"KETAHANAN pangan bukan hanya tentang ketersediaan makanan, tetapi tentang kedaulatan, stabilitas, dan masa depan suatu bangsa".
Kalimat di atas menjadi sangat relevan, tatkala kondisi global terdesak oleh krisis yang melanda dunia saat ini. Perubahan iklim yang semakin ekstrem telah mengganggu produksi pangan di banyak negara. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2021, frekuensi kejadian cuaca ekstrem meningkat secara signifikan, yang berdampak pada produksi pertanian. Misalnya, banjir di Asia Tenggara dan kekeringan di Afrika Sub-Sahara menyebabkan gagal panen dan penurunan produktivitas.
Data dari FAO (2022) menunjukkan bahwa produksi pangan global turun sekitar 2%-3% per tahun akibat perubahan iklim. Dengan dampak perubahan iklim yang semakin tidak jelas, membangun ketahanan pangan menjadi prioritas untuk memastikan ketersediaan kebutuhan makanan bagi penduduk Indonesia.
Selain krisis iklim, problematika lainnya yang perlu jadi analisa kritis yakni konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina juga memperburuk situasi ketahanan pangan global. Rusia dan Ukraina adalah produsen utama gandum, menyumbang sekitar 25 persen dari ekspor gandum global. Konflik yang terjadi menyebabkan gangguan signifikan pada rantai pasok, dengan harga gandum global meningkat lebih dari 30 persen sejak perang dimulai pada tahun 2022.
Menurut laporan Bank Dunia (2023), kenaikan harga pangan ini berdampak pada stabilitas ekonomi dan ketahanan pangan di berbagai negara berkembang yang bergantung pada impor dari kawasan ini. Pembatasan ekspor dan gangguan distribusi menyebabkan kenaikan harga pangan di pasar global, yang pada gilirannya mempengaruhi stabilitas pangan di banyak negara, termasuk Indonesia.
Krisis di Timur Tengah juga turut memperburuk situasi ketahanan pangan. Konflik berkepanjangan di kawasan ini mengakibatkan banyak lahan pertanian yang tidak bisa diolah dan menyebabkan pengungsian massal. Negara-negara yang bergantung pada impor dari wilayah ini mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pangan domestiknya.
Menurut laporan UNHCR (2023), lebih dari 12 juta orang di Timur Tengah mengungsi akibat konflik, mengganggu produksi dan distribusi pangan. Ketidakstabilan politik dan keamanan di Timur Tengah menambah tekanan pada sistem pangan global yang sudah semakin rapuh.
Indonesia wajib merumuskan dan membuat langkah strategis yang harus segera dilakukan dalam menghadapi tantangan pembangunan ketahanan pangan nasional. Salah satu cara efektif untuk mencapai akselerasi problematika tersebut adalah dengan melibatkan peran militer dalam upaya ketahanan pangan nasional.
Militer memiliki sumber daya dan infrastruktur yang signifikan yang dapat digunakan untuk mendukung produksi dan distribusi pangan. Misalnya, di Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah terlibat dalam program cetak sawah baru untuk meningkatkan luas lahan pertanian.
Data dari Kementerian Pertanian Indonesia (Antara, 4/2024) menunjukkan bahwa program ini berhasil menambah sekitar 500 ribu hektare lahan pertanian baru, khususnya di wilayah Provinsi Papua Selatan.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman bersama jajaran Pemerintah Provinsi Papua Selatan telah mencetak sawah seluas 500 ribu hektare untuk meningkatkan produksi pertanian daerah tersebut dan Indonesia secara umum. Selain itu, Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (Wakasad) Letjen TNI Tandyo Budi (Antara, 5/2024) mengatakan, pihak TNI senantiasa membantu program Kementerian Pertanian mencetak sawah baru untuk mendukung kedaulatan dan swasembada pangan nasional, dengan mengolah rawa menjadi sawah seluas 13.486 hektare yang tersebar di Kabupaten Pinrang Sidrap, Wajo dan Bone.
Sehingga program cetak sawah ini diharapkan dapat berdampak positif dalam penguatan ketahanan pangan nasional, apalagi jika saja produktivitas per hektare dapat menghasilkan minimal 5 ton gabah padi per panen, maka akan menghasilkan 2,5 juta ton gabah padi per musim panen, dan jika saja setiap tahun dapat dua kali panen maka setahun berkontribusi 5 juta ton gabah. Bila saja program ini diperkuat dan diperluas jangkauannya, maka tidak mungkin Indonesia akan mendapatkan swasembada pangan seperti era tahun 80an lalu.
Di sisi lain, luas lautan di Indonesia mencapai sekitar 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 81.000 km yang merupakan garis pantai produktif terpanjang kedua di dunia. Memungkinkan laut sebagai aset nasional, memiliki banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Seperti sebagai jalur transportasi, sumber energi dan pertambangan, kawasan perdagangan, wilayah pertahanan keamanan, hingga sumber bahan makanan dan mata pencaharian bagi jutaan nelayan.
Maka, dalam rangka peningkatan ketahanan pangan nasional dari potensi kekayaan sumber daya lautan, TNI khususnya TNI AL dapat bersinergi erat dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam rangka pemberdayaan nelayan sebagai bentuk pembinaan teritorial (binter) menjaga kedaulatan wilayah maupun pemberdayaan kesejahteraan nelayan.
Selain itu, TNI AU dapat diberdayakan dengan melakukan binter kepada masyarakat pertanian yang tidak terjangkau matra lainnya, termasuk membantu distribusi hasil produksi pertanian di wilayah-wilayah kritis seperti wilayah pedalaman dan pulau-pulau terluar. Aktivitas tersebut tentunya sangat dapat dilakukan oleh masing-masing aparat teritorialnya tanpa mengurangi profesionalisme TNI sendiri.
Indonesia pun memiliki pengalaman berharga sebelumnya saat selama perang kemerdekaan yang telah terbukti, hal tersebut dibuktikan dengan kuatnya sinergi antara rakyat dan militer dalam menjaga suplai pangan di masa krisis. Salah satu contoh paling menonjol adalah peran Jenderal Sudirman dalam perang gerilya melawan penjajah Belanda.
Selama masa gerilya, Jenderal Sudirman dan pasukannya sering bergerak melalui hutan dan pedesaan, bergantung pada dukungan pangan dari rakyat. Rakyat di berbagai desa memberikan logistik dan makanan kepada para pejuang, memastikan agar tetap memiliki kekuatan untuk melanjutkan perjuangan.
Sistem lumbung pangan desa, yang dikelola secara gotong royong, menjadi tulang punggung ketahanan pangan selama masa darurat saat itu. Kolaborasi ini menunjukkan bahwa kerjasama yang erat antara berbagai elemen masyarakat dan militer dapat membangun ketahanan pangan yang tangguh, hingga akhirnya perjuangan tersebut terbukti sebagai bentuk bahwa Indonesia menunjukkan pada dunia internasional masih terus bergelora memerdekakan bangsa dan negerinya dari agresi Belanda.
Di sisi lain, program food estate nasional yang telah berjalan baik, perlu adanya evaluasi untuk mencapai langkah tujuan strategis dalam memperkuat ketahanan pangan. Food estate, yang merupakan proyek pertanian skala besar untuk meningkatkan produksi pangan, memerlukan perbaikan dan penyesuaian berdasarkan hasil evaluasi lapangan.
Setidaknya terdapat catatan kritis yang diperlukan yakni perlu adanya peningkatan infrastruktur irigasi, akses ke teknologi pertanian modern, dan dukungan logistik untuk memastikan hasil yang maksimal. Selain itu, partisipasi aktif petani lokal dan pemberdayaan masyarakat sekitar juga menjadi kunci keberhasilan program ini. Melalui perbaikan dan penyesuaian yang berkelanjutan, food estate dapat menjadi solusi strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional.
Menurut laporan World Food Programme (WFP) tahun 2023 menyoroti bahwa ketahanan pangan harus didukung oleh kebijakan yang kuat, infrastruktur yang memadai, dan kerjasama internasional untuk menghadapi tantangan global. Jika Indonesia gagal dalam membangun ketahanan pangan nasionalnya, konsekuensinya bisa sangat serius.
Ketidakmampuan untuk menyediakan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk dapat menyebabkan kelaparan, malnutrisi, dan meningkatnya angka kematian. Ketidakstabilan pangan juga dapat memicu kerusuhan sosial dan konflik, seperti yang telah terlihat di negara-negara lain. Lanjut, laporan WFP (2023), menunjukkan bahwa negara-negara yang mengalami krisis pangan seringkali menghadapi peningkatan kejahatan, kekerasan, dan migrasi massal.
Dalam konteks ekonomi, ketergantungan pada impor pangan membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga internasional dan kebijakan perdagangan global, yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Oleh karena itu, membangun ketahanan pangan yang kuat bukan hanya masalah kesejahteraan, tetapi juga merupakan isu strategis bagi keamanan dan stabilitas nasional.
Kesadaran akan pentingnya ketahanan pangan harus ditanamkan di setiap lapisan masyarakat. Partisipasi aktif dari petani, pemerintah, lembaga militer, dan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem pangan yang tangguh dan berkelanjutan.
Berbagai pendekatan dan langkah yang tepat, Indonesia dapat mengatasi tantangan krisis global dan memastikan ketersediaan pangan bagi seluruh rakyatnya, sekaligus memperkuat kemandirian pangan nasional. Misalnya, program edukasi bagi petani tentang praktik pertanian berkelanjutan dan diversifikasi pangan lokal dapat berperan penting dalam memperkuat ketahanan pangan. Dengan komitmen bersama, Indonesia dapat membangun sistem pangan yang lebih tangguh dan siap menghadapi tantangan global.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif Human Studies Institute, Anggota Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan (PPWK) Provinsi DKJ dan Pakar Geografi Manusia Universitas IsIam 45 (Unisma)
© Copyright 2024, All Rights Reserved