JELANG pergantian tahun ke 2025, diskusi tentang apakah Indonesia bisa mencapai pertumbuhan ekonomi 8% atau tidak makin ramai. Mimpi capaian 8% tentu didasarkan pada obsesi agar ekonomi Indonesia bisa keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap), maka pertumbuhan harus digenjot hingga 8%.
Selama 10 tahun ini, pertumbuhan selalu stagnan di kisaran 5%. Jika obsesi 8% itu tidak terwujud, dianggap menjadi mimpi buruk, dan tetap menjadi negara kategori berkembang alias miskin.
Sayang sekali, mimpi itu ternyata menjadi delusi, yakni dibangun dari keyakinan palsu yang tidak berdasar data dan fakta, yang membuat seseorang tidak bisa membedakan mana realitas dan mana khayalan.
Padahal tidak satupun perintah konstitusi yang mengharuskan ekonomi Indonesia tumbuh tinggi. Konstitusi hanya mengamanahkan mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, yang secara imperatif tertuang dalam alinea II dan IV Pembukaan UUD 1945, Sila kelima Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945.
Anehnya, tidak ada data dan fakta yang bisa mendukung bahwa ekonomi Indonesia saat ini bisa tumbuh tinggi. Potensi tumbuh memang diakui sangat besar, bahkan bisa meroket melebihi angka dua digit. Tapi ingat, bagaimana mentransmisikan potensi itu menjadi energi faktual.
Data potensial itu tidak bisa difaktual karena masalah, misalnya, tingginya angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia. Angka ICOR masih bertengger tinggi mendekati 7%, sementara rerata negara ASEAN hanya 3,5%. Tingginya angka ini mengirim pesan, masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, tingginya korupsi, dan banyaknya biaya siluman menorpedo mesin birokrasi ekonomi.
Demikian juga rendahnya produktivitas berbasis pengetahuan dan teknologi. Ihwal ini bisa dilihat pada rendahnya kontribusi Total Factor Productivity (TFP) dalam perekonomian.
Perekonomian Indonesia selama ini ditopang oleh usaha ekstraktif berbasis sumberdaya alam (SDA). Dan, jika SDA ini menjadi selalu menjadi andalan, asumsi teori kutukan sumber daya alam (the resource curse) atau paradoks keberlimpahan selalu menjadi fakta. Ketimpangan ekonomi pasti terjadi disertai tingkat kemelaratan membumbung.
Di tengah tingginya ICOR dan rendahnya TFP, Indonesia saat ini dipukul oleh menurunnya daya beli, terutama pada level kelas menengah.
Sejak pandemi Covid-19 hingga 2024 ini, jumlah kelas menengah Indonesia terperosok hingga 9,48 juta orang dan kembali menjadi miskin. Amblasnya jumlah kelas menengah disertai dengan pergeseran lapangan pekerjaan. Sejak 2019, jumlah lapangan kerja formal kelas menengah terus tertekan, sementara lapangan kerja informal bertambah.
Fakta menunjukkan, konsumsi kelas menengah inilah, selama ini, berkontribusi signifikan mendongkrak PDB dan pertumbuhan ekonomi.
Maka, pemberlakuan atau pengenaan PPN setinggi 12 persen mulai 1 Januari 2025, pasti sangat tidak realistis. Apalagi jika disertai rencana pengalihan subsidi BBM dan listrik yang bisa memantik tarif listrik untuk kelas menengah bawah terkerek naik.
Beratnya beban biaya, pasti akan membuat panen pengangguran bertambah. Tentu, solusi yang tepat adalah perombakan total struktur perekonomian, terutama kaitan sisi fiskal dan afirmasi kebijakan kepada ekonomi menengah bawah dan paling bawah (grass root) serta menghilangkan delusi ekonomi.
*Penulis adalah Senior Advisor Center for Human & Economic Development Studies (CHEDs)
© Copyright 2024, All Rights Reserved