Pelaut perikanan Indonesia adalah aset dan potensi yang mampu menggerakan poros maritim. Bahkan, pelaut perikanan Indonesia dikenal sebagai sumber daya unggulan bagi sektor kelautan dunia. Sayangnya, para pelaut perikanan tersebut, masih harus menghadapi sejumlah masalah baik itu perbudakan maupun dokumen perizinan.
"Sejak zaman pejajahan, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang punya pelaut unggul, baik untuk niaga ataupun perikanan dunia. Namun, yang jadi permasalahan sekarang ini adalah bagaimana melindungi dan memperluas jaminan serta fasilitas untuk mereka,” kata Suseno, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BPSDM KP) kepada politikindonesia.com usai membuka Munas Kesatuan Pelaut Perikanan Indonesia (KPPI) di Jakarta, Jumat (05/06).
Menurutnya, saat ini Indonesia memiliki sekitar 2,3 juta orang pelaut perikanan. Dari jumlah tersebut yang bekerja di Kapal Asing tercatat di Kementerian Ketenagakerjaan mencapai 210 ribu orang. Oleh karena itu, pelaut perikanan ini merupakan bagian dari SDM kelautan dan perikanan yang perlu mendapat perhatian khusus. Karena dalam melakukan pekerjaannya, mereka menghadapi sejumlah masalah.
"Adapun masalah yang mereka hadapi, di antaranya perbudakan di kapal perikanan, penerbitan izin yang tumpang tindih (pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) di bidang perikanan tangkap) agen tenaga kerja, sertifikasi ijin layar, rendahnya upah dan produktivitas. Sehingga banyak pelaut Indonesia yang tidak mendapat perlindungan yang semestinya," ujar Suseno.
Selain harus menghadapi berbagai masalah tersebut, lanjut Suseno, pelaut perikanan Indonesia juga harus menghadapi persaingan pasar kerja untuk baik di dalam maupun luar negeri. Untuk luar negeri sediri, Indonesia harus bersaing dari Filipina, India, Tiongkok, Vietnam dan Burma. Pihaknya pun tak luput memberikan perhatian khusus terhadap semua masalah yang dihadapi para pelaut Indonesia ini.
"Sebagai pencetak SDM unggul, kami terus mengupayakan memberikan perhatian melalui pembinaan kelembagaan KPPI, pemberian akses pelatihan, memfasilitasi sertifikasi profesi melalui uji kompetensi," ujarnya.
Pihaknya juga mendorong para pelaut Indonesia yang selesai menjalankan kontrak kerja dapat menjadi tim penguji kompetensi dengan mengikutsertakannya dalam Diklat Assessor Kompetensi. Sehingga dapat membantu program pemerintah untuk mensertifikasi 100 orang nelayan dan pelaut perikanan yang telah ditargetkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
"Hingga saat ini kami sudah mensertifikasi sebanyak 56.593 orang yang terdiri dari penangkapan ikan sebanyak 11.793 sertifikasi, kepelautan berupa ahli Nautika kapal Penangkap Ikan (Ankapin) dan Ahli Teknika Kapal Penangkap Ikan (Atkapin) sebanyak 24.230 sertifikasi, serta Basic Safety Training sebanyak 29.570 sertifikasi," imbuhnya.
Dijelaskan, sertifikasi pelaut dan nelayan Indonesia dilakukan supaya mereka mampu memanfaatkan potensi laut Indonesia yang kaya. Karena kalau potensi tersebut mampu dioptimalkan sebaik mungkin, hasilnya bisa menjadi tulang punggung dalam pembangunan perekonomian Indonesia.
"Dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi peningkatan kapasitas SDM di sektor kelautan dan perikanan, kami memberikan perhatian yang besar bagi pelaut perikanan, melalui pendidikan, pelatihan dan penyuluhan," pungkasnya.
Sekedar informasia, berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO) menyebutkan, terdapat lebih dari 15 juta orang bekerja sebagai pelaut kapal penangkap ikan. Sekitar 90 persen di antaranya adalah pelaut kapal berukuran kurang dari 24 meter, yang tersebar di Asia dan Afrika. Sebagian besar perwiranya berasal dari Asia, dengan pesaing utama dari Filipina, India, Tiongkok, Vietnam, dan Burma. Selain itu, berdasarkan statistik perikanan tangkap tahun 2013, armada kapal perikanan Indonesia berjumlah 2.298 kapal di atas 30 GT, dengan melakukan penangkapan ikan tuna, cakalang dan tongkol.
© Copyright 2024, All Rights Reserved