Ada sejumlah persoalan yang membuat perekonomian Indonesia sulit bangkit. Salah satunya adalah utang. Indonesia harus meninggalkan pembangunan model Bank Dunia yang berbau neoliberal, jika ingin mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Setidaknya, demikian dikatakan Menteri Koordinator Perekonomian era mendiang Presiden Abdurrahman Wahid, Rizal Ramli, saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional 2017 yang digelar Institut Ilmu Sosial Dan Manajemen STIAMI bertema "Peranan Administrasi Publik Dalam Mewujufdkan Ekonomi Yang Mensejahterakan Untuk Mengatasi Persoalan Kesenjangan Ekonomi dan Rasa Kebangsaan", di Jakarta, Sabtu (21/10).
Rizal mengatakan, sudah saatnya Indonesia bersikap tegas dengan tidak lagi menggunakan model pembangunan ala Bank Dunia. Apalagi, Presiden Jokowi sendiri saat kampanye menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen. Sedangkan, masa pemerintahan Jokowi tinggal dua tahun lagi.
“Jangankan untuk meraih pertumbuhan 7 persen, untuk sampai angka 5,4 persen saja rasanya sulit. Karena ekonomi kita hanya mengalami pertumbuhan kisaran 5 persen. Bandingkan dengan negara lain yang tidak menggunakan model Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 10 persen," tegasnya.
Menurutnya, pemerintah mampu mencapai pertumbuhan tinggi bila serius dan mau merubah kebijakan ekonominya. Salah satunya dengan memberikan kelonggaran kepada dunia usaha dari sisi perpajakan. Hal tersebut perlu dilakukan untuk menggenjot perekonomian Indonesia yang saat ini cenderung stagnan.
Selama ini pemerintah terkesan begitu ngotot mengejar penerimaan pajak. "Sehingga membuat kalangan dunia usaha terganggu. Akibatnya aktivitas investasi pun tertunda dan berdampak ikut terhambatnya pertumbuhan sektor lainnya.”
Ia membandingkan dengan sikap Eropa dan China yang justru melonggarkan kebijakan pajaknya. “Kala ekonomi melambat justru perlu dipompa dan dilonggarkan. Misalnya, ekonomi lagi susah, jangan kejar pajak dulu. Nanti kalau ekonomi bergeliat juga pajak itu bisa naik dengan sendirinya," paparnya.
Hal terpenting lainnya, lanjut Rizal, pertumbuhan ekonomi model Bank Dunia juga membuat jarak antara si kaya dengan si miskin makin jauh. Ketidakadilan atas pembangunan semakin nyata. Apalagi, saat ini Indonesia memiliki rasio ketimpangan yang semakin tinggi. Dimana, 200 orang kaya di Indonesia menguasai 90 persen atas hasil-hasil pembangunan. Sedangkan, 10 persen lainnya dinikmati oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
"Saat ini ada sekitar 20 persen rakyat Indonesia berada di posisi atas dan sudah makmur. 40 persen lainnya hidupnya masih pas-pasan. Sedangkan 40 persen terakhir belum menikmati hasil kemerdekaan. Tugas pemerintah, untuk membuat 40 persen yang paling bawah ini bisa menikmati arti kemerdekaan. Bisa punya jaminan kesehatan, bisa sekolah, punya tempat tinggal, dan sebagainya," ulasnya.
Diakuinya, persoalan lain yang tak kalah penting mempersulitkan bangkitnya perekonomian Indonesia adalah korupsi. Sebab, kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) juga memiliki peranan yang kuat dalam pembangunan Indonesia. Namun, Indonesia tak memiliki pemimpin yang berani mengambil resiko, seperti di Vietnam. Terbukti, pertumbuhan ekonominya melesat melebihi Indonesia.
"Orang-orang Indonesia sebenarnya pinter semua sehingga sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi kita. Sayangnya, mereka tidak ulet dan manja. Jadi wajar saja, pertumbuhan ekonomi kita terus mengalami kelesuan seperti saat ini. Sehingga perekonomian ini harus di pompa. Tapi bukan dipompa dengan anggaran, melainkan dengan skema tertentu," terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Program Pascasarjana Institut STIAMI, Taufan Maulamin menambahkan, selama Indonesia masih memakai Bank Dunia untuk membantu perekonomian, maka negara ini tidak akan maju. Karena Bank Dunia hanya memakai model seperti merawat. Sehingga tidak akan ada negara yang akan tumbuh perkembangannya kalau masih memakai model tersebut.
"Kalau mau terlepas dari utang, sudah seharusnya Indonesia mengubah cara berpikir keuangan dan struktur paradigma ekonomi. Karena ada beban hutang yang menggerogoti APBN. Jadinkita terperangkap dengan hutang. Sehingga penerimaan pajak kita tidak pernah tercapai sejak 2012," tegasnya.
Dia megingatkan, hutang Indonesia saat ini mencapai Rp4.500 triliun dengan beban cicilan dan bunga pada 2018 mencapai Rp490 triliun. Dengan sumber daya alam yang melimpah, jumlah penduduk yang besar dan nilai-nilai Pancasila, sebenarnya Indonesia tidak perlu takut untuk melepaskan diri dari status pasien Bank Dunia.
"Jepang, Korea dan China adalah contoh negara yang tidak menggunakan model pembangunan Bank Dunia. Mereka menggunakan model pembangunan Asia Timur, yang pada 20 tahun kemudian menghasilkan pertumbuhan lebih dari 10 persen. Karena China dulu penghasilannya dibawah kita, hanya 100 dolar per kapita, kita sudah 150 dolar per kapita," ulasnya yang juga Sekjen Aliansi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (Apperti).
Namun saat ini, katanya lagi, justru situasinya malah terbalik Indonesia hanya USD3000 dolar, sementara China sudah USD25.000. Begitu juga, Jepang dan Korea. Bahkan kini menyusul Vietnam, negara yang baru saja merdeka. Untuk itu, agar Indonesia menjadi negara yang sejahtera dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak cukup, dibutuhkan pemimpin yang bersih dan sederhana.
"Pemimpin itu harus memiliki wawasan luas dan memahami penyakit ekonomi negara. Selain itu harus mengerti langkah apa yang perlu dilakukan. Makanya, hal itu semua harus diutamakan pada pemilihan presiden yang akan datang," tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved