Sebentar lagi, rakyat Indonesia akan merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan ke-73. Semestinya, di usianya saat ini seluruh rakyat Indonesia sudah memperoleh kemerdekaan secara utuh. Namun faktanya, semua aspek kehidupan negara ini masih dikuasai oleh asing.
Selain itu, dalam hal pangan, Indonesia juga masih bergantung dengan negara lain. Apalagi, revolusi industri generasi keempat (4.0) sudah di depan mata dan gaungnya semakin nyaring terdengar di Indonesia.
Dewan Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Pontjo Sutowo mengatakan seharusnya bangsa ini berusaha agar tidak lagi mengalami ketergantungan dengan negara lain, khususnya dalam hal pangan. Untuk itu, ia berharap agar kedaulatan negara yang diwujudkan dalam kedaulatan pangan dapat terwujud. Sehingga tidak mengalami ketergantungan dengan negara lain.
"Ketergantungan dengan negara lain atas kedaulatan negara yang harus dimiliki, dapat menjadi faktor non militer yang dapat merusak sebuah negara. Hal ini yang harus dihindari. Semestinya, Indonesia mesti berhati-hati terhadap seluruh potensi faktor non militer yang dapat mencederai ketahanan nasional.
Seperti Uni Soviet yang merupakan negara besar di dunia dari sisi militer sekalipun, ternyata runtuh karena faktor non militer,” katanya kepada politikindonesia.com di sela Diskusi Panel Serial (DPS) ke-14 di Jakarta, Kamis (09/08).
Menurutnya, kondisi tersebut harus menjadi perhatian seluruh anak bangsa, terutama generasi muda. Sehingga Indonesia tidak mengalami sejarah yang sama seperti Uni Soviet. Sehingga kemerdekaan yang sudah diraih tidak menjadi sia-sia, jika mampu membangun kedaulatan pangan di negara sendiri. Saat ini penduduk dunia terus bertambah, sementara isu keterbatasan pangan terus menguat. Sehingga mendorong negara manapun untuk mencari sumber pangan.
“Sesungguhnya revolusi industri 4.0 bisa menjadi sebuah ancaman bagi kedaulatan bangsa Indonesia dalam bentuk yang baru. Ancaman kedaulatan yang dihadapi di era globalisasi ini jauh lebih kompleks dan rumit. Sebab kita tidak lagi berhadapan dengan kekuatan angkatan perang dan kecanggihan senjata. Namun, kita dihadapi pada era dimana batas wilayah antar negara menjadi makin sulit akibat penggunaan teknologi informasi yang sedemikian masif dan canggih,” tukas Pontjo.
Dijelaskan, revolusi industri juga bisa jadi peluang besar bagi Indonesia. Hal itu kalau, bangsa ini bisa jeli dan siap memanfaatkannya. Sehingga bisa menjadi peluang besar bagi Indonesia. Karena revolusi industri 4.0 akan memberikan keuntungan kepada negara yang lebih advanced dan kepada negara yang memiliki modal lebih. Sedangkan pekerja terancam oleh robot dan Artificial Intelligence.
“Oleh sebab itu, generasi muda harus siap dengan perubahan tersebut. Terutama generasi muda yang berasal dari komunitas digital. Sehingga antisipasi setiap perubahan-perubahan yang ada dari revolusi 4.0 betul-betul siap menghadapi. Kami pun mengajak generasi muda untuk kembali merefleksikan dan merenungkan kembali apa yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa ini,” ujarnya.
Pada kesempatan yang sama, ahli ekonomi, Firmanzah menyatakan kondisi ekonomi Indonesia saat ini sedang dalam kondisi tidak bagus. Tahun-tahun politik yang seharusnya mampu menjadi gerbong untuk menarik ekonomi ke arah pertumbuhan positif, ternyata hingga saat ini tidak pernah terjadi. Bahkan, ekonomi Indonesia telah larut dengan kondisi ekonomi global. Makanya, setiap kenaikan dan penurunan kondisi ekonomi global akan segera berpengaruh bagi Indonesia.
“Semua itu terjadi karena hutang Indonesia dalam bentuk mata uang asing sangat besar. Jumlahnya sekitar 45 persen hutang Indonesia dalam mata uang asing. Lebih besar dari negara lain, seperti; Malaysia, India dan sebagainya. Banyaknya hutang dalam mata uang asing yang mendekati Indonesia adalah Filipina.Semua itu, menyebabkan ketahanan ekonomi Indonesia sangat rentan,” ucapnya.
Dengan munculnya revolusi industri 4.0, lanjutnya, ketahansn ekonomi Indonesia diperkirakan akan semakin sulit bertahan. Di New Zealand, misalnya, ada sekitar 885.000 (46 persen) tenaga kerjanya akan menganggur akibat revolusi industri 4.0. Lalu, bagaimana dengan Indonesia yang saat ini masih memiliki banyak industri padat karya. Apalagi, revolusi industri 4.0 kelebihan dan kekurangan bagi Indonesia. Karena perubahan itu hanya untuk negara kaya dan modern.
“Untuk itu, Indonesia kini memanggil semua anak bangsa untuk beraksi mengatasi revolusi industri 4.0 secara bersama dan terintegrasi. Sehingga ketahanan bangsa, khususnya ekonomi dapat teratasi,” tegasnya.
Sementara itu, pengamat energy dan perminyakan, Dirgo D Purbo, menambahkan, Indonesia yang begitu kaya dengan sumber energi akan memiliki competitive adventage dan comparative advantage dibanding negara-negara lain. Oleh karena itu dibutuhkan strategi-strategi khusus untuk menjawab berbagai tantangan. Ke depan Indonesia akan memiliki purchasing power parity setara dengan negara-negara regional lainnya.
“Adapun langkah strategis tersebut, antara lain melakukan efisiensi energi diberbagai sektor utamanya transportasi. Hal itu dilakukan untuk mengurangi konsumsi, meningkatkan stok BBM nasional dari 15 hari menjadi diatas 30 hari. Selain itu, hasil produksi minyak dan gas lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, memonitor penggunaan dolar dalam pembayaran minyak dikawasan Heartland,” ulasnya.
Sayangnya, kata Dirgo lagi, potensi yang ada di Indonesia itu belum dimaksimalkan. Padahal, konstelasi geopolitik dunia pada abad 21 menempatkan faktor energi menjadi agenda utama kepentingan nasional bagi semua negara-negara maju yang tidak jauh berbeda seperti pada abad 20.
“Jika hal tersebut terus berlanjut akan tercipta instabilitas politik yang berimbas pada penurunan ketahanan bangsa.
Untuk itu, sudah saatnya Indonesia memperkuat energy security dan memperkuat purchasing power parity. Selain itu juga melaksanakan penjabaran penanganan bidang migas seperti yang tercamtum dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 secara tepat,” tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved