SEJARAH pembangunan tanggul dan reklamasi di Indonesia, khususnya di Jakarta mencerminkan dinamika politik, ekonomi, dan lingkungan yang terus berkembang. Pada era Ali Sadikin (1966-1977) proyek reklamasi mulai diperkenalkan untuk mengatasi banjir dan meningkatkan ruang urban.
Ali Sadikin melihat reklamasi sebagai solusi untuk memperluas wilayah kota yang semakin padat. Kemudian, pada era Sutiyoso (1997-2007), proyek tanggul dan reklamasi lebih difokuskan pada peningkatan infrastruktur perkotaan dan pengendalian banjir. Sutiyoso menginisiasi proyek Banjir Kanal Timur (BKT) yang menjadi salah satu tanggul besar di Jakarta.
Ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjabat (2014-2017), proyek tanggul raksasa atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) menjadi perhatian utama. Proyek ini dirancang untuk melindungi Jakarta dari ancaman banjir rob akibat kenaikan permukaan laut. Namun, proyek ini menuai kontroversi terkait dampak lingkungan dan sosial, termasuk kritik dari masyarakat pesisir. Namun saat ini Presiden Prabowo telah menyampaikan komitmennya untuk melanjutkan pembangunan Giant Sea Wall sebagai bagian dari proyek NCICD.
Struktur raksasa ini diharapkan tidak hanya mampu melindungi Jakarta dari banjir rob, tetapi juga menciptakan kawasan baru yang dapat digunakan untuk pembangunan ekonomi dan sosial.
Dengan pendekatan yang komprehensif, Giant Sea Wall menjadi simbol pembangunan Indonesia dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan.
Presiden Prabowo Subianto, menyebut bagian dari visinya untuk memajukan infrastruktur maritim, juga menyatakan komitmen untuk melanjutkan dan menyempurnakan pembangunan Giant Sea Wall. Ia menekankan pentingnya proyek ini sebagai upaya strategis untuk melindungi Jakarta dari ancaman lingkungan, sekaligus meningkatkan potensi ekonomi kawasan pesisir. Prabowo memandang Giant Sea Wall sebagai langkah maju dalam memperkuat ketahanan nasional di bidang kelautan.
Manfaat Tanggul untuk Mengatasi Abrasi
Tanggul laut memiliki peran vital dalam mengatasi abrasi yang disebabkan oleh gelombang laut.
Struktur ini melindungi garis pantai dari pengikisan, yang dapat mengancam infrastruktur, lahan pertanian, dan permukiman. Selain itu, tanggul juga membantu mencegah intrusi air laut ke daratan yang dapat merusak ekosistem dan sumber air bersih. Sebagai contoh, tanggul di Kepulauan Seribu tidak hanya mencegah abrasi, tetapi juga mendukung pengembangan destinasi wisata.
Namun, efektivitas tanggul sangat bergantung pada desain dan pemeliharaannya. Tanggul yang dirancang dengan pendekatan berbasis ekosistem, seperti penanaman mangrove di sekitarnya, cenderung lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan dibandingkan struktur beton konvensional.
Fakta Pagar Laut sejak 2014
Sejak 2014, konsep "pagar laut" mulai diterapkan sebagai alternatif tanggul di beberapa wilayah pesisir Indonesia. Belakangan viral menuai kontroversi, di Kabupaten Tangerang pagar bambu sepanjang 30 kilometer dibangun untuk meredam gelombang dan mencegah abrasi.
Meskipun efektivitas pagar laut ini masih menjadi perdebatan, termasuk ramainya kritik yang menyebut bahwa pagar bambu tidak cukup efektif sebagai pemecah gelombang dibandingkan solusi alami seperti penanaman mangrove.
Sebagaimana diketahui, beredar dokumentasi eks bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar yang melakukan kunjungan kerja ke Pantai Utara (Pantura) bersama para wartawan, tampak dalam dokumentasi tersebut sudah terlihat pagar berasal dari bambu yang tertancap disepanjang lautan membelakangi Zaki.
Tawaran Solusi bagi Masyarakat dan Pemerintah
Pembangunan reklamasi dan tanggul seharusnya tidak hanya dipandang sebagai upaya pengendalian abrasi, tetapi juga sebagai bagian dari strategi pembangunan nasional. Reklamasi dapat membuka peluang kerja baru, menghidupkan potensi ekonomi di kawasan pesisir, dan meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional. Khususnya bagi negara tetangga, Singapore maupun Malaysia. Jangan sampai kekhawatiran ini terbukti, bahwa ramainya isu “Pagar Laut” dimanfaatkan oleh negara luar yang tidak senang dengan kemajuan Indonesia dikancah Global. Sehingga terjadi pro-kontra yang berkepanjangan dari Tangerang Utara tersebut.
Lalu yang tak kalah penting, pemerintah harus memastikan bahwa setiap proyek reklamasi dan tanggul dirancang dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial. Partisipasi aktif masyarakat lokal perlu menjadi prioritas dalam proses perencanaan dan implementasi proyek. Di sisi lain, masyarakat harus mendukung langkah-langkah yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup mereka, seperti pengelolaan sumber daya pesisir yang lebih baik.
Dengan sinergi antara pemerintah dan masyarakat, reklamasi dapat menjadi alat yang efektif untuk mengatasi tantangan pesisir, menciptakan peluang ekonomi, dan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara maritim terkemuka di dunia.
*Penulis adalah Koordinator Perhimpunan Marhaen Nusantara
© Copyright 2025, All Rights Reserved