ANJURAN Kemenkop-UKM agar warung madura di Bali tidak membuka warung selama 24 jam memicu keresahan dan kemarahan beberapa kalangan masyarakat. Resah dikarenakan jika pernyataan itu akan menjadi peraturan baku yang dapat melemahkan peruntungan ekonomi warung milik warga Madura. Takut sudah pasti karena sudah terbayang kerugiaan material dan mimpi-mimpi sejahtera di masa depan dapat terkubur seketika. Apakah memang negara masih sulit membedakan antara “ekonomi rakyat” dan “ekonomi kerakyatan”?
Istilah diatas pernah didorong oleh Almarhum Gus Dur, ia lebih memilih memakai istilah ”ekonomi rakyat” ketimbang ”ekonomi kerakyatan” untuk memastikan yang terjadi di lapangan adalah gerakan ekonomi yang dikuasai dan dilakukan rakyat (kecil).
Dalam posisi ini, warung Madura menunjukkan eksisten ekonomi rakyat itu masih ada. Ekonomi kerakyatan kerap disandera oleh elitisme yang seakan memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi sumber daya ekonomi tidak sepenuhnya diberikan dan dimiliki rakyat.
Implikasinya, istilah yang terakhir ini hanya ingin menunjukkan keberpihakan, bukan gerakan (ekonomi rakyat). Jadi, ekonomi rakyat mesti diikuti dengan penguasaan alat-alat produksi, khususnya tanah dan modal, dan organisasi/jejaring ekonomi yang mapan.
Jika banyak respon atas anjuran penutupan cukup beralasan. Orang madura selalu melihat rezeki itu bukan pemberian gratis. Jika mereka menuntut lebih banyak pundi tentu mereka melakukan cara dengan lebih giat termasuk membuka selama 24 jam sekalipun.
Partisipasi masyarakat dengan berdikari dengan modal dan ide ekonomi sendiri merupakan satire terbuka bagi negara yang tidak dapat melakukan pemerataan peluang kerja yang salam. Mata pencaharian dengan bertani dan melaut tidak selalu menguntungkan orang Madura di pulau mereka tinggal.
Warung Madura menjadi UMKM yang nir campur tangan pemerintah. Bukankah kita sepakat jika negara ingin kuat UMKM mereka juga tumbuh. Lihatlah, bagaimana globalisasi dimanfaatkan dengan baik oleh China, Jepang, dan beberapa negara lain untuk menciptakan latar yang jembar bagi usaha ekonomi rakyat. Jadi, kata kuncinya adalah soliditas kebijakan domestik agar globalisasi dapat dijinakkan. Kontribusi UMKM pada PDB negara ini sangat besar yakni 61 persen, ini jauh lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN dan di Selected G20.
Bukan Sebatas Eksistensi
Alasan utama mengapa Warung Madura akan terus ada karena beberapa alasan. Di samping memenuhi berbagai kebutuhan dasar, warung Madura kerap berdekatan dengan pemukiman dan terjangkau dari segi harga. Menjajal bisnis warung Madura hanya membutuhkan investasi awal yang relatif kecil dibanding toko retail modern. Begitu juga biaya operasional warung Madura. Akibatnya, warung Madura punya daya fleksibilitas yang lebih besar ketimbang retail modern.
Masyarakat itu yang tadinya beli grosir, karena inflasi tinggi, resesi, suku bunga, mereka mencoba beralih ke barang-barang yang relatif lebih murah, dengan packaging lebih kecil, sesuai dengan yang dijual di warung Madura atau warung tradisional. Dari tahun ke tahun mereka eksis dan ekspansif meskipun kondisi ekonomi membaik kedepannya. Di mana, tekanan ekonomi akan selalu ada bagi kelas menengah bawah, semisal perantau-perantau dari Madura.
Urbanisasi lewat sektor ekonomi tidaklah menjadi beban pada kota bersangkutan. Dahulu mereka memenuhi kota terdekat seperti Surabaya kini dengan niat dan rasa percaya diri memenuhi ibu kota Jakarta dan sekitarnya.
Tanda suatu budaya itu berhasil apabila budaya tersebut menjadi identitas yang melekat pada para pelakunya. Dan, itu berhasil dilakukan oleh orang Madura. Di atas hanya contoh kecil bentuk kemandirian orang Madura. Sebenarnya masih banyak lagi jenis usaha yang melekat menjadi identitas mereka. Pada intinya mereka adalah aset bangsa yang perlu dijaga kemurniannya.
Di tengah modernitas, jarang sekali ada orang dengan etnis tertentu ketika ke luar dari daerahnya tetap mempertahankan kultur kedaerahannya. Lewat usahanya, justru orang Madura bisa dijadikan contoh bagaimana cara mencintai daerah dan budayanya.
Menolak Rapuh
Struktur pelaku ekonomi kita ternyata tetap sama, terdiri dari lapisan pelaku ekonomi rakyat banyak dalam skala mikro kecil yang bergerak di sektor pertanian dan perdagangan serta jasa kelas gurem dan pelaku ekonomi modern segelintir di sektor industri, perdagangan, perkebunan, serta pertambangan dan jasa.
Ekonomi kita secara agregat menjadi semakin konsentratif dan membentuk pasar yang mendekati oligopolistik. Dalam berbagai segmen industri bahkan mendekati pola pasar duopolistik atau hanya terdiri atas dua pemain besar sebagai pengendali harga.
Sementara ekonomi rakyat banyak yang bergerak di lapis segmen kelas bawah, bersaing secara berdarah dengan nilai tambah yang semakin kecil karena penetrasi usaha besar di segmen ekonomi yang selama ini dikuasai oleh usaha rakyat banyak. Sebut misalnya dengan merangsek masuknya usaha jaringan ritel yang semakin masif tak terkendali dan melanggar regulasi.
Usaha ekonomi rakyat seperti Warung Madura bisa jadi semakin termarjinalisasi dan motivasi pendiriannya lebih muncul karena negara tak sanggup menciptakan pekerjaan bagi mereka, ketimbang sebagai pilihan utama. Mereka bisa tersingkir dan hanya menjadi subordinat dari usaha-usaha skala besar sebagai reseller atau mitra bisnis semu yang seluruh margin keuntungannya secara monopolistik ditentukan oleh mereka.
Ekonomi rakyat harus dipandang sebagai subyek ekonomi dan bukan objek program pembinaan. Ekonomi rakyat harus ditempatkan sebagai yang mainstream dan supreme, utama. Ekonomi rakyat per definisi harus ditegaskan sebagai bentuk partisipasi aktif rakyat dalam proses produksi, distribusi, dan konsumsi.
Pemerintah mestinya fokus pada permasalahan pokok. Pertama, warung Madura jumlah bisa ribuan namun sejauh ini tidak satupun yang pemerintah kolaborasikan. Kedua, warung madura sangat khas, di mana tidak saja menjadi penanda ekonomi tetapi juga budaya. Ketiga, pemerintah membantu bagaimana warung Madura dapat akses produk dan harga pasar yang setara jika persoalan harga mengemuka karena berbeda jauh dengan retail modern.
Sebagai bagian penting untuk memberikan dasar kebijakan agar tidak salah sasaran, klasmopologi skala UMK semestinya dipisahkan dengan kelompok usaha menengah dan besar (UMB). Ekonomi daulat rakyat itu kekayaan dan pendapatan nya menyebar adil dan merata. Tapi kenyataannya, kekayaan kita itu menumpuk pada segelintir orang.
Sebuah anomali di mana pusat kekayaan dan kesejahteraan terkonsentrasi. Empat keluarga kekayaannya sama dengan 100 juta rakyat miskin Indonesia (Oxfarm, 2020). Ketimpangan kekayaan kita juga sudah sangat parah, yaitu 0,77 dalam skala rasio gini kekayaan.kekayaan dan penguasaan atas kekayaan itulah sumber dari kreasi pendapatan. Sehingga yang terjadi adalah segelintir elit kaya dan politisi itu semakin kaya raya dan rakyat banyak semakin miskin papa.
Mengusik dengan sebuah anjuran halus pada ekonomi rakyat, negara bisa dipertanyakan posisinya membela siapa. Di manapun, saat rakyat harus berhadapan karena merasa lumbung hidupnya diganggu terkadang dimensi bernegara dapat tidak menjadi jaminan.
*Penulis adalah Pemerhati Ekonomi dan Dosen Institut STIAMI Jakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved