Usulan Denny Indrayana agar Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) yang memberikan hak imunitas bagi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menjadi solusi bagi kisruh KPK Vs Polri ini.
Demikian pendapat yang disampaikan Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman, kepada politikindonesia.com, Minggu (25/01). Ia mengatakan, apa yang terjadi saat ini sungguh memprihatinkan. Dimana, 1 demi 1 pimpinan KPK disibukkan dengan persoalan hukum pribadi masa lalu yang terkesan dicari-cari dan nyaris tidak masuk akal.
Dalam kasus BW, misalnya. Sangat aneh peristiwa yang terjadi tahun 2010 baru dilaporkan tahun 2015 dan dalam hitungan hari sudah naik ke tingkat penyidikan. Laporan terhadap Adnan Pandu Praja juga tak kalah janggal, peristiwa yang dilaporkan terjadi 8 tahun lalu atau tepatnya tahun 2006.
"Jika terus dibiarkan, kondisi ini dipastikan akan memperlemah KPK karena karena konsentrasi pimpinannya menjadi terganggu. Yang lebih parah, kriminalisasi tersebut dapat membuat pimpinan dan jajaran dibawahnya demoralisasi atau bahkan trauma dalam mengusut perkara-perkara korupsi beresiko tinggi," ujar dia.
Habib mengatakan, kita tentu tidak bisa begitu saja menstigma apa yang terjadi pada pimpinan KPK kali ini sebagai bagian dari fenomena “coruptor fight back” namun secara umum fenomena tersebut adalah fenomena yang biasa terjadi dalam perang melawan korupsi.
Koruptor yang memang pejabat negara dan memegang kekuasaan akan memakai segala kekuasaannya untuk melindungi diri. Tantangan akan semakin besar jika yang dibidik adalah pejabat di bidang hukum, karena ia juga punya kewenangan melakukan tindakan hukum untuk menyerang balik.
Untuk itu hak imunitas bagi pimpinan KPK sudah saatnya direalisasikan namun dengan batasan yang jelas. "Secara teknis pengaturan soal hak imunitas tersebut bisa dituangkan dalam produk hukum Perppu yang dalam waktu dekat bisa segera dikeluarkan oleh Presiden untuk kemudian disetujui oleh DPR," uajr dia.
Yang diatur dalam Perppu tersebut adalah jaminan agar pimpinan KPK tidak bisa dituntut secara pidana atas perbuatan hukum yang ia lakukan sebelum ia menjabat. Perlu digarisbawahi jika hak imunitas tersebut hanya berlaku sepanjang masa jabatan dan akan hilang dengan sendirinya jika ia tak lagi menjabat sebagai pimpinan KPK. "Dengan demikian Perppu tersebut tidak akan melanggar azas persamaan di muka hukum (equality before the law)."
Habib menambahkan, dengan adanya hak imunitas ini maka pimpinan KPK bisa konsentrasi penuh menyelesaikan tugas-tugasnya yang begitu berat tanpa takut mendapatkan persoalan atas peristiwa hukum yang terjadi bertahun-tahun sebelumnya.
Pemberian hak imunitas ini harus sejalan dengan penyempurnaan proses seleksi pimpinan KPK baik di tingkat Panitia Seleksi maupun tingkat DPR. Jadi orang-orang yang sejak awal terdeteksi bermasalah harus sudah dinyatakan gugur terlebih dahulu dalam proses seleksi tersebut sehingga KPK juga tidak dijadikan bungker untuk lari dari masalah hukum.
Habib menambahkan, perlindungan hukum atau Hak imunitas dalam pemberantasan tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan hal baru. Selama ini hal semacam itu sudah diberikan kepada saksi pelapor kasus korupsi. "Pasal 10 ayat (1) UU 13/2006 yang menyatakan, Saksi, Korban dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya."
Selain itu, Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, KPK berkewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.
Jika saksi saja mendapatkan perlindungan hukum dan imunitas, maka sangatlah wajar jika pimpinan KPK mendapatkan hal yang sama. "Presiden Jokowi sebagai pemegang mandat dari rakyat sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan harus mau menggunakan kewenangannya menyelesaikan kisruh ini," tandas dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved