Saat peluncuran buku Mimpi Tentang Indonesia yang ditulis oleh Budiman Tanuredjo, jurnalis senior Kompas, Prof Dr Fransiska Saveria Sika Ery Seda menjadi salah satu panelisnya.
Prof Dr Ery Seda adalah anak perempuan Frans Seda, seorang politikus, menteri, tokoh gereja, pengamat politik, dan pengusaha Indonesia yang terkenal sebagai tokoh pemikir di era Orde Baru.
Di forum tersebut, Prof Dr Ery Seda menyampaikan kegelisahannya sebagai seorang yang bergelut dalam dunia sosial politik dan kemasyarakatan. Banyak hal yang beliau sampaikan tentang ide, gagasan, dan kegelisahannya.
Endah Lismartini dari politikindonesia.id meramunya jadi wawancara sebagai berikut:
Banyak orang bicara tentang mimpi Indonesia. Sebagai sosiolog, bagaimana Anda melihat ini?
Ada perasaan kegalauan, tidak pasti, tapi masih ada harapan. Banyak orang masih memiliki harapan, tapi mereka merasakan kegalauan. Sebelumnya, banyak orang percaya bahwa globalisasi itu akan membawa inklusifisme. Kebanyakan orang sosiologi itu percaya betul bahwa globalisasi akan membuat dunia kita ini menjadi lebih inklusif, lebih beragam, ekstremisme dan fundamentalisme akan berkurang. Kenyataannya, 20 tahun terakhir, enggak usah terlalu banyak belajar sosiologi atau apapun, faktanya adalah justru penguatan resistensi lokal luar biasa.
Mengapa demikian?
Jadi, globalisasi itu dihadapi dengan identitas lokal. Itulah kontestasi yang terjadi sampai sekarang ini. Justru karena ada proses globalisasi, maka identitas lokal itu malah semakin menguat. Kalau kita mengatakan perubahan sosial pasti terjadi, kan berarti masih ada harapan. Harapan yang lebih baik. Tapi sayanganya, sejarah menunjukkan perubahan sosial itu bisa menjadi keadaan yang lebih buruk.
Jadi perubahan sosial itu bukan berarti otomatis akan membuat pada keadaan atau kondisi masyarakat yang lebih baik?
Contoh sangat sederhana, demokrasi diharapkan melahirkan pemimpin-pemimpin yang demokratis. Faktanya, Hitler, Mussolini itu lahir dari proses yang demokratis. Sampai salah seorang psikolog terkenal, salah satu pemikir masa Frankfurt itu menulis mengenai, bagaimana mungkin bangsa Jerman yang katanya terdidik itu, rasional itu, memilih Adolf Hitler secara demokratis. Jadi demokrasi itu tidak otomatis menghasilkan pemimpin yang demokratis. Dan sejarah politik seperti itu bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi di mana-mana. Mohon maaf, bagaimana mungkin Amerika Serikat yang katanya sangat demokratis itu, menghasilkan Trump dua kali menang. Ini sesuatu yang di luar logika apapun, membaca apapun, itu tidak masuk akal.
Ada idiom yang mengatakan, pemimpin itu adalah cerminan para pemilihnya?
Pemimpin adalah cerminan para pemilihnya. Jadi kalau sampai pemimpin X, Y, Z, lahir di Indonesia ini, ya berarti itulah cerminan rakyatnya. Tetapi kan pertanyaan selanjutnya, itu kalau mengasumsikan demokrasi itu pilihan rakyat, dari rakyat dan oleh rakyat. Kenyataannya kan tidak.
Maksudnya, demokrasi Indonesia tidak seperti itu?
Jadi dengan kata lain, para sosiolog itu banyak yang terlalu lugu melihat text book, dan menerapkannya di masyarakat. Kenyataannya di setiap masyarakat itu selalu ada variabilitas. Nah di Indonesia ini variabilitasnya apa ya, kok bisa sampai, saya tidak sebut nama ya, tapi di Indonesia ini kan kembali seperti dulu toh? Program pembangunannya, kayaknya rada-rada mirip dengan beberapa puluh tahun yang lalu. Saya jadi bertanya, ini mau apa? Lalu saya berpikir, jangan-jangan kita yang di luar kekuasaan ini punya mimpi X, Y, Z tapi mereka yang sedang berkuasa itu punya mimpi A, B, C. Mimpinya tidak sama. Jadi jangan-jangan mimpi kita tentang Indonesia itu berbeda-beda. Apalagi mereka yang sedang berkuasa, mimpinya pasti beda dengan yang dikuasai.
Mimpi yang tak sama ini jadi problem sosial juga ya?
Jadi ada kesenjangan yang besar, antara para penguasa atau para elit itu dengan masyarakatnya. Pertanyaan sekarang, kita ini berada pada posisi mampat, atau di tengah. Nah biasanya pertanyaan seperti ini akan mendapat jawaban klasik, perlu ada gerakan sosial. Tapi bagaimana gerakan sosial itu di tengah masyarakat yang sangat terfragmentasi? Persoalan utamanya, tidak ada kesamaan dalam bermimpi. Karena yang bermimpi, punya cita-cita yang berbeda tentang Indonesia. Nah ini, kita jangan berasumsi, bahwa yang namanya warga negara Indonesia itu mimpinya semuanya sama. Bahkan, mohon maaf, bisa bertentangan. Terutama antara penguasa dengan yang dikuasai.
Apakah mimpi penguasa dan yang dikuasai bisa diselaraskan?
Ada seorang teman yang sangat skeptis dengan hal ini. Halah, ngomongnya karena belum berkuasa. Kalau sudah berkuasa, pasti sami mawon. Sama saja. Sehingga bahkan ada yang mengatakan, lebih baik jangan ikut-ikutan di lingkar kekuasaan.
Jadi, orang-orang yang masih punya mimpi tentang kepentingan bersama, itu banyak yang tidak mau ikut di dalam proses demokratis ini. Padahal itu dibutuhkan. Yang jadi masalah adalah, orang-orang yang tadinya kita pikir baik, bahkan teman-teman kita, begitu masuk di lingkaran kekuasaan, itu mengagetkan. Lho, ini kok bisa pelukan sama si X, Y, Z ya? Enggak usah punya rekam jejak digital lah. Ya ini gimana ya?
Tapi ada juga yang berpikir, semua sama baiknya. Kita mau mengubah dari dalam juga bisa, tapi tantangannya tidak mudah. Orang yang sudah masuk lingkar kekuasaan itu, cara berpikirnya sudah berbeda dengan orang yang masih di luar kekuasaan. Sekarang masalahnya, kalkulasinya seperti apa. Mungkin bisa dibilang karenaa akhirnya sudah berjemaah, tapi pertanyaan lebih lanjutnya, kok orang-orang yang tadinya baik-baik, bisa jadi berjemaah ya? Dan tidak cukup dijawab, karena kekuasaan. Walaupun saya setuju sekali dengan frasa, kekuasaan itu memabukkan.
Jadi mana duluan yang harus diubah dalam perubahan sosial? Orangnya atau sistemnya?
Mungkin kalau bicara dari sisi hukum, kita akan bicara sistem, hukum, tapi orangnya juga harus benar dan baik. Meskipun sistemnya sudah baik, tapi kalau orangnya enggak benar, enggak baik, ya pasti hukumnya diutak-atik sehingga sistemnya juga menjadi tidak baik. Nah ini antara sistem dengan orang. Antara pemimpin dengan sistem itu sama pentingnya. Tidak bisa kita hanya mengatakan ini orang baik. Malaikat pun kalau sistemnya koruptif, cenderung menjadi koruptif.
Lalu jika berharap terjadi perubahan sosial, gerakan sosialnya itu harus apa atau bagaimana?
Tujuannya itu adalah mengubah sistem dan mengubah orang. Kalau ada proses pembelajaran tentang proses reformasi, seharusnya adanya bukan reformasi, karena reformasi saja tidak cukup. Buktinya kembali ke circle kok. Jadi kalau betul-betul ada konteks reformasi sistem dan orang, maka yang perlu dilakukan pertama-tama itu adalah reformasinya jangan tanggung-tanggung. Silakan terjemahkan sendiri, saya tidak akan menyebut R yang lain. Nanti dibilang provokasi. Kita sebut reformasi yang radikal saja lah.
Jadi harus reformasi radikal dan total ya?
Sistemnya direformasi, UU-nya juga direformasi, kebijakan turunannya direformasi, orangnya diganti. Itu baru reformasi. Kalau reformasi tanggung-tanggung, 20 tahun kemudian ya kayak sekarang ini. Kembali seperti dulu. Sistemnya tidak dirombak total, orang-orangnya adalah muka lama berwajah baru.
Jadi Indonesia itu adalah, maaf saya agak sedih ngomong seperti ini, tapi dalam bahasa Inggrisnya, The Country of Lost Opportunities. 79 tahun merdeka, dengan negara dan sumber daya alam yang demikian kaya dan keberagaman itu sebagai suatu faktor positif, tapi di penjara oleh para elit, kemudian para elit ini menyalahgunakan wewenang untuk membuat sistemnya juga tersumbat. Itu persoalan kita.
Tapi masih ada harapan untuk perbaikan sosial?
Jadi kalau mau supaya negara ini punya potensi besar dengan kesempatan yang juga sama besarnya, maka sumbatannya ini yang harus dibuang. Tapi itu memang tidak mudah, karena perubahannya adalah perubahan sistemik. Nah untuk bisa mengubah secara sistemik, orang-orangnya juga harus punya keberanian yang sama. Tapi selain tokoh yang berani, saat ini yang sangat dibutuhkan adalah masyarakat yang masih mau peduli.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk membuat perubahan sosial yang efektif?
Jadi perubahan sosial itu juga membutuhkan gerakan sosial yang terus menerus dan konsisten. Jadi bukan hanya yang sifatnya reaktif. Jadi harus terus menerus dikawal, setiap langkah yang menuju otoritarianisme itu harus terus dijaga. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved