Saat ini Indonesia dikepung oleh jejaring kekuatan militer asing yang disebut dengan The Five Powers Defense Arrangement (FPDA). FPDA itu terdiri dari Malaysia, Singapura, Inggris, Australia dan New Zealand. Namun, keberadaan FPDA itu belum menjadi ancaman militer yang aktual atau nyata bagi Indonesia. Yang harus diwaspadai justru ancaman non militer.
Demikianlah diungkapkan Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu kepada politikindonesia.com disela-sela Diskusi Panel Serial 2017-2018 bertema "Menggalang Ketahanan Nasional Untuk Menjamin Kelangsungan Hidup Bangsa", yang diselenggarakan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti dan Aliansi Kebangsaan, di Jakarta, Selasa (25/07).
Menhan mengatakan, FPDA belum menjadi ancaman nyata bagi Indonesia karena Asean sudah mencapai kesepakatan, yakni apabila di suatu negara terdapat perselisihan maka akan diselenggarakan secara damai. Kondisi tersebut telah konsisten dilaksanakan dan sudah dibuktikan lebih dari 40 tahun.
"Justru seharusnya yang diwaspadai oleh Indonesia adalah ancaman nonmiliter. Karena harus dihadapi sehari-hari. Ancaman ini pun merupakan ancaman nyata untuk saat ini, sebab menyangkut keamanan dan keselamatan kita bersama," ungkapnya.
Ryamizad menyebutkan, ancaman nonmiliter itu di antaranya, radikalisme, terorisme, penyalahgunaan narkoba, wabah penyakit, bencana alam, pemberontakan dan separatisme hingga ancaman siber yang dapat mengganggu keselamatan bangsa dan negara.
“Semua itu dapat mengganggu keselamatan bangsa dan negara serta merusak perekonomian. Selain itu, juga bisa menghancurkan sistem jaringan obyek vital nasional dan merusak jaringan pelayanan umum pemerintah," tegasnya.
Sementara itu, Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan Sutrimo Sumarlan, menambahkan, ada tiga hal yang perlu dilaksanakan dalam membangun ketahanan nasional guna mengatasi segala ancaman yang ada. Pertama, membangun sistem pertahanan negara. Kedua, membangun kesadaran bela negara.
"Pendidikan ini bukan sebagai pendidikan wajib militer, namun pendidikan kewarganegaraan yang baik sebagai bagian dari pembangunan karakter bangsa. Karena kesadaran bela negara, termasuk mengajak menjadi warga negara yang berakhlak baik," ucapnya.
Dia menegaskan, untuk ke depannya, ospek akan diubah menjadi pendidikan bela negara. Hal itu sebagai bagian dari membangun hidup berdisiplin, mencintai dan bangga akan tanah air. Sehingga diharapkan rela berkorban untuk bangsa dan negara.
"Kita harus bisa menyakinkan kalau Pancasila adalah ideologi negara yang benar bagi bangsa Indonesia sehingga nilai-nilainya tercermin dalam sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari," paparnya.
Kemudian, lanjutnya, hal yang ketiga yang perlu dilaksanakan dalam membangun ketahanan nasional adalah membangun kemandirian dalam memenuhi kebutuhan alutsista militer. Kemandirian ini akan membuat pertahanan negara semakin kuat dan akan memberi sumbangan yang makin signifikan bagi kemantapan ketahanan nasional.
"Sekalipun masalah pertahanan negara diatur di dalam UUD 1945, namun UU turunan yang diperintahkan untuk pengaturan khususnya Sishankamrata dan Sishanta belum lengkap secara kesisteman, terutama di dalam operasionalnya," tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, pengamat pertahanan dan politik, Andi Widjajanto mengungkapkan, Indonesia perlu mengubah paradigma perangnya saat ini. Karena kecenderungan perang saat ini lebih banyak mengacu pada perang non konvensional. Namun dalam kenyataannya, semua issue non konvensional, pendekatan dan penyelesaiannya dengan cara konvensional.
“Seperti kasus di Aleppo atau Marawi misalnya. Untuk itu, Indonesia perlu memiliki industri pertahanan yang kuat. Industri pertahanan tidak boleh lagi bertumpu pada belanja pertahanan semata. Namun, perlu sebuah menjadi investasi pertahanan, yang menghasilkan kesejahteraan bagi negara,” imbuh Andi.
© Copyright 2024, All Rights Reserved