IBU bendahara negara, Sri Mulyani Indrawati menggebu-gebu saat menyampaikan penerimaan pajak mengalami kenaikan. Layaknya orang bijak, ia mengatakan bahwa membangun negara yang sejahtera dan adil diperlukan dukungan penerimaan pajak yang baik. Menurutnya, pajak merupakan tulang punggung serta instrumen yang sangat penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya.
Tulang Punggung
Pantas saja rakyat seperti diburu pajak setiap hari. Rupanya, penguasa negeri ini sedang meramu resep ciamik dari penerapan sistem kapitalisme, yakni pajak sebagai tulang punggung untuk menambah devisa negara. Sementara, rakyat menjadi bahan kejar tayang tarif pajak. Ibarat kata, rakyat seperti ‘menggendong’ pemasukan negara dengan membayar pajak yang digunakan untuk aneka kebutuhan negara. Contohnya, pajak untuk menggaji pejabat pemerintah, membangun fasilitas untuk pejabat, membangun proyek strategis negara, dan lainnya.
Bukti pajak sebagai tulang punggung dapat kita lihat dari peningkatan yang signifikan dari penerimaan pajak. Setelah 40 tahun berlalu, penerimaan pajak yang semula pada tahun 1983 sebesar Rp13,87 triliun, di tahun 2023 mencapai Rp1.869 triliun. Wajar saja Menkeu begitu sumringah atas pencapaian ini. Sebab, dialah sosok yang paling banyak melakukan ikhtiar agar penerimaan pajak meningkat. Salah satunya ialah menaikkan PPN dari 10 persen menjadi 11 eprsen. Kabarnya, tahun 2025 PPN juga akan kembali naik menjadi 12 persen. Tidak hanya itu, pajak pun menyasar dunia digital dan pelakunya, seperti Youtuber, influencer, dan pemilik toko online juga terkena tarif pajak berupa PPh.
Setidaknya, ada lima jenis pajak di Indonesia yang menjadi tulang punggung pemasukan negara, yakni Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Begitulah pajak dalam sistem kapitalisme. Pemasukan negara bernama pajak ini sesungguhnya berdiri di atas pemalakan duit rakyat atas nama pembangunan. Bagaimana tidak, rakyat bersusah pajak membayar kewajiban pajak, eh malah disalahgunakan dengan melahirkan banyak koruptor di berbagai lembaga pemerintah. Apalagi dalam beberapa waktu lalu, gaya hidup mewah pegawai pajak banyak tersorot dan viral dalam perbincangan publik.
Pajak dalam Sistem Kapitalisme
Dalam sistem kapitalisme, pajak merupakan sumber pendapatan utama negara. Maka tidak perlu heran jika negara akan terus mengejar rakyat dengan berbagi pungutan. Selagi bisa dikejar, beragam pungutan dan tarif pajak akan dikenakan pada rakyat selaku objek wajib pajak. Fakta ini sejatinya mengonfirmasi betapa zalimnya sistem ini jika diberlakukan dalam kehidupan bernegara. Rakyat yang membayar pajak, penguasa sebagai penariknya, tetapi kinerjanya tidak amanah. Sebutlah perilaku korupsi yang mengakar dalam pemerintahan.
Pembangunan tidak merata juga belum dapat dirasakan rakyat secara menyeluruh. Satu sisi rakyat banting tulang mencari nafkah untuk membayar pajak. Di sisi lain, pejabat pemerintah malah enak-enakan menikmati fasilitas wah dan gaya hidup mewah. Gaji fantastis, kerja minimalis. Hal ini sangat berbeda secara diametral dengan Islam. Bagaimana pajak dalam Islam?
Pandangan Islam
Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Dharibah merupakan solusi terakhir apabila kas Baitulmal benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, dharibah hanya ditetapkan untuk kaum muslim saja. Pengenaan pajak adalah dari sisa nafkah (setelah pemenuhan kebutuhan hidup) dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya yang makruf.
Pajak dipungut berdasarkan kebutuhan Baitulmal dalam memenuhi kewajibannya. Pungutan pajak tidak boleh melebihi kebutuhan sebagaimana mestinya. Apabila kebutuhan Baitulmal sudah terpenuhi dan sudah mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya dari sumber-sumber penerimaan rutin, pungutan pajak harus terhenti. Dalam pandangan Islam, pajak diberlakukan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum muslim), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslim, sehingga tidak memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.
Islam memandang penerapan pajak hanya bersifat temporal (sementara), bukan menjadi pungutan rutin sebagaimana sistem kapitalisme saat ini. Dalam sistem Islam, sumber penerimaan negara yang masuk ke Baitulmal (kas negara) diperoleh dari: (1) Fai [Anfal, Ghanimah, Khumus]; (2) Jizyah; (3) Kharaj; (4) ‘Usyur; (5) Harta milik umum yang dilindungi negara; (6) Harta haram pejabat dan pegawai negara; (7) Khumus Rikaz dan tambang; (8) Harta orang yang tidak mempunyai ahli waris; dan (9) Harta orang murtad.
Ada pun harta kekayaan milik umum, negara akan mengupayakan untuk mengelolanya secara mandiri demi kepentingan dan kemaslahatan rakyat, bukan meliberalisasinya dengan prinsip kebebasan kepemilikan. Islam melarang kekayaan milik umum dikuasai individu, swasta, apalagi asing. Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Yang termasuk dalam kepemilikan umum tidak hanya migas, barang tambang, air, hutan, dan keanekaragaman hayati, tetapi juga fasilitas publik seperti jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan lainnya. Semua ini tidak boleh dimiliki oleh individu atau swasta karena penggunaannya dibutuhkan masyarakat secara luas.
Perhatikan bagaimana kapitalisme mengelola harta milik umum. Penguasa mengobralnya kepada swasta atau asing dengan memperjualbelikannya. Terhadap SDA milik rakyat, negara menjualnya, namun mati-matian mencari tambahan dengan memeras uang rakyat melalui pajak.
Demikianlah, perbedaan mendasar pajak dalam kapitalisme dengan Islam. Jika di sistem kapitalisme penguasa mencari pemasukan dengan menarik pajak. Maka dalam sistem Islam, Baitulmal memiliki banyak jalan sumber pemasukan, termasuk pengelolaan SDA dioptimalkan agar memberi kemaslahatan bagi umat manusia.
*Penulis adalah penggiat literasi di Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
© Copyright 2024, All Rights Reserved