Tiga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menyikapi hasil persidangan kasus korupsi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Selasa (04/09) lalu. Ketiga LSM itu adalah Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Budget Center (IBC) dan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK). Pernyataan sikap tersebut disampaikan di Kantor ICW, Jakarta, Senin (10/09).
Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan PSHK, Ronald Rofiandri mengatakan dalam persidangan dengan terdakwa mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Wa Ode Nurhayati itu berawal dari keterangan saksi yang dihadirkan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu Direktur Dana Perimbangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Pramudjo Pratoposuhardjo.
Saksi tersebut menyatakan bahwa pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyepakati kualifikasi dan kriteria daerah penerima DPID. "Kemudian, kesepakatan tersebut diingkari oleh Banggar dan terindikasi telah menyalahi kuasa fungsi anggaran DPR," katanya kepada politikindonesia.com.
Ronald menyebut, secara jelas sebagian kronologi yang disampaikan oleh saksi tersebut menggambarkan langkah Banggar mengeluarkan versi sendiri mengenai daftar daerah penerima DPID. Versi yang dikeluarkan Banggar tidak mengacu pada kesepakatan sebelumnya antara pemerintah dan DPR.
"Seharusnya ada 32 daerah yang menerima DPID, tapi dikeluaran dari daftar yang dibuat Banggar. Padahal 32 daerah tersebut dinilai memiliki kualifikasi dan kriteria yang layak," ujar Ronald.
Masih mengutip saksi tersebut, Ronald mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Keuangan sempat mengirimkan surat protes untuk mempertanyakan langkah Banggar. Namun protes pemerintah tersebut tidak mendapatkan respon serta penjelasan yang intensif dan memadai.
"Dalam sidang kemarin itu, saksi menyatakan bahwa surat protes dijawab dengan sebuah paparan situasi kalau daftar penerima DPID sudah final dan tidak bisa diubah lagi. Akhirnya, daftar yang dibuat Banggar yang ditetapkan menjadi lampiran APBN 2011," ujarnya.
Ronald memaparkan, ada 2 motif yang bisa dikedepankan ketika berhadapan dengan kasus DPID, yaitu penegak hukum dan pembenahan subtansial terhadap kewenangan Banggar. "Kami harap, kasus DPID bisa dijadikan pengembangan penyidikan dan sebagai pintu masuk pengusutan kasus sejenis, terutama kasus yang ada kaitannya denga temuan PPATK terhadap sejumlah rekening yang tidak wajar milik anggota Banggar," ucapnya.
Dalam kesempatan itu, pihaknya bersama 2 LSM lainnya menuntut Badan Kehormatan (BK) untuk segera memanggil pimpinan Banggar dan meminta klarifikasi terkait apa yang disampaikan oleh saksi dari Kementerian Keuangan dalam sidang tersebut. Pemanggilan pimpinan Banggar itu untuk penyampaikan klarifikasi dan keterangan yang dilakukan secara tebuka guna menjaga akuntabilitas dan menghindari upaya pengaburan fakta," kata Ronald lagi.
Selain itu, pihaknya juga meminta KPK memanggil kembali pimpinan Banggar terkait kasus DPID dalam hal penyalahgunaan Banggar. Karena todak mengacu pada kesepakatan awal dengan pemerintah terkait kualifikasi dan kriteria penerima DPID.
"Dalam pernyataan saksi persidangan itu, kualifikasi dan kriteria daerah penerima DPID versi Banggar tidak menempatkan 32 daerah yang sebelumnya masuk dalam usulan daftar penerima DPID versi pemerintah," tegasnya.
Dalam hal ini, lanjut Ronald, KPK perlu menuntaskan kasus mafia anggaran yang melibatkan anggota anggota DPR di Banggar. Selain itu, Badan Legislasi (Baleg) DPR yang saat ini sedang menyusun dan akan melakukan harmonisasi Rancangan Undang-undang (RUU) perubahan atas UU MD3 harus bisa menempatkan aturan tentang transparansi dan akuntabilitas Banggar secara lebih ketat dan terukur.
"Semua itu dilakukan agar enam celah penyubur mafia anggaran dapat dikurangi. Jadi sangat penting sekali reformasi sistem dan mekanisme pembuatan APBN," imbuhnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved