Dua tahun sudah berlalu, tenggat untuk menindaklanjuti hasil audit finansial, baik yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) ataupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang dugaan penyimpangan dana {cost recovery} (CR) di sektor eksplorasi minyak dan gas, belum ada kabar beritanya. Baik berupa pola baru soal ketentuan CR, seperti yang dijanjikan pemerintah, atau tindaklanjut audit finansial menjadi audit investigasi.
CR menghangat di semester pertama tahun 2007. Ketika itu, BPKP menemukan indikasi penyimpangan keuangan negara sebesar Rp18 triliun dalam CR dari kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi di Indonesia, selama periode 2002-2005.
Dalam sebuah seminar bertajuk "Tingginya Cost Recovery Siapa yang Diuntungkan?, Kepala BPKP Didi Widayadi lebih rinci mengungkapkan bahwa dari Rp.18 triliun -- hampir separuhnya sudah diklarifikasi oleh perusahaan migas, yang masih belum jelas sekitar Rp.9 triliun.
Sesuai dengan mekanisme yang sudah ditentukan, paling lambat dua tahun sejak audit selesai, BP Migas harus segera menindaklanjuti hasil audit BPKP tersebut.
"Jika dalam jangka waktu itu tidak ada tindaklanjut atau klarifikasi, maka BPKP berhak untuk mengumumkan kepada publik," kata Didi.
Seiring dengan BPKP, BPK pun mengungkapkan hasil auditnya terhadap penggunaan biaya kegiatan perminyakan atau {cost recovery} 152 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) tahun 2000 sampai 2006 tercatat senilai Rp122,684 triliun.
Dari jumlah itu didapati indikasi penyimpangan senilai Rp18,067 triliun dari sekitar 43 KKKS.
Dalam laporannya, BPK juga menyatakan biaya penggantian operasional kontraktor itu mengalami peningkatan tiap tahun, terhitung sejak 2001 hingga 2005.
Cost recovery sektor perminyakan tercatat 2,7 miliar dolar AS pada 2001, 3,05 miliar dolar AS (2002), 3,17 miliar dolar AS (2003), 3,18 miliar dolar AS (2004), dan 4,3 miliar dolar AS (2005).
Sedangkan dalam penambangan gas tercatat 1,6 miliar dolar AS (2001), 2,0 milar dolar AS (2002), 2,3 miliar dolar AS (2003), 2,4 miliar dolar AS (2004), dan 3,3 milar dolar AS (2005).
Memang data yang dikeluarkan BPK adalah data KKKS asing. Sedangkan data kontraktor milik negara atau kontrak kerjasama negara dengan asing belum dapat diakses masyarakat. Bisa-bisa angka dugaan penyimpangan akan semakin tinggi jika data CR dari kontraktor milik negara juga disertakan dalam hasil audit BPK.
Padahal, lanjutan atas tahapan audit tersebut, perlu dilakukan demi menyelamatkan keuangan negara dan efek jera kepada pelaku kriminal di sektor migas. Mengapa penanganan tindaklanjut dari temuan BPKP dan BPK sangat lambat?
Menyikapi hasil audit finansial itu, Kepala BP Migas, Kardaya Warnika berkomentar ringan-ringan saja. "Hasil temuan BPKP tersebut masih perlu diklarifikasi dan setelah itu dilakukan audit final," katanya dua tahun yang lalu.
Dari temuan BPKP dan BPK itu, jelas ada benang merahnya. Setidaknya, hasil temuan itu menunjukkan lemahnya pengawasan penggunaan uang negara dalam industri migas di Indonesia.
BP Migas selama ini bersolo karir. Mulai dari perencanaan, persetujuan investasi hingga pengawasan. BP Migas tidak ada yang mengontrol. Dan tentu ada perasaan yakin yang menyeruak didalam diri kita, bahwa dari triliunan rupiah yang diduga diselewengkan, ada yang masuk kategori kriminal.
Bagi kebanyakan rakyat, soal CR di sektor migas memang tidak menarik, karena memang tidak tahu. Tapi, bagi kalangan pejabat pemerintah yang menggeluti sektor migas dan para pengusahanya, soal CR menjadi sesuatu yang sangat penting. Saking pentingnya, ada guyonan soal ini. ?Biaya main golf, tiket pesawat dan hotel termasuk cantelan-cantelannya, bisa masuk di CR.? Namanya guyonan, bisa betul bisa salah.
Menanggapi banyaknya sorotan tentang CR, Direktur Pembinaan Hulu Ditjen Migas Departemen ESDM, R Priyono mengungkapkan, pemerintah tengah menyusun perbaikan pola pencairan cost recovery atau biaya yang dikembalikan ke kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas, agar lebih memberikan manfaat bagi negara.
"Nantinya, penentuan item-item mana saja yang masuk ke dalam CR akan lebih komprehensif yang artinya lebih menyinggung banyak kepentingan," kata Priyono.
Dengan kata lain, lanjutnya, penentuan biaya yang masuk ke dalam CR akan lebih tepat sasaran. Dan perubahan pola tersebut akan langsung dimasukkan dalam kontrak kerja sama (KKS) dengan kontraktor migas.
"Saat ini, kami sedang susun term and condition-nya," kata Priyono.
Selama ini, pembayaran CR hanya bisa dilakukan apabila kontraktor menemukan dan memproduksi minyak atau gas. Perhitungannya dilakukan sebelum hasil produksi dibagi antara pemerintah dan kontraktor, sehingga besaran cost recovery akan mempengaruhi bagian yang diterima pemerintah dan kontraktor.
Biaya yang dibebankan dalam CR meliputi biaya non kapital tahun berjalan dari kegiatan eksplorasi, pengembangan, operasi produksi dan biaya administrasi atau umum, biaya depresiasi tahun berjalan, depresiasi tahun sebelumnya dan {unrecovered cost} (pengembalian biaya yang tertunda).
Ketentuan lainnya adalah pengembalian biaya dalam CR hanya diperbolehkan dari wilayah kerja yang bersangkutan dan tidak diperkenankan melakukan konsolidasi biaya dan pajak antara satu wilayah kerja dengan lainnya.
Sementara pada laporan kinerja BP Migas tahun 2006 menyebutkan, sejak 1997 hingga 2006, angka cost recovery Indonesia mengalami kenaikan rata-rata enam persen per tahun. Kenaikan tersebut antara lain disebabkan lapangan produksi adalah lapangan tua, sehingga membuat biaya produksi minyak semakin mahal.
Tingginya harga minyak juga membuat aktivitas migas meningkat dan mendorong kenaikan harga secara drastis. Selama tiga tahun terakhir, biaya sewa alat pengeboran naik 300 persen dan harga besi baja naik sekitar 50 persen. Selain itu, lapangan yang dikembangkan sebagian besar lapangan bercadangan kecil, sehingga biaya pengembangannya pun tinggi.
Dalam laporan itu juga menyebutkan pada tahun 2006, realisasi CR mencapai 7,815 miliar dolar AS atau 82 persen dari perkiraan. Sebanyak 1,89 miliar dolar AS di antaranya merupakan cost recovery PT Pertamina EP dan 5,92 miliar dolar AS dari KKKS lain.
BP Migas menyatakan masuknya Pertamina EP sebagai KKKS sejak tahun 2005 telah menyebabkan kenaikan cost recovery sebesar 24 persen. Sebab, biaya produksi minyak per barel yang dikeluarkan Pertamia EP jauh lebih besar dari rata-rata kontraktor lain.
"Tapi, harus dilihat apakah biaya itu benar-benar CR atau bukan. Selain juga, lapangannya mesti dibandingkan apple to apple," kata Direktur Hulu PT Pertamina (Persero) Sukusen Soemarinda seraya mengakui tingginya tingkat cost recovery lapangan Pertamina
dikarenakan lapangan Pertamina tersebar dan sudah berusia tua.
Setelah ada suara dari Pertamina, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan akan mengkaji apakah tetap memasukkan atau tidak revaluasi aset-aset PT Pertamina (Persero) ke dalam perhitungan cost recovery.
"Setelah kita teliti ternyata salah satu penyebab CR tinggi adalah karena revaluasi aset Pertamina juga ikut dihitung," kata Purnomo Yusgiantoro.
Menurut Purnomo, pihaknya bersama departemen terkait akan memutuskan apakah tetap memasukkan atau tidak revaluasi aset Pertamina tersebut ke dalam komponen CR.
Sementara Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa ada kemungkinan untuk menekan CR dalam eksplorasi migas yang dalam beberapa kurun waktu terakhir menunjukkan adanya kenaikan sehingga membebani APBN.
"Dalam kontrak karya memang ada klausul yang sifatnya memang sangat general yang bisa memasukkan berbagai komponen yang bisa saja kemudian dianggap sangat tidak berhubungan dengan produksi migas," kata Sri Mulyani.
Menkeu menyebutkan, dalam komponen yang bersifat general itu disebutkan adanya biaya lain-lain yang sebenarnya tidak masuk sebagai komponen yang tidak terklasifikasi untuk keperluan produksi migas, tetapi masih dimasukkan juga sehingga menambah beban CR.
"Nah yang mengawasi kategori biaya lain-lain ini adalah BP Migas, makanya kinerja BP Migas untuk penerapan apakah biaya-biaya itu boleh masuk atau tidak dalam CR. Itu masalah yang harus disampaikan oleh BP Migas dalam memberikan penjelasan terhadap masalah ini," katanya.
Menurut dia, pihaknya juga akan melihat satu per satu komponen kenaikan CR apakah bisa dibenarkan atau tidak berdasarkan situasi dan praktek yang ada.
"Saat ini bahan sedang disiapkan, mungkin dalam 1-2 minggu ini kita akan lihat, kemarin kan DPR juga sudah menanyakan mengenai kenaikan CR yang sangat besar dalam 3 tahun terakhir sementara produksi turun," ungkap Sri Mulyani, dua tahun yang lalu.
Yang menarik adalah suara yang muncul dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
?Pemberian berbagai insentif dalam pengusahaan migas kepada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) telah merugikan negara.Pemberian berbagai insentif tidak membuat produksi dan cadangan semakin meningkat,? ungkap Peneliti LP3ES Pri Agung Rakhmanto.
Menurut Pri, insentif biaya produksi yang dikembalikan pemerintah (cost recovery) yang sejak 2001 terus meningkat sehingga mengurangi porsi bagi hasil pemerintah.
Padahal, pemerintah telah memberikan insentif berupa kenaikan batasan CR dari sebelumnya 40 persen, kemudian 100 persen, dan kini ada yang mendapatkan 120 persen.
"Produksi minyak yang selalu di bawah target dengan CR yang semakin meningkat adalah indikasi banyak investasi atau proyek, meski sudah ditambah insentif, ternyata gagal," katanya.
Pri mencontohkan lagi, pemberian insentif berupa peniadaan kewajiban menyediakan minyak buat kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO holiday) malah menyebabkan ketergantungan Indonesia pada minyak impor menjadi semakin besar.
Selanjutnya, pengubahan DMO "fee" juga menyebabkan Indonesia harus membeli minyaknya sendiri dari pasar internasional dengan harga lebih mahal.
"Implikasinya, biaya produksi dan pengadaan BBM buat rakyat juga menjadi lebih tinggi," kata Pri.
Pemberian insentif yang berimplikasi negatif lainnya adalah pengubahan porsi bagi hasil pemerintah yang semakin mengecil dari 85:15, 70:30, 65:35, 51:49, dan bahkan 100:0, tidak membuat produksi dan cadangan Indonesia menjadi meningkat.
"Perubahan bagi hasil itu juga menyebabkan migas Indonesia menjadi semacam ?ijon? yang telah dikuasai asing, sehingga merugikan generasi mendatang," katanya.
Pri menyarankan, agar pemerintah menerapkan batasan maksimum CR, merumuskan kembali jenis biaya yang masuk CR, menghapus DMO "holiday," dan pemberlakukan komponen lokal bagi industri pendukung migas.
Nah, ketika itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berjanji untuk menjalankan mekanisme CR pertambangan dengan lebih transparan sehingga publik dapat mengetahui.
"Selama ini memang pengelolaan penerimaan negara dalam bentuk minyak itu sangat sensitif terhadap berbagai faktor termasuk faktor harga minyak, kurs. Juga dari sisi transparansi dari seluruh info yang bisa di-disclose oleh pihak-pihak yang memiliki fungsi atau tanggung jawab itu," kata Menkeu usai melantik pejabat eselon II di lingkungan Setjen dan Ditjen Bea dan Cukai Depkeu.
Menurut dia, pihaknya akan memperbaiki transparansi mengenai mekanisme dana CR sehingga publik juga memahami karena mekanisme dana CR melibatkan instansi lain yaitu Departemen ESDM dan BP Migas.
"Ada pembagian tugas di mana Depkeu merupakan pengelola keuangan negara, di sisi lain juga ada Departemen ESDM dan BP Migas yang sebelumnya oleh Pertamina," katanya.
Menurut dia, kondisi tersebut menimbulkan persoalan siapa yang bertanggungjawab dan apakah informasi yang berkaitan dengan itu dapat dipublikasikan atau tidak.
Ketika ditanya apakah CR yang ditetapkan dalam APBN saat ini (2007) sebesar sekitar 10,4 miliar dolar AS, tidak terlalu besar, Menkeu mengatakan, berapa besarnya CR yang menetapkan adalah BP Migas.
"Itu selama ini dikoleksi dan diobservasi oleh BP Migas. Kalau sekarang concernnya adalah apakah jumlah itu dianggap wajar atau tidak, itu menjadi perhatian kita," katanya.
Ia menyebutkan, dari sisi industri migas di dunia, harga minyak yang sedang tinggi meningkatkan biaya eksplorasi. Namun pemerintah telah membentuk BP Migas yang berfungsi melakukan enforcement atau pelaksanaan dari biaya-biaya itu, apakah yang dapat dimasukkan dalam tagihan kepada pemerintah atau tidak," katanya.
Menurut Sri Mulyani, jika beberapa pihak mendeteksi adanya ketidakwajaran termasuk BPK, hal itu akan menjadi perhatian bagi pemerintah untuk mengkaji kembali. "Tetapi bagaimana bentuknya kita akan lihat lagi."
Melihat perkembangan yang kian mengencang, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mempersilakan, aparat hukum memeriksa dugaan korupsi dalam proses pencairan dana CR atau biaya kegiatan eksplorasi dan produksi minyak dan gas (migas) yang dikembalikan ke kontraktor kontrak kerja sama (KKKS).
"Silakan saja diperiksa. Besarnya (cost recovery) di mana. Kalau memang ada korupsi, silakan tangkap saja," kata Purnomo usai meresmikan program peduli energi PT PLN (Persero) di Museum Listrik, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta.
Audit atas pelaksanaan Cost Recovery KKKS telah dilakukan sejumlah instansi. Mulai dari sebelum lapangan migas berproduksi yakni oleh Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), hingga pascaproduksi oleh Inspektorat Jenderal (Itjen) ESDM, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan DPR. Kalau memang ada yang korupsi, BPK bisa langsung lapor ke Kejaksaan. ?Kita tidak masalah,? ungkap Purnomo.
Kini tahun 2009, pemerintahan SBY-JK akan berganti dengan pemerintah SBY-Boediono -- setelah dua tahun BP Migas menerima hasil audit dimaksud, belum ada suaranya. Begitu juga BPKP dan BPK, apakah sudah menindaklanjuti audit finansialnya menjadi audit investigasi?
Atau Menteri Keuangan dan Menteri ESDM serta DPR, sudah menyelesaikan pola baru perhitungan ulang soal CR? Atau sudah bereskah item-item yang bisa dimasukkan dalam CR? Pada tahapan ini, tentu rakyat mengerti, jika dari audit investigasi terbukti ada unsur kriminal, kasus korupsinya akan didorong Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian atau Kejaksaan. Sampai disini, rakyat belum mendengar.
© Copyright 2024, All Rights Reserved