BERDASARKAN hasil sensus penduduk tahun 2020, diketahui bahwa proporsi generasi Z sebesar 27,94% dari populasi jumlah penduduk di Indonesia.
Kemudian proporsi generasi milenial (generasi Y) sebesar 25,87%. Apabila dijumlahkan, diperoleh angka jumlah proporsi sebesar 53,81%.
Implikasinya adalah strategi untuk memenangkan pemilu 2024, maka digunakan cawapres yang mewakili kelompok generasi Z dan milenial, ataukah bukan. Jika bukan sebagai kelompok generasi Z dan milenial, itu adalah merupakan generasi X, baby boomers, atau pre boomer.
Selanjutnya paslon 1 memilih cawapres dari generasi X yang lahir tahun 1965-1980, paslon 2 memilih generasi milenial yang lahir tahun 1981-1996 atau sumber lainnya menyatakan sebagai generasi Z yang lahir tahun 1998-2012, dan paslon 3 memilih generasi baby boomers yang lahir tahun 1946-1964.
Akibat dari pemilihan strategi yang memanfaatkan struktur demografi tersebut, maka dari berbagai hasil survei memberikan informasi bahwa paslon 2 diprediksi meraih rangking pertama. Selanjutnya paslon 1 dan 3 saling bersaing menjadi ranking 1 atau 3.
Kemudian yang terjadi untuk menggugurkan capaian ranking pertama tersebut, maka dilakukan beberapa kegiatan propaganda dan provokasi menggunakan kampanye serangan udara dan darat.
Misalnya, pertama, melembagakan isu anti dinasti politik terhadap paslon 2 dengan mengeksploitasi pemanfaatan putusan MK dan MKMK, serta teguran DKPP terhadap KPU yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres paslon 2.
Kedua, membangun narasi sebagai gerakan pendukung berselimutkan anti pelanggaran etika dan moralitas. Strategi ini bukan hanya dikumandangkan oleh Petisi 100 untuk sasaran memakzulkan Presiden Joko Widodo, sekalipun pilpres sudah sangat dekat dilaksanakan tanggal 14 Februari tahun 2024.
Politikus pendukung strategi pemakzulan menganggap masa jabatan Presiden Joko Widodo, yang akan berakhir pada awal bulan Oktober 2024 memungkinkan mempraktekkan memberlanjutkan kekuasaan melalui Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan anak kandung.
Di samping itu dipropagandakan kampanye dugaan ijazah palsu, pelanggaran UU dan UUD 1945 hasil amandemen satu naskah, netralitas presiden, presiden dilarang berkampanye, presiden dilarang cawe-cawe, ketidaknetralan menteri-menteri, aparatur sipil negara, TNI-Polri, BIN, presiden melanggar sumpah jabatan, dan seterusnya.
Ketiga, melakukan provokasi untuk menyetop bansos dengan isu pelanggaran APBN, isu bagaikan raja membagikan bansos sebagai belas kasihan kepada penduduk miskin, maupun bansos sebagai ungkapan pengakuan kegagalan pemerintahan, maupun politisasi bansos.
Isu pemerintah membangun dengan merusak lingkungan hidup, mengeksploitasi dan menghabiskan kekayaan sumberdaya alam tanpa menyisakan setetes pun untuk masa depan generasi muda (anti pembangunan berkelanjutan) melalui program hilirisasi minerba, pembangunan nasional untuk keuntungan kemanfaatan negara dan bangsa asing (anti China), membangun infrastruktur bersumber dari utang pemerintah dan BUMN, sehingga menggadaikan masa depan generasi muda.
Bukan membangun generasi emas, melainkan generasi cemas. Imbauan menteri-menteri mundur. Provokasi tersebut masih banyak, dan terkesan senantiasa diproduksi sebagai strategi untuk menggagalkan capaian rangking pertama.
Keempat, membantah hasil survei dengan menyatakan survei merupakan kegiatan perekayasaan politik. Argumentasinya adalah jika yakin menang satu putaran, namun mengapa presiden menyatakan boleh berkampanye dan boleh memihak.
Mengapa presiden rajin membagikan bansos ke berbagai wilayah di Indonesia, sekalipun hal itu merupakan simbolisasi pelaksanaan program pemerintah dan sebagai preferensi kebiasaan presiden bertemu rakyat. Masih banyak lagi, termasuk insiden membentang spanduk dan kegiatan menertibkan spanduk, dan lain-lain.
Sebenarnya contoh sangat sederhana secara ekstrem dari pilihan politik pilpres dan pileg adalah sebagai kegiatan demokratis untuk memilih pilihan politik, semisal memilih menu siap santap di rumah makan sederhana Minang atau Padang.
Tersedia pilihan lauk telur, daging sapi, ikan, kerupuk, dan/atau tahu tempe yang dimasak menggunakan berbagai macam makanan olahan dan bumbu-bumbu pembangkit selera makan.
Perbedaannya dengan kegiatan memilih paslon adalah adanya kehadiran rayuan kampanye menggunakan pendekatan konstruktif untuk membangun pemilu secara damai, ataukah full horror dalam meningkatkan daya saing paslon menggunakan kampanye yang energik dan provokatif.
Dr Ir Sugiyono Msi
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana
© Copyright 2024, All Rights Reserved