BEBERAPA hari ini, saya mendapat cercaan dan hujatan bertubi tubi dari banyak teman teman pejuang tambang yang selama ini telah sejak lama berdedikasi dan berjuang untuk melawan perusahaan tambang yang bejat, yang sudah merusak lingkungan, menyingkirkan masyarakat setempat, merusak perikatan sosial masyarakat, menumpuk kekayaan besar bagi elite pemilik tambang yang selama ini berkongkalikong dengan para elit politik penguasa, merusak masa depan bangsa dan negara. Pasalnya karena satu hal, pernyataan saya sebagaimana dimuat di media berikut ini: https://rmol.id/amp/2024/07/26/630060/pakar-endus-penolak-izin-tambang-ke-ormas-keagamaan-antek-konglomerat.
Dalam pernyataan tersebut, saya memang mengafirmasi penerimaan pemberian izin tambang oleh NU dan Muhammadiyah. Lalu masih dalam pernyataan tersebut, dinterpretasikan juga sekaligus sebagai membuat inusiasi (tuduhan) kepada teman, kolega pejuang pejuang anti tambang bejat tersebut sebagai antek konglomerat dan asing.
Padahal maksudnya adalah, saya hanya memberikan pandangan “semoga” mereka yang menolak izin tambang ke Ormas Keagamaan dan terutama ke NU dan Muhammadiyah itu bukan antek asing mengingat selama ini perusahaan tambang dan Perkebunan monokultur sawit selama itu selalu menggunakan kelicikanya untuk menyiasati opini yang berkembang agar menjadi eskalatif dan kemudian dijadikan sebagai alat untuk melakukan justifikasi kebijakan. Saya berasumsi, dengan ditolaknya pemberian izin tambang kepada Ormas Keagamaan, maka pemerintah seakan telah memiliki semacam argumentasi bahwa kesempatan kepada masyarakat telah diberikan, namun ditolak. Sehingga dapat menjadi bahan legitimasi untuk melenggangkan sistem tambang basis korporat kapitalis melakukan eksploitasi.
Namun apapun itu, saya menyadari, interpretasi pernyataan saya tersebut telah mengundang kontroversi dan untuk itu saya meminta maaf yang sebesar besarnya kepada teman-teman. Inti pemikiran saya adalah jangan hanya menolak izin tambang ke NU dan Muhammadiyah atau komunitas keagamaan lainnya, tapi mari kita tolak izin tambang ke korporat kapitalis dan perjuangkan pengelolaan tambang secara demokratik. Saya sama sekali tidak memiliki tendensi untuk melawan perjuangan secara militan dari teman teman yang telah melawan tambang korporasi brengsek selama ini, berjuang melawan kebiadaban usaha usaha tambang kapitalis.
Secara konseptual, dalam pertimbangan saya, organisasi NU dan Muhammadiyah adalah organisasi yang memiliki basis kekuatan moral keagamaan, juga memiliki mekanisme kontrol demokratik yang relatif lebih baik ketimbang perusahaan korporasi kapitalis yang kontrolnya hanya ada di tangan pemilik modalnya yang orientasinya hanya mengejar keuntungan dan keuntungan. NU dan Muhammadiyah adalah organisasi besar dan juga telah menunjukkan karya besar dalam turut mendirikan republik ini dan juga telah sejak lama kembangkan basis aktivitas sosial dan ekonomi di masyarakat secara luas.
Peran besar kedua Ormas ini tentu menjadi kekuatan penting untuk dapat melakukan proses transformasi dalam soal tata Kelola tambang dan juga bisnis yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana kedepan. Jika perusahaan tambang hanya dikuasai oleh satu model korporasi kapitalis maka kekuatan masyarakat akan terus semakin melemah mengingat kekuatan para pemilik korporat kapitalis itu menjadi semakin kuat kangkangi negara dan rakyat.
Secara terbuka memang saya mendukung penerimaan izin tambang oleh NU dan Muhammadiyah. Alasannya, karena selama ini, izin tambang itu secara basis kebijakan hanya diberikan kepada elite kaya (pengusaha) kaya yang kuasai izin tambang dimana mana. Mereka adalah segelintir elit kaya di republik ini dan juga pemilik perusahaan asing basis korporat kapitalis.
Saya berharap, dengan adanya pemberian izin Kelola tambang ke masyarakat, dimana saat ini baru terbatas kepada organisasi masyarakat (Ormas) keagamaan, nanti akan terus meluas ke seluruh masyarakat. Saya berharap satu saat justru seluruh izin tambang itu diberikan hanya kepada komunitas masyarakat baik melalui mekanisme pemberian izin tambang langsung ke badan badan hukum Ormas ataupun melalui mekanisme inbreng (penyerahan) badan hukum dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang selama ini sesungguhnya adalah milik rakyat dan bukan milik Pemerintah.
Sebagaimana kita ketahui, izin tambang yang diberikan kepada korporat kapitalis itu selama ini motifnya hanya satu : mengejar keuntungan (profit oriented) dan menumpuk kekayaan dan ini juga yang telah menyebabkan terjadinya akumulasi kekayaan dan monopoli bisnis pada segelintir elit kaya dan elit politik. Bahkan secara de facto, mereka telah meluas menguasai dunia perpolitikkan kita.
Mereka, para pengusaha tambang dan perusahaan monokultur seperti Sawit misalnya, secara terang benderang telah ciptakan “klik” politik untuk mengatur kebijakan pemerintah dan bahkan hingga memiliki kemampuan untuk mengintervensi ke tingkat regulasi seperti misalnya Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan lain lain yang syarat kepentingan kongkalikong tersebut.
Perilaku eksploitatif dari sistem tambang basis korporat kapitalis seperti itu tentu tidak terlepas dari bentuk, serta motif dan tujuannya. Kita tahu bahwa pilihan bentuk entitas dari subyek badan hukum dari tambang basis korporat itu memang hanya satu tujuannya, adalah untuk mengejar keuntungan (profit motive). Dalam model perusahaan berbasis korporat kapitalis, dimana modal adalah sebagai basis penentu satu satunya dari keputusan dan kepemilikan perusahaan itu maka mereka menjadi abai terhadap persoalan kerusakan lingkungan yang terjadi, mereka abai terhadap persoalan kemanusian yang ditimbulkan, mereka bahkan abai terhadap persoalan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya, dan bahkan selalu berusaha untuk menyingkirkanya.
Kasus konflik di daerah tambang selama ini selalu membuat pilu dan menyayat hati. Sebut saja kasus di Wadas, Jawa Tengah, gugurnya Erfaldi, suhada pejuang penolakan tambang emas di Parigi, Sulawesi Tengah, penolakan tambang semen Kendeng, Jawa Tengah, kasus tambang emas di Sangihe, Sulawesi Utara, dan sebagainya. Pulau Sangihe masuk dalam gugusan pulau kecil. Pulau itu, menurut peraturan perundang-undangan, tidak boleh ditambang. Namun, pemerintah pusat memberi izin perusahaan tambang untuk mengeksploitasinya. Penolakan masyarakat setempat yang sangat masif terhadap korporasi PT TMS ternyata tetap tak membuat perusahaan menyurutkan usaha.
Potensi Konflik
Konflik di daerah tambang terus berulang. Seperti fenomena gunung es, konflik tersebut menyisakan masalah kemanusiaan serius berupa nyawa yang melayang sia-sia, trauma mendalam atas kekerasan yang terjadi, serta perpecahan perikatan sosial masyarakat akibat adu domba perusahaan tambang. Di balik berbagai peristiwa kejahatan kemanusiaan tak terperi itu, kita menyaksikan secara kolosal di depan mata bagaimana negara takluk di depan kuasa korporasi kapitalis. Datang dan masuknya perusahaan tambang di sejumlah daerah bukan menjadi berkah, namun justru petaka bagi masyarakat setempat.
Dalam kasus yang terjadi, perusahaan tambang itu bagaikan sebuah jaringan “mafioso” yang leluasa mengangkangi hukum di republik ini. Kasus Kendeng adalah salah satu contoh buruk dalam soal penegakan hukum. Petani sedulur sikep di Kendeng sudah memenangkan gugatan di pengadilan, namun perusahaan tetap beroperasi. Padahal, putusan pengadilan sudah final (inkracht). Tak hanya masalah kemanusiaan, perusahaan tambang itu juga telah merusak lingkungan. Bahkan, bekas tambang yang dibiarkan menganga lebar tanpa reklamasi banyak merenggut nyawa anak-anak di berbagai tempat.
Modus operandi perusahaan tambang untuk masuk ke wilayah tertentu selalu menggunakan cara “mengadu domba.” Sebagian warga justru menolak dibenturkan dengan warga yang mau menerima sejumlah kompensasi maupun janji tertentu, seperti peluang pekerjaan di perusahaan tambang. Dengan dalih telah memperoleh izin pemerintah, perusahaan tambang biasanya segera “meminta” aparat keamanan untuk mengamankan kegiatan operasi. Mereka merangsek masuk dan menggilas warga yang menolak kehadiran perusahaan tambang. Aparat keamanan menjaga ketat investasi dan areal pertambangan mereka karena dianggap sebagai salah satu instalasi penting negara.
Berbagai riset menunjukkan, masyarakat setempat di daerah pertambangan biasanya bernasib lebih buruk daripada sebelumnya, baik dari sisi kualitas hidup maupun lingkungan. Perusahaan tambang tidak memberikan keuntungan jangka panjang bagi masyarakat setempat kecuali kenikmatan sesaat tatkala warga setempat diberi uang ganti rugi. Orientasi utama perusahaan tambang basis korporat kapitalis di manapun adalah mengejar keuntungan bagi segelintir pemilik perusahaan semata. Bahkan, para pemilik saham perusahaan mungkin sama sekali tak pernah menginjakkan kaki di daerah tambang tersebut.
Tawaran pemerintah agar usaha tambang dapat dimiliki oleh Ormas penting, tapi bukan hanya Ormas keagamaan saja. Sebab jika demikian maka secara Konstitusional justru hal tersebut menjadi diskriminatif terhadap kelompok Ormas lainnya dan secara tidak langsung justru bertendensi politis yang merusak kepentingan bersama ( bonum commune). Soal pentingnya inklusi sosial ini dapat kita gunakan rujukan dari Ensiklik Fratelli Tutti yang ditulis Paus Fransiskus pada tahun 2020 “ Setiap manusia adalah berharga, setiap manusia memiliki martabat yang tak terbantahkan. Kita semua bersaudara, kita semua bagian dari keluarga manusia.
Tidak ada satupun dari kita yang bisa tersingkirkan, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Setiap orang memiliki hak untuk hidup dalam kondisi yang layak, dengan akses Pendidikan, Kesehatan, pekerjaan, dan kebebasan. Inklusi sosial bukan hanya pilihan, tetapi kewajiban moral kita (Fratelli Tutti, Bab 3 No. 106-107).
Keterlibatan masyarakat yang dipandang setara ini juga penting karena hakikatnya sumber daya alam yang ada itu dikuasai negara untuk sebesar besar kemakmuran rakyat bukan untuk kepentingan konglomerat ataupun agamawan. Menurut pandangan saya, sebuah keterlibatan bisnis tambang oleh masyarakat secara langsung dan luas adalah menjadi bagian dari perbaikan tata kelola tambang. Tak hanya itu, syarat tata kelolanya juga harus demokratis dan jamin setiap orang memiliki hak suara sama dalam menentukan keputusan perusahaan.
Keterlibatan NU dan Muhammadiyah dalam masa awal ini sangat penting, walaupun akan mengandung dua resiko, lembaga dan moral pemimpinnya menjadi semakin rusak atau justru sebaliknya, menjadi motor penggerak bagi munculnya tambang tambang basis masyarakat yang dikelola secara demokratis. Hukumnya jelas, apa yang tak kamu miliki itu tak dapat kamu kendalikan.
Bisnis tambang di Indonesia adalah bisnis yang menggiurkan. Tambang minyak, batubara, nikel, timah, tembaga, mangan, hingga batu andesit dan pasir adalah bisnis yang selama ini menopang kekayaan para elit kaya yang ber-patron klien dengan politisi. Untuk itulah bahasan konstelasi rumit soal ideologi politik tambang ini penting, tapi dalam konteks praxisnya juga harus dilakukan. Bagaimana menjawab soal imanen, soal keseharian manusia yang tidak bisa lepas dari ketergantungan barang tambang dan sekaligus kerangka moral etisnya.
Peringatannya, tokoh-tokoh agama dan perwakilan ormas keagamaan saya harap dapat berperan secara formal untuk kendalikan secara demokratik kerusakan moral dalam proses pengambilan kebijakan dan juga praktik bisnis dan saya yakin tokoh dan juga kelembagaan dari NU dan Muhammadiyah memiliki kapasitas besar untuk ini.
NU dan Muhammadiyah adalah organisasi yang telah lama menancapkan reputasinya bagi kepentingan kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional dan bukan hanya sebagai lembaga atau organisasi keagamaan yang sibuk berkhotbah di atas altar suci. NU dan Muhammadiyah juga telah terbukti memiliki peranan besar dalam membangkitkan aktivitas sosial ekonomi masyarakat.
(Bersambung….)
*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses), Penulis Buku "Koperasi Lawan Tanding Kapitalisme".
© Copyright 2024, All Rights Reserved