Tak lagi bisa berkelit. Erwin Arnada, pemimpin redaksi (pemred) Majalah Playboy Indonesia tampaknya harus menjalani hukuman penjara. Soalnya, vonis pidana terkait kesusilaan yang dituduhkan kepadanya sudah jatuh. Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung (MA) menghukumnya dengan dua tahun penjara.
Erwin dinyatakan bersalah dan melanggar Pasal 282 KUHP terkait kesopanan dan kesusilaan. Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Yusuf mengaku sudah mendapat petikan putusan MA tersebut Rabu (25/08) sore. “Saya sudah perintahkan agar dieksekusi,” ujar dia.
Dikatakan Yusuf, Kejari Jaksel akan segera melayangkan surat panggilan kepada Erwin menyerahkan diri dan menjalani eksekusi. Rencannya surat tersebut akan dikirimkan, Senin 30 Agustus 2010 nanti. “Jika tidak datang, kami akan layangkan panggilan patut sampai tiga kali," ujar Yusuf.
Dan jika hingga panggilan ketiga Erwin tidak juga datang, maka kejaksaan akan mengupayakan pemanggilan paksa. “Walaupun dia mengajukan PK, hal itu tidak menghalangi eksekusi,” tegas Yusuf.
Sebelumnya, di tingkat Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Erwin sempat dituntut dua tahun penjara oleh jaksa. Namun, majelis hakim menolak dakwaan dan tuntutan jaksa. Erwin pun melenggang bebas. Namun jaksa tidak menyerah, mereka pun mengajukan kasasi, dan dimenangkan oleh MA.
Pro Kontra
Beragam tanggapan muncul menyusul vonis atas Erwin ini. Front Pembela Islam (FPI) termasuk yang mendukung. Rencananya pada Kamis (26/08) akan menetapkan Erwin sebagai buron, jika keputusan MA tersebut, belum juga diproses kejaksaan, dan terdakwa masih dibiarkan bebas.
Juru bicara FPI Munarman menegaskan putusan itu sudah ketok palu pada Juli 2009. “Tapi sampai saat ini, dia belum diapa-apain. Kami menetapkan dia sebagai buron,” kata dia.
Murnaman mendesak agar kejaksaan segera mencari Erwin, dan memasukkannya ke penjara sesuai pidana yang dijatuhkan MA. Tak cukup dengan kata-kata, FPI akan menggelar aksi demo Jumat mendatang. "Jika kejaksaan tidak bergerak, kami yang akan mengejar."
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan kekecewaannya atas putusan MA ini. Pasalnya, hakim agung tetap saja menggunakan KUHP dalam menyelesaikan pemberitaan media massa. “Vonis ini jadi gambaran kalau Hakim Agung malah mundur karena mereka masih cenderung memakai KUHP yang sudah layak untuk ditinjau ulang. Mengapa tidak memakai UU Pers," kata Eko Maryadi, Divisi Advokasi AJI.
Eko menilai pokok perkara menyangkut Erwin tidak jelas. “Apakah pemberitaannya berbau pornografi atau gambarnya, visi dan misi, atau mungkin persoalan nama Playboy?" kata dia.
Jika pelapor Playboy mengugat nama, maka ini sudah masuk dalam masalah pencitraan dan politik media. “Harus diketahui pengelola Playboy Indonesia membeli hak dari franchise di Amerika sana. Ini sama saja dengan membuka outlet McDonald, atau Circle K,” kata dia.
© Copyright 2024, All Rights Reserved