rezim sentralistik dalam sistem pemerintahan Indonesia telah beralih menjadi rezim desentralistik dan otonom, maka konteks pembahasan pro-poor budget ini akan disesuaikan pula dengan sistem pemerintahan rezim yang baru ini. (Sulton Mawardi dan Sudarno Sumarto, Kebijakan Publik yang Memihak Orang Miskin, Fokus: Pro-poor Budgeting, SEMERU, Maret 2003).
Dalam wacana lebih luas, kebijakan pro-poor budget sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan dari prinsip-prinsip penganggaran yang baik. International Monetary Fund (IMF), dan Forum Transparansi Anggaran (FITRA, 2001), mengidentifikasi prinsip-prinsip umum penganggaran yang baik antara lain dicirikan oleh faktor: Transparan; Rasional; Akuntabel; Keadilan dan Proposional. Perlu ditambahkan Pro Lingkungan Hidup.
Keadilan dan Proporsional: Anggaran dialokasikan secara proporsional pada sektor-sektor tertentu yang sifatnya mendesak dan berhubungan dengan kepentingan masyarakat luas, sekaligus sebagai kompensasi pemerintah kepada kelompok masyarakat tertentu (miskin) untuk mengurangi ketimpangan pendapatan yang telah menciptakan ketidakadilan ekonomi.
Dengan mengacu pada beberapa prinsip anggaran (yang baik) tersebut, maka secara sederhana kebijakan anggaran yang bersifat pro orang miskin dapat diterjemahkan sebagai praktek penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang anggaran yang sengaja ditujukan untuk mengakomodir suara dan kepentingan masyarakat miskin.
Berdasarkan definisi ini, setidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan oleh pemerintah (daerah) dalam menyusun dan mengimplementasikan kebijakan anggaran supaya ia dapat dikategorikan sebagai kebijakan anggaran yang bersifat pro orang miskin (SEMERU, Maret 2003).
Aspek Penyusunan Anggaran. Salah satu elemen strategi yang bisa membuka peluang bagi terciptanya kebijakan pro-poor budget adalah melalui mekanisme participatory budgeting. Sayangnya, di Indonesia, juga umumnya di negara lain, penentuan keputusan mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, kemiskinan, dan juga soal anggaran, masih sering dilakukan di belakang pintu tertutup dan hanya melibatkan segelintir elite saja.
Aspek Penerimaan Daerah. Komponen penerimaan daerah yang dapat direkayasa oleh pemerintah daerah dalam rangka membuat anggaran yang pro orang miskin adalah pendapatan asli daerah (PAD). Mengingat sumber PAD yang bersentuhan langsung dengan masyarakat adalah pajak dan retribusi daerah, maka pemerintah daerah dapat membuat kebijakan anggaran yang bersifat pro orang miskin antara lain dengan.
Aspek Pembelanjaan Daerah. Langkah berikutnya yang dapat dilakukan pemerintah daerah untuk menciptakan anggaran yang bersifat pro orang miskin adalah melalui perekayasaan aspek pembelanjaan daerah.
Kebijakan masa lalu tidak pro sampah dan lingkungan. Dalam konstalasi kewenangan tumpang tindih, maka sulit melakukan penegakan hukum (law enforcement). Tidak mungkin menjatuhkan hukuman bagi tubuhnya sendiri meskin ketika terjadi pelanggaran-pelanggaran serius baik pada level policy maupun lapangan. Tindak menghukum dirinya sendiri sangatlah tidak mungkin dilakukan karena akan menyakiti dan membuat noda pada dirinya sendiri.
Pendekatan masa lalu mengabaikan partisipasi berbagai stakeholder, sentuhan sosio kultur dan kemanusiaan. Dengan kata lain pendekatan yang tidak pro rakyat, pro kemanusiaan dan pro lingkungan hidup. Pendekatan konvensional harus ditinggalkan karena merugikan.
Pada intinya paradigma masa lalu terlalu menyelepekan persoalan sampah, karena dianggap sederhana dan merupakan efek dari perkembangan suatu kota semata.
Sehingga tidak perlu dipikirkan secara serius dan profesional. Sampah dipandang sebelah mata oleh para pengambil kebijakan, mereka lebih tertarik pada sektor-sektor yang lebih menjanjikan seperti sektor komersial dan industri.
Ruang untuk pengelolaan sampah dan TPA tidak disediakan. Setelah kondisinya darurat barulah beramai-ramai memikirkan sampah. Kasus tragedi darurat sampah DKI Jakarta, Bandung lautan sampah diprediksikan kemungkinan besar terjadi di metropolitan dan kota besar lainnya (Bagong Suyoto, 2005).
Selama ini pemerintah, DPR/DPRD, masyarakat, pemulung, pelapak, dan sektor informal menjalankan aktivitasnya sendiri-sendiri. Sementara pemerintah dengan kebijakannya juga berjalan sendiri-sendiri. Keberadaan berbagai stakeholder harus dilibatkan dalam penanganan sampah kota, khususnya dalam implementasi 3R.
Sekarang kita mulai menata dengan model paradigma baru pengelolaan sampah dan pro-rakyat miskin yang terlibat pengelolaan sampah dari sumber.
Keuntungan paradigma baru, yakni: (1) Menghemat sumberdaya; (2) Beban pencemaran berkurang; (3) Bernilai ekonomis dan membuka lapangan kerja; (4) Operational cost rendah; (5) Beban TPA berkurang,dan (6) Yang paling penting masyarakat sekitar menerima keberadaan pengelolaan dan pengolahan sampah dan TPA/TPST.
*Penulis adalah Ketua Koalisi Persampahan Indonesia (KPNas)
© Copyright 2024, All Rights Reserved