KEMENANGAN Prabowo Subianto pada Pilpres 2024 setidaknya memberikan dua catatan dalam perspektif politik dan ekonomi. Pertama, membuka jalan bagi terbentuknya koalisi permanen partai-partai politik yang memiliki komitmen kuat mewujudkan Visi Indonesia Emas 2045.
Memang, jalan yang biasa ditempuh partai politik adalah membentuk pemerintahan demokratis yang konsolidasional, mengingat dalam sejarah politik Indonesia hampir tidak pernah ada lagi partai politik sebelum dan sesudah Orde Baru yang mampu memenangkan pemilihan umum sampai 50 persen.
Maka, koalisi permanen antara Partai Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat dan lain-lain pendukung Pemerintahan Prabowo-Gibran nanti adalah pilihan terbaik untuk menjaga stabilitas politik negara kita di alam demokrasi.
Kedua, kemenangan Prabowo menjadi jalan bagi terwujudnya pemikiran ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang tidak hanya ayah kandung Prabowo tetapi juga guru besar dan begawan ekonomi peletak dasar kebijakan industrialisasi Indonesia pasca kolonialisme, agar tidak bergantung pada komoditas.
Industrialisasi, menurut Soemitro dan murid-murid ideologisnya, adalah jalan agar masyarakat yang baru merdeka dan mengandalkan pertanian subsisten (hanya untuk memenuhi kebutuhan harian) dapat keluar dari jebakan komoditas yang harganya fluktuatif.
Pemikiran ekonomi Soemitro atau Soemitronomics, pada dasarnya adalah kebijakan industrialisasi sangat erat kaitannya dengan konsep Welfare State atau negara kesejahteraan di mana pemerintah menyusun kebijakan dan program yang menjadi kebutuhan dasar warga negara seperti pendidikan, kesehatan dan pekerjaan.
Pengusaha swasta nasional dilibatkan secara masif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, tetapi negara terlibat untuk menjamin perekonomian berjalan secara demokratis, mampu diakses secara adil oleh seluruh pelaku usaha baik berskala besar maupun koperasi dan UMKM.
Maka transisi pemerintahan dari Presiden Jokowi kepada Presiden Prabowo memerlukan kader-kader terbaik bangsa yang akan mengimplementasikan Soemitronomics menjadi jalan mewujudkan pembangunan berkeadilan sosial, sesuai dengan sila kelima dasar negara kita.
Kita sudah melihat bagaimana Prabowo menyuarakan pentingnya program makan bergizi gratis (MBG) untuk meningkatkan kesehatan anak usia sekolah, Balita dan ibu hamil, dan cita-citanya agar perguruan tinggi dapat diakses seluruh warga negara, kalau perlu sampai gratis.
Pergantian Pejabat Kementerian dan BUMN
Diangkatnya dua kader muda dari partai yang dipimpin Prabowo sebagai wakil menteri perlu dilihat dari perspektif upaya mewujudkan kebijakan Soemitronomics untuk mewujudkan negara kesejahteraan. Bahkan putra-putri terbaik bangsa lainnya tanpa memandang usia dan latar belakang termasuk dari partai politik, perlu segera dijadikan pejabat negara lainnya hingga direktur dan komisaris perusahaan negara. Kader partai dan kalangan profesional yang akan diangkat Prabowo, sebaiknya memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan negara kesejahteraan dengan konsep Soemitronomics.
Namun, sayangnya beberapa orang memanfaatkan situasi transisional tersebut untuk mengganti beberapa sosok yang justru memiliki komitmen ideologis dan kesamaan pikiran dengan Prabowo dan Soemitronomics, dari jabatan komisaris dan direktur beberapa BUMN.
Pejabat yang menggantikan mereka memang dari kalangan profesional, tetapi rekam jejak dan komitmennya untuk mewujudkan perusahaan negara berkontribusi pada peningkatan pendapatan negara untuk membiayai program-program kesejahteraan tentu saja layak dipertanyakan.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kaum profesional yang berpolitik umumnya menargetkan kursi Menteri Negara BUMN dengan tujuan memasukkan kroni-kroni mereka untuk menjadi komisaris dan direktur BUMN.
Dalam pengamatan politik, setidaknya ada tiga tokoh yang memperebutkan jabatan kursi Menteri BUMN dalam Pemerintahan Prabowo-Gibran: pertama adalah Erick Thohir sebagai menteri petahana; kedua adalah Rosan Roeslani yang kemarin menjadi Ketua Umum Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran; ketiga adalah Sakti Wahyu Trenggono, Menteri Kelautan dan Perikanan yang pernah menjadi wakil Prabowo saat menjabat Menteri Pertahanan.
Maka, pergantian pejabat komisaris dan direktur BUMN hari ini sangat sulit dilihat dalam kerangka ideologis upaya mewujudkan pemikiran ekonomi Soemitro, tokoh yang hampir menjadi Ketua Partai Sosialis Indonesia mengalahkan Sutan Sjahrir dalam Kongres tahun 1952.
Pergantian pejabat yang memang tidak banyak muncul di media hanyalah upaya menguatkan kapitalisme kroni salah satu kubu saja. Sudah menjadi rahasia umum juga, bahwa salah satu adik kandung menteri menggunakan lantai 19 di sebuah kantor kementerian untuk mengumpulkan pengusaha-pengusaha, tanpa bisa dinilai oleh masyarakat apakah untuk kepentingan jangka pendek atau kepentingan pembangunan jangka panjang.
Dari Konsolidasi Elit Menjadi Konsolidasi Demokrasi
Dalam transisi politik pemerintahan, konsolidasi elit yang menjadi pemenang pemilihan umum adalah hal yang lumrah karena demokrasi mensyaratkan adanya pergantian pejabat pemerintahan, pemantapan program yang sudah berjalan baik dan evaluasi program yang belum atau bahkan gagal dijalankan.
Tentu saja, konsolidasi elit yang dijalankan jangan sampai menyebabkan jalannya pemerintahan menjadi tidak kondusif dan malah menyebabkan tertunda atau malah gagalnya program kementerian atau perusahaan negara yang justru bermanfaat untuk negara terutama rakyat sebagai warga. Kalau pergantian jabatan tersebut hanya untuk memasukkan kroni atau sosok yang profesional tanpa ideologi jelas, justru kedepannya program pemerintahan Prabowo menjadi sulit dijalankan.
Konsolidasi elit yang sedang berjalan perlu diwujudkan dengan itikad konsolidasi atau pematangan demokrasi. Aktor-aktor yang terlibat dalam pemerintahan baru ini tidak hanya memihak Prabowo semata, tetapi memiliki komitmen kuat untuk mempertahankan demokrasi mengimplementasikan pemikiran ekonomi Soemitronomics, guru kadernya Prabowo.
*Sekjen Relawan Muda Prabowo Gibran (RMPG)
© Copyright 2024, All Rights Reserved