KEHORMATAN marwah institusi lembaga pendidikan tinggi di manapun sepanjang zaman harus dijaga dan diupayakan terhindar ternodai.
Sebab secara akademis sekolah tinggi adalah sebagai tolok ukur garda terdepan untuk mencetak para cendekia anak bangsa setingkat tenaga ahli yang akan mengukir kebudayaan menjadi peradaban sesuai penguasaan bidang ilmunya.
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) adalah sebagai lembaga pendidikan tinggi di bidang pelayaran niaga diarahkan untuk menghasilkan lulusan yang profesional dan andal di bidang pelayaran, yang memenuhi standar hingga internasional serta mampu bersaing dalam pasar global. Oleh karena itu, kepada peserta didik dibekali kemampuan tingkat terampil, keahlian, dan disiplin sesuai dengan standar nasional dan internasional.
Menyadari betapa besar amanat moral etika yang diemban dalam melaksanakan Pendidikan tinggi, sebagai acuan maka disusun Statuta STIP yang mengacu kepada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Pendidikan tinggi. UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi telah menetapkan demikian.
Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran adalah pendidikan pelayaran yang berada di bawah naungan Badan Diklat Perhubungan Republik Indonesia. Berdiri sejak tahun 1953 Akademi Ilmu Pelayaran dan pada tanggal 27 Februari 1957 AIP diresmikan oleh Presiden Pertama RI Ir. Soekarno. Saat itu juga menjadi Akademi Pelayaran Pertama di Indonesia, dimana peradaban bidang ilmu maritim niaga bermula dalam tatanan tingkat pendidikan tinggi. Lokasi kampus berada di Jl. Gunung Sahari, Mangga Dua Ancol, Jakarta Utara.
Pada tahun 1962 AIP menyelenggarakan kerjasama dengan Akademi Pelayaran Amerika yaitu Kings Point untuk kelas khusus. Sejak didirikan, AIP telah memiliki reputasi yang baik sebagai Pusat pendidikan Pelayaran sehingga pada tahun 1974 sampai dengan 1984 AIP berhasil menyelenggarakan pertukaran pelajar dengan Tanzania, Malaysia dan Bangladesh hingga terakhir pada tahun 1985.
Dengan kata lain bahwa peradaban sistem pendidikan ilmu pelayaran niaga sudah diakui dunia Internasional. Tidak akan negara-negara lain menitipkan anak bangsanya untuk dididik di Indonesia bila memahami bahwa institusi yang dituju tidak memiliki mutu di atas rata-rata.
Demikianlah kedigdayaan peradaban pendidikan tinggi kader-kader calon Perwira Pelayaran Niaga sempat memuncak di dunia internasional. Salah satu yang mendukung terbentuknya mutu hasil didikan dengan moral integritas selama kedigdayaan itu terjaga adalah, para taruna-taruna dididik oleh instruktur-instruktur militer dari kesatuan Marinir yang terkenal memiliki loyalitas dan integritas dalam tugas abdi negara.
Dari era AIP/PLAP disebut pendidikan semi-militer dengan doktrin sangat memiliki karakter disiplin matra laut yang siap bertugas diatas kapal. Entah sejak kapan kebijakan tidak dilibatkannya instruktur-instruktur Marinir di kampus STIP, sehingga kampus itu tidak bisa lagi disebut sebagai Pendidikan semi-militer.
Kedigdayaan bahtera AIP/PLAP/STIP sebagai candra dimuka peradaban Pendidikan bahari demikian sekarang sudah karam tergerus di taraf Internasional maupun taraf nasional, sebaliknya bukan berubah berkembang baik positif justru semakin terpuruk memburuk.
Warisan sang proklamator sejak 1957 akan kedigdayaan tatanan warisan peradaban pendidikan Perwira Pelayaran Niaga di negeri bahari ini justru dalam statistik titik balik nadir mutu terendah, karena dinodai oleh tangan sang nakhoda yang tidak paham arah haluan tuntutan pendidikan tinggi maritim Niaga. Rekam jejak demikian, karena terjadi berulang insiden-insiden fatality (korban nyawa) dari taruna-taruna anak didik secara beruntun, antara lain:
1. Agung Bastian Gultom dan Jegos (2 korban tahun 2008)
2. Dimas Dikita Handoko (korban tahun 2014).
3. Amirulloh Adityas Putra (korban tahun 2017).
4. Putu Satria Ananta (korban tahun 2024)
Dikatakan “korban”, tidak sesederhana yang diberitakan banyak media bahwa korban adalah hanya sebatas korban pemukulan akibat dari ada pemukul dan yang dipukul. Coba kita amati secara seksama ilustrasi aliran air sungai. Sungai mengalir dari hulu dengan air jernih mengarah ke hilir. Bila terjadi di hilir ternyata warna airnya keruh berpolutan, hanya ada 2 sumber polutan kemungkinan penyebabnya:
Pertama, alam yang kategorinya adalah ulah siklus alam (force majeure/act of God). Dan kedua, manusia perekayasa yang pongah merasa tahu semua (human error/act of human being).
Bak alur sungai dengan alur proses Pendidikan, ada hulu sebagai pengkonsep (warna) kebijakan dan hilir sbg pelaksana (warna) kebijakan. Namun perbedaannya dalam alur proses Pendidikan SDM bila ada deviasi di hilir, hanya ada 1 kausal polutan: manusia.
Bila di hilir terjadi bencana Pendidikan hingga ada korban nyawa anak manusia, maka harus ditelusuri secara arus alur balik ke hulu secara seksama dimana itu letak polutan-polutan yang perlu ditangani secara serius (sistem & strategi SDM) sehingga tidak berpotensi lagi menghasilkan manusia di hilir berperilaku pidana dari sistem pendidikan yang telah disepakati Kemenhub.
Investigasi dan evaluasi terhadap rentetan penyebab polutan akibat human error policy makers berakibat rantai mis-management system education inilah yang harus dengan nyali kejujuran dilakukan oleh negara, dipimpin oleh seorang pemimpin yang waras.
Jangan dibiarkan penggiringan dan pembenaran tetap terjadi, bahwa sang nakhoda diatas bahtera yang tidak kompeten membuat rekayasa laporan dengan otoritasnya dan menjadi konsumsi publik (bisa diduga abused power oleh si pembuat kebijakan), menyatakan bahwa Mualim-1 sebagai bawahannya diatas kapal gak becus kerja. Manajemen (dalam hal ini publik) percaya saja akan tulisan rekayasa laporan yang menempatkan Nakhoda seolah jadi pahlawan, si Mualim-1 yang bawahan jadi kambing hitam dipecat dan seolah masalahnya selesai
Apakah masalahnya selesai? Tidak, karena bahaya-bahaya tersembunyi dan terselubung tetap ada dan mengancam, karena justru tangan-tangan pemangku kebijakan yang merupakan akar sumber permasalahan di hulu itu belum tersentuh.
Semua kegiatan di atas bumi, selalu harus berlandaskan azas hukum, dan tak luput kegiatan pendidikan. Ada istilah: “Ignorantia iuris nocet", dimana arti sederhananya abai dan ketidaktahuan pada hukum akan mencelakakan. Sebuah pepatah bahasa Latin yang lazim terdengar pada ruang persidangan. Dari maknanya terasa pula cocok mengawali adanya dugaan akan sikap sembrono dari rantai pengelola sistem pendidikan kampus untuk memahami dan taat statuta pendidikan tinggi.
Sebatas pertimbangan-pertimbangan diatas, maka secara ringkas dapat ditarik kesimpulan dan sumbang saran dari para praktisi Perwira Pelayaran Niaga sebagaimana diuraikan di bawah.
Kesimpulan dan Pernyataan Sikap
Kami lintas alumni yang tergabung dalam organisasi profesi tenaga ahli Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI) dan komunitas Pelaut Niaga mewakili serikat pekerja Perkumpulan Pekerja Pelaut Indonesia (P3I) sangat berharap agar negara hadir secara serius untuk menertibkan hingga akar sumber masalah oknum pejabat tidak berkompeten yang masih berkeliaran sampai saat ini tanpa tanggung jawab moral pendidikan tingkat tinggi yang menyimpang dari statuta STIP, dengan dampak yang bisa terjadi mengancam kehormatan Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran sebagai candradimuka pencetak Human Element standar IMO secara umum.
Saran
Pertama, perlunya sesegera mungkin evaluasi holistic dan komprehensif terhadap jajaran KEMENHUB cq BPSDMP terkait pejabat-pejabat tinggi yang tidak kompeten linier dalam bidang pendidikan tinggi pelayaran niaga untuk membuat kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak tepat sasaran, dengan dampak beruntun mengancam terjaminnya keselamatan pelayaran niaga skala nasional dan Internasional dari human element yang dihasilkan.
Kedua, Sense of belonging terhadap marwah kampus akan lebih kental bila bahtera STIP dinakhodai figur lulusan kampus itu sendiri. Maka seleksi lulusan terbaik dengan rekam jejak integritas yang teruji untuk menakhoai kampus STIP.
Ketiga, berikan pemahaman isi statuta STIP sejak dini kepada para taruna didik, dimana mereka adalah bagian dari civitas akademik yang tidak bisa dipisahkan.
Keempat, terapkan kode etik profesi Perwira Pelayaran Niaga sejak dini di kampus-kampus sekolah tinggi pelayaran. Adalah sesuatu yang absurd, mencetak tenaga ahli dalam bidang ilmu tertentu tanpa membekali kode etik profesi.
Kelima, jangan lagi menempatkan SDM yang berlatar belakang ilmu yang tidak jelas dan tidak kompeten untuk membuat kebijakan dalam sistem pendidikan tinggi pelayaran niaga. Maslahat Pendidikan adalah bukan ruang trial and error.
Keenam, kembalikan instruktur-instruktur pendamping dalam kampus sesuai kepentingan pembentukan karakter matra transportasi laut.
Hal demikian adalah penting, agar wibawa penyelenggara negara terjaga dan kepercayaan moralitas masyarakat juga tetap melekat dalam proses pendidikan tinggi Perwira Pelayaran Niaga nasional berskala kelulusan Internasional.
*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNI)
© Copyright 2024, All Rights Reserved