Sejak zaman dahulu, Indonesia dikenal sebagai penghasil rempah. Kontribusinya sangat tinggi terhadap perekonomian. Bahkan, pada era perang dunia ll, Indonesia memasok 80 persen rempah dunia, khususnya lada. Untuk mengembalikan kejayaan rempah Indonesia, Dewan Rempah Indonesia (DRI) terus berupaya mendukung percepatan revitalisasi pengembangan rempah nasional.
Ketua Umum Dewan Rempah Indonesia, Pasril Wahid mengatakan rempah Indonesia sangat disukai dan sudah mempunyai pangsa pasar dunia sejak berabad-abad silam.
Kontribusi penerimaan negara dari ekspor rempah, khususnya lada, vanili, pala, kayumanis, gambir, pinang, cengkeh dan long papper tahun 2015 mencapai Rp20 triliun. Sehingga ekspor rempah dianggap sebagai salah satu koridor pemasaran yang strategis dan penting dalam pengembangan komoditas rempah tanah air.
"Mutu produk rempah Indonesia baik yang diperdagangkan dalam negeri maupun luar negeri, harus didasarkan pada mutu setara standar internasional," ujar Pasril kepada politikindonesia.com disela-sela Kongres Rempah Indonesia II di Kantor Kementan Jakarta, Selasa (27/09).
Ia mengatakan, produk rempah harus mengikuti Standar Nasional Indonesia (SNI) agar mendapat pengakuan di negara-negara konsumen, khususnya negara-negera Eropa dan di Amerika Serikat. Karena yang menjadi pertanyaan pertama ketika suatu komoditas ingin masuk pasar dunia, bukanlah berapa harganya melainkan bagaimana kesesuaian dengan standar internasional," katanya Menurutnya, saat ini harga rempah di antaranya lada putih Rp140.000/ kilogram (kg), pala Rp70.000/kg, kayu manis Rp30.000/kg dan cengkeh Rp90.000/kg.
Dengan harga tersebut, tentunya bisa meningkatkan kesejahteraan petani secara signifikan. Apalagi kalau harga rempah dapat ditingkatkan menjadi premium price dengan pemberian sertifikat organik dan hak paten sebagai komoditas khusus. Sehingga pedapatan petani perkebunan yang tertinggi adalah rempah.
"Karena produksi produksi rempah Indonesia sudah dilakukan secara organik, tinggal diberikan sertifikasi untuk memberikan jaminan kepada konsumen. Jaminan bahwa rempah Indonesia itu organik bisa membuat petani mendapat harga premium, sehingga tingkat kesejahteraannya ikut terangkat," ungkapnya.
Pasril menambahkan, ada kekhawatiran dari Eropa mengenai kelangkaan rempah berkualitas di waktu mendatang. Sehingga petani rempah tidak perlu menggunakan pupuk nonorganik dan pestisida karena hanya akan menghasilkan rempah yang merusak lingkungan dan tidak sesuai kebutuhan.
Pertanian organik sedang menjadi perhatian Eropa dan itu harus dimanfaatkan petani rempah Indonesia. Dengan demikian, petani rempah Indonesia bisa mendapat harga premium.
"Sayangnya untuk mencapai semua itu, kita masih memiliki banyak kendala. Masih rendahnya produktivitas yang dihasilkan karena penggunaan bibit unggul, serangan hama dan penyakit serta adanya perubahan iklim. Selain itu, mutu produksi rempah kita juga masih rendah karena sistem pemanenan dan pasca panen yang belum optimal. Bahkan, Uni Eropa mengklaim pala asal Indonesia mengandung aflatoxin," ucapnya.
Sementara itu, Dirjen Perkebunan Kementan, Bambang menambahkan, memang diperlukan upaya memperbaiki kondisi produk dan petani rempah Indonesia. Harus diakui, saat ini memang terjadi pergeseran nilai, di mana para petani rempah dianggap miskin dan tidak memiliki kemampuan ekonomi dibanding dengan pekerjaan lain. Karena saat ini, Indonesia bukan lagi menjadi negara utama penghasil rempah di dalam perdagangan rempah dunia.
"Hal itu adanya pergeseran nilai yang berpikir bahwa menjadi petani rempah-rempah tidak akan dapat meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan hidup bila dibandingkan dengan petani yang lain. Lebih baik kita repot sedikit dalam menyesuaikan produk rempah dengan standar demi menaikkan nilai tambah dan pendapatan, daripada bekerja seadanya tapi produk kita dihargai murah oleh pembeli," paparnya.
Bambang mengatakan, komoditas rempah Indonesia merupakan yang terbaik di dunia. Pada enam komoditas seperti pala, lada, cengkeh, kayu manis, vanila dan gambir. Khusus lada Indonesia yang memiliki citarasa dan aroma spesifik dengan kadar peperin tinggi nomor dua di dunia. Cengkeh Indonesia bahkan menjadi juara satu di dunia. Terakhir, pala juga menjadi nomor satu di dunia yang memiliki citarasa dan aroma kuat.
"Kami tidak mungkin menanggani seluruh lomoditas rempah yang jenisnya sangat banyak secara sekaligus. Untuk itu perlu dipilih berdasarkan prioritasnya dan penetapan prioritas hendaknya didasarkan pada komoditi yang mencakup hajat hidup orang banyak dan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain itu, prioritas juga berdasar komoditi yang mempunyai peluang pasar baik di dalam negeri maupun untuk tujuan ekspor dan komoditi unggulan nasional maupun lokal," imbuhnya.
Untuk mendukung kebangkitan rempah Tanah Air tersebut, Bambang, menegaskan perlu ada komoditi rempah prioritas tingkat nasional dan di setiap provinsi dan kabupaten/kota di sentra rempah perlu menetapkan komoditi rempah prioritas masing-masing provinsi dan kabupaten. Penetapan suatu komoditi apakah masuk ke dalam prioritas tingkat nasional atau lokal (provinsi atau kabupaten) agar mempertimbangkan tingkat penyebarannya.
"Komoditas prioritas nasional misalnya lada, cengkeh dan pala. Sedangkan, komoditas prioritas lokal, seperti gambir dari Sumatera Barat, kayumanis dari Kabupaten Kerinci dan Tanah Datar, vanili dari Bali dan NTT harus memiliki standarisasi rempah. Karena baru ada 26 yang memiliki standar. Di antaranya lada, pala, puli, gambir, kapulogo lokal, jahe segar dan kayumanis bubuk," tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved